CLICK HERE FOR FREE BLOGGER TEMPLATES, LINK BUTTONS AND MORE! »

Senin, 26 September 2011

Pulang*


Tokyo. Musim Semi.

Awal yang baru. Memulai segalanya dengan yang baru. Tanpa meninggalkan diriku yang lama, tanpa menggantikannya dengan sosok yang baru. Hanyalah sesosok Pria. Dengan kegilaan yang dinamakan hobi, semacam obsesi untuk menikmati dunia. Lalu dinamakan Traveler. Sang Petualang. Karena aku memang tertarik untuk mencoba tantangan. Banyak hal tentang tantangan, mencoba tinggal di batas nusantara pun kumasukkan juga dalam tas ransel sebuah tantangan.

Terlepas dari macam dan jenis traveler, aku menyebut diriku sendiri traveler. Hanya traveler. Entah seseorang akan memberiku label traveler backpacker, Ataukah first class traveler sekalipun. Itu mungkin hanya akan membuat pengkotak-kotakan dari segi kantong seorang penikmat dunia . Itu mungkin malah akan membuat tak bisanya kemampuan diri, untuk menikmati tujuan sejati untuk melakukan Traveling.   

Menginjakkan musim semi yang pertama. Di pusat negeri sakura, Tokyo. Tentu ini bukan kali pertama aku memulai Traveling. Karena suatu kegilaan yang dinamakan hobi, akan berupa gila lalu dinamakan hobi yang sejati jika pernah dirasa lebih dari satu kali. Berlindung pada sebuah hostel. Bukan pada berpayung megahnya hotel. Karena, di persinggahan yang minimalislah traveling lebih bisa dinikmati. Sejauh ini itu yang kurasakan.

Di akhir bulan ketiga. Bunga sakura dengan ramainya sedang berlaga. Ada sesuatu pada diriku, jauh di dalam sana, mengikutinya untuk ikut berunjuk laga. Wanita itu secantik warna merah muda bunga sakura. Segemulai gerakan gugur ditiup angin bunga sakura. Sebuah imajiku sedikit menyeruak masuk, dalam celah otakku yang penuh dengan urusan ide-ide propaganda sebuah produk untuk menarik konsumen. Aku membayangkan menjadi angin yang meniupnya. Cukup gila. Karena aku memang cukup sukar untuk gila akan cinta.

Di akhir bulan ketiga. Aku pertama kali melihatnya. Sejalan dengan pertama kalinya aku merasakan musim semi di Jepang. Tepatnya di sebuah taman kota, saat kita bersama-sama sedang menikmati hanami  di bawah pohon yang berbunga secantik wanita itu. Tentu, kita tidak dalam satu tikar saat itu. Menyantap onigiri yang sedap. Sembari melihatmu dari kejauhan menambah apa yang ku lahap semakin sedap. Entah, dari sejak kapan aku mengawali memandangmu. Kau, dengan sebuah tas jinjing wanita bertuliskan Dior, sangat kontras dengan posisimu duduk di tikar. Itu mungkin yang membuatku mengintaimu dari kejauhan. Komposisi yang indah ketika sebuah kemewahan masih ingin bergumul dengan kesederhanaan.

Suara indahmu mengalunkan sebuah nama, Helga. Tepat seperti dugaanku yang tak sepenuhnya yakin di awal, darahmu ternyata mengandung warna merah putih. Sementara, hewan bangsa unggas idolamu adalah burung garuda. Wanita bernama Helga itu sama-sama berasal dari Indonesia. Kau seorang kolumnis. Kau sering dijumpai pada kolom khusus wanita, di lembaran harian ternama kota pahlawan. Selebihnya aku belum menahu. Ingin tahu. Tapi kau seolah tak ingin memberitahu. Hanya secuil bagian itulah yang kau beritahu. Kepadaku.

Kaupun seolah wanita pasif. Untungnya bukan agresif. Tak banyak bicara. Padahal aku ingin banyak bicara. Tapi aku hanya tak sampai separo menciptakan pembicaraan yang kuanggap menarik untukmu. Kau pun sama halnya, hanya melempar balik pertanyaan yang seharusnya untuk mu, bagai bumerang, pertanyaan itu kembali ditanyakan kepadaku. Tentunya, ini mungkin adalah sebuah tantangan yang menggelitik untuk dihadapi olehku.

Aku hanyalah seorang Pria. Pria tak seharusnya mudah menyerah. Apalagi aku sudah berani menancapkan label gila tantangan pada diriku. Tentu, aku takkan melepasnya begitu saja. Malu. Gagu. Cupu.

Hanami pun usai. Disusul dengan yozakura di gelap bumi dibawah sinar rembulan. Lampion-lampion cantik