CLICK HERE FOR FREE BLOGGER TEMPLATES, LINK BUTTONS AND MORE! »

Minggu, 28 Agustus 2011

beloved

menjadi yang dicintai
menjadi diri sendiri yang akan sedikit demi terkikis
menjadi diri sendiri yang konstan
jika menjadi yang dicintai tanpa mengharap sebuah akhir

menjadi yang dicintai
menjadi terbahagia di bawah terangnya awan
menjadi tersedih di bawah pekatnya malam

menjadi yang dicintai
menjadi memberikan seonggok daging penuh darah dan peluh
menjadi memberikan kebahagiaan dan kenestapaan
menjadi tanpa tersisa seiring habisnya waktu dicintai

menjadi yang dicintai
menjadi merampas dengan paksa sisi lain yang tersembunyi
menjadi merampas dengan paksa sisi lain yang sudah terpatri

menjadi yang dicintai
menjadi kebahagiaan yang hakiki tanpa terputus
tanpa keterbatasan waktu
menjadi kesedihan yang hakiki tanpa teputus
tanpa keterbatasn waktu

menjadi yang dicintai
menjadi peluh yang berarti
menjadi peluh yang menyakitkan
menjadi sosok tak tertandingi
menjadi sosok terkalahkan

menjadi yang dicintai
menjadi diam
menjadi bertanya-tanya
hingga semuanya diungkap dan dicintai oleh waktu

Jumat, 19 Agustus 2011

Tak Seharusnya...

Tak Seharusnya..
Aku berdiri disini menanti apa yang aku nanti
Karena yang kunanti tak seharusnya ku nanti

Tak Seharusnya..
Aku menatap sesuatu yang ingin aku tatap
Karena yang ku tatap tak seharusnya ku tatapi

Tak Seharusnya..
Aku mengenal sesuatu yang ingin aku kenal
Karena yang ingin ku kenal tak seharusnya harus ingin ku kenal

Tak Seharusnya..
Aku mempertanyakan ini
Karena sejujurnya tak seharusnya sendiri adalah tak terduga

Saat raga ini belum menyatu dengan sempurna
Padahal ku yakin kesempurnaan itu sudah menyatu
Saat hati ini belum menyatu dengan sebuah kekuatan
Padahal ku yakin kekuatan itu sudah di dalam hati
Dan padahal ku yakin..
Kalau..
Tak Seharusnya seperti itu..

Dalam kebimbangan hakiki
Dalam kesukaran stimulasi otak untuk bergerak sempurna yang hakiki
Dalam ketidak berdayaan hakiki yang tiba-tiba menyerang
Semua itu juga tak seharusnya seperti itu...

Tak Seharusnya...
Datang seperti cinta itu sendiri
Terkadang seperti asal usul ayam atau telur

Tak Seharusnya..
Sebagamaina aku bisa mengarsiteki sebuah tameng besi tahan peluru
Yang tak termakan waktu karena keabadian
Tapi itu pun tak seharusnya terjadi

Tak Seharusnya..
Adalah sebuah pertanyaan
Adalah sebuah jawaban
Adalah sebuah antologi kesedihan dan kegembiraan
Adalah sebuah kesatuan tawa dan tangis
Adalah serangan pelindung yang perlu di proses otak masak-masak..

Yogyakarta, 19 Agustus 2011 (TZ)

Dan mantra hebat Walt Disney-pun mampu menyerang saya. Kalah telak dipihak saya. Walaupun beribadah selama tiga puluh hari ini seharusnya bisa menyerang balik mantra ilusional berupa kepolosan awal kehidupan manusia.

Sabtu, 13 Agustus 2011

Minggat Saat Bulan Puasa Yang Menyengat

Berdiam diri sejenak itu perlu. Menikmati yang indah-indah sejenak itu juga perlu. Meninggalkan aktifitas sejenak juga tidak kalah perlunya dengan kedua hal itu. Ketiga hal dari beberapa hal tersebut saya dapat ketika sedikit mencoba untuk mengurai sebuah perkataan dari banyak orang bahwa liburan itu sangat dibutuhkan oleh semua individu manusia yang hidup di muka bumi ini. Menenangkan otak sejenak. Memberhentikan kinerja otak sejenak dari semua hal yang berat. Holiday :).
Lebih tepatnya satu minggu yang lalu, Salah satu sahabat saya dari Surabaya memasukkan kota Yogyakarta sebagai salah satu kota dari beberapa list kota lain tempat tujuan-nya untuk berlibur. Ketika musim kuliah berhenti sejenak. Tentu dia memanfaatkan kesempatan luang ini untuk mencuci otak sejenak, keluar dari hiruk pikuk kehidupan mahasiswa, dan tentu saja sejenak minggat dari hiruk pikuk kota dimana saya berasal.

Bicara masalah waktu. Waktu sudah berjalan selama beberapa bulan. Dan dalam beberapa bulan yang tidak bisa dibilang sebentar itu tersimpan tidak ada waktunya saya untuk bertemu sahabat saya ini (yah, walaupun baru awal bulan Juli kemarin saya pulang ke Surabaya, tapi saya tak kunjung melihat rentetan gigi sahabat saya yang kini sudah terlihat rapi itu :P).

Kedatangan-nya kali ini mungkin bisa saya katakan kurang pas. Timing-nya nggak pas. Karena pasti beberapa hari kedepan kami tidak akan bisa mencicipi banyak makanan dari pagi hari sampai malam hari. Waktu liburan di bulan Ramadhan di pilih sahabat saya tersebut untuk datang kemari. Itu berarti kami kehilangan kesempatan mencicipi makanan selama setengah hari. Fiuh. Sahabat saya ini doyan makan. Apalagi kalau sedang mendengar makanan khas. Bawaan-nya pasti mau nggak mau saya harus ikutan makan juga. Dan untungnya sih saya juga doyan makan :P.
Kehilangan waktu selama setengah hari untuk mencicipi makanan pun dirasa tidak membuat kami sedih, apalagi galau, atau-pun sia-sia saja jalan-jalan di bulan puasa. Tidak sama sekali :). Kami mencoba hal baru. Bisa dikatakan iseng-iseng sih, yah kali aja iseng-iseng berhadiah hehe :P. Ide iseng-iseng ini datang begitu saja. Kami berdua iseng untuk patungan menyewa hotel di seputaran daerah padat orang berlibur kota Yogyakarta, Malioboro.

Setelah beberapa menyusuri satu jalan yang penuh bertengger hotel-hotel mulai dari yang murah sampai yang mahal sekalipun. Persinggahan terkahir yang kami pilih adalah sebuah hotel yang baru seumur jagung. Yang bertengger dengan lima lantai. Letak-nya sedikit menyentuh bibir jalan sebelah timur di jalan tersebut. Nampak-nya memang iseng-iseng berhadiah. Kami berdua mendapatkan harga promo untuk sewa satu kamar. Mungkin karena hotel ini baru saja berdiri. Untuk menarik pelanggan, maka harga promo mereka sajikan.

Kami mendapat sebuah kamar di lantai empat. Bentuk-nya benar-benar sangat minimalis. Simple. Dan yang saya suka, di kamar ini view-nya bagus. Jendela kamar langsung menghadap ke luar. Secara langsung menyajikan hamparan langit biru luas di kala hari masih terang, dan hamparan ladang hitam pekat dihiasi batu kristal kecil-kecil di kala bulan datang. Wah, saya jadi berandai-andai kepengen punya kos seperti ini.

Tepat satu lantai di atas kamar kami berada. Lantai lima menyajikan balkon mungil dari penggalan barisan kamar-kamar yang lain di lantai yang sama. Kami mulai menjamahnya ketika dini hari yang dingin mulai menusuk kulit kami. Tetapi untung-nya dua botol minuman "penghangat" dan satu bungkus keripik kentang bisa membunuh rasa dingin yang menusuk kulit. Kami berdua banyak bicara selama bercengkrama dengan balkon outdoor yang menyajikan hal yang sama seperti jendela di kamar kami. Obrolan waktu itu nampaknya bisa membayar semua kesempatan yang tidak disediakan waktu untuk kami saling bertatap muka selama beberapa bulan :). Tetapi memang waktu tak pernah berhenti, karena waktu
membangunkan pagi hari. Dan pagi hari membangunkan kami berdua untuk kembali ke kamar.

Secuil liburan bersama sahabat-pun saya dapat. Walau di waktu yang sama saya masih harus mengabdi separuh waktu di tempat saya bekerja. Tetapi kedua-nya tidak saling mengganggu satu sama lain. Karena yang ada, saya juga mendapat kebahagian dari secuil liburan bersama sahabat ini.
Terima kasih buat salah satu sahabat saya, Vicky Riyadi. The best chit chat in the middle of the night. With the black ocean on the air. And the little crystal on the air shining us from the dark. and the dark will gone with our chit chat haha XD. Good luck for you, darl :).
Yogyakarta, 13 Agustus 2011 (TZ)



Note : Psstt, ini spot yang paling saya suka di kamar. Yang saya ceritakan sedikiti diatas itu :P.










Jumat, 12 Agustus 2011

Where is The Love ?...

Adalah sesungguhnya bukan sebuah tanya yang terbalas dengan jawaban

Dimanakah cinta ?
Adalah bukan diri yang berusaha mencerna proses dimana
Adalah waktu yang bergerak
Berproses
Hingga berakhir
Dengan tanda tanya
Kapan pastinya waktu bisa menjawab

Dimanakah cinta ?
Adalah mengambil
Mengambil kekuatan
Kekuatan terkuat pada jiwa dan raga
Sehingga letak sebuah cinta tak bisa terendus

Dimanakah cinta ?
Adalah sebuah bendera merah putih berkibar
Tepat di masa silam
Saat kebebasan baru berumur jagung
Yang bergumul dengan negara

Dimanakah cinta ?
Adalah bukan makhluk bernyawa
Terpaksa bernyawa
Seperti manusia
Yang saling berlomba siapa yang paling bernyawa

Dimanakah cinta ?
Adalah ?
Waktu yang berproses
Menyimpan kekuatan diri
Proyeksi positif hasil percintaan positif dengan kebebasan
...

Dimanakah cinta ?
Seperti manusia
Akan berlanjut dengan kemana
Kapan
Kenapa
dan satu-satu kemunculan kata tanya lain

Dimanakah cinta ?
Adalah berharap mendulang emas
Berharap
Hanya berharap
Mengeruk bentuk lain tanah pada diri sendiri
Berharap mendulang emas
Berharap pada sebuah hamparan tanah
Mengeruk tanah
Di hamparan tanah peristirahatan terakhir makhluk Tuhan paling sempurna

Yogyakarta, 13 Agustus 2011 (TZ)

note : terima kasih buat teman-teman yang sudah menyumbang sedikit buah pikiran-nya atas pertanyaan kecil yang terkadang tak bisa terdefinisikan jawaban-nya dengam sempurna ini :).

Minggu, 07 Agustus 2011

Buah Tangan Untuk si Angka Kembar



On my 22nd fabulous age, i've got a fabulous gold fierce note book from my mom and dad.
hehe it would be the great and fabulous age for me, i hope.

Makasih bapak ibu :*


Empire State of Art


Idealisme dan Pikiran sempit. Kedua rangkaian alfabet-alfabet itu berdiam di pikiran-nya. Seharusnya berbeda makna dan definisi. Tetapi ternyata sesuatu yang sukar di identifikasi membuatnya semakna. Sedefini. Saling berkaitan satu sama lain. Sukar dipisahkan. Tertempel tak ada jawaban di pikiran-nya.
Diri-nya duduk terdiam. Menatap semburat cahaya terang di atas kepala-nya. Gulungan-gulungan awan putih seakan memberikan imajinasi tentang sekumpulan domba sedang bermain-main di padang rumput luas berwarna biru terang. Tak terkoyahkan. Bebas. Tak menggunjing satu sama lain walau jumlah mereka seluas warna biru yang melatar belakangi mereka. Tengah hari yang cukup indah di daerah Utara kota Yogyakarta.
Idealisme. Ternyata bisa menghentikan proses pemantulan cahaya diri sendiri. Tiga tahun sudah dia menghabiskan hidup mandiri di kota ini. Tiga tahun sudah dia berdiri di bawah payung institusi. Tiga tahun sudah latar belakang pendidikan yang mengharuskan dirinya melahap nasi gudeg di kota ini. Sampai pada akhirnya, hierarki yang tak ter-organisir dengan baik mengharuskan dirinya mengenyam mentah-mentah. Terjejali dengan paksa sesuatu yang pada akhirnya sedikit demi sedikit menggerogoti apa yang sudah dibawanya dari masa embrio. Sesuatu yang seharusnya bukan dirinya.
Cukup banyak macam warna yang disapukan pada sebuah kanvas putih yang berukuran tidak menentu tiap warna-warna itu ingin disapukan. Sebuah sapuan warna-warna itu pada akhirnya menjadikan kanvas putih itu indah. Sebuah lukisan dari kumpulan kolaborasi warna-warna sebelumnya terpahat disana. Realita, seakan sudah kehabisan warna-warna itu. Hanya hitam dan putih yang tersisa. Benar-benar hitam dan putih. Namun terkadang hitam bisa menjelma menjadi putih. Dan putih bisa menjelma penjadi hitam. Warna abu-abu kolaborasi hitam dan putih hanya sebatas berumur sebotol anggur merah semalam dan hanya bisa dijumpai jika proses pemantulan diri sendiri berhasil dengan sempurna.
Pening. Pening mulai menembus otak-nya. Pening pun tidak bisa membunuh pikiran yang berkecamuk manja di otak-nya. Pening tidak juga melahirkan jawaban yang pasti tentang pertanyaan di pikiran-nya. Karena memang tidak akan pernah terjawab.
Petang mulai datang menggantikan semburat cahaya terang di siang hari. Angin sepoi di tengah hari tergantikan oleh angin malam yang mulai menusuk kulitnya hingga ke tulang. Itu pun juga tak melahirkan hasil sepeti bayi suci yang merah merona.
Dirinya menatap sesuatu berbentuk bundar. Yang juga sedang terduduk. Berbeda tempat dengan posisi dirinya terduduk diam. Sebuah tempat pembuangan duduk terdiam di lantai bawah. Di samping gapura penyambut tamu dari bangunan yang di duduk-nya saat ini. Sebuah tempat sampah. Apakah non-idealisme itu seperti benda itu ?, pikirnya dalam hati.
Ruang memori mulai dirinya masuki. Sedikit kembali ke masa lalu. Menilik sesuatu yang cela yang ada di awal kedatangan-nya pada sebuah idelisme. Memang tidak ada yang salah. Karena Tuhan menciptakan makhluk-nya dengan porsi yang pas. Karena Tuhan menciptakan makhluk-nya dengan tanpa cela yang bersifat tidak abadi. Karena Tuhan menciptakan makhluk-nya bermacam-macam warna. Bergelut dengan masa lalu-pun juga tak membuahkan hasil. Hanya ketenangan sementara yang di dapat. Dia bergegas kembali ke tempat dirinya duduk terdiam di balkon lantai dua sambil memandang tempat sampah di pojok-an gerbang rumah yang dia singgahi.
Ah, sudahlah. Dia menyerah. Lelah membuatnya angkat tangan dari pikiran tentang eksistensi Idealisme. Sang dewi malam pun mulai muncul menggantikan kelelahan Sang Matahari menyinari. Cahaya putih berpendar tepat di atas benda di pojokkan pintu gerbang rumah. Diri-nya memicingkan mata. Memperjelas pandangan-nya akan sesuatu yang bersemayam di tempat sampah itu.
Kasihan ikan itu, ucapnya dalam hati, iba. Tubuh-nya sudah tak ada daging. Bola mata-nya pun sudah hilang. Bentuk muka-nya sudah remuk tak berbentuk. Yang tersisa dengan jelas hanya jajaran duri-duri yang tertata runtut dan rapi. Beberapa ekor ikan yang mengenaskan terkubur di dalam tempat sampah itu.
Setidak-nya sampah masih lebih beruntung dari tulang ikan yang mengenaskan. Diri-nya menyudahi keterdiaman-nya dari tengah hari sampai petang hari itu. Hanya kata-kata terakhir itu yang bisa dia simpulkan menjadi sebuah jawaban atas pertanyaan-pertanyaan dalam pikiran-nya.
Jogjakarta, 7 Agustus 2011. (TZ)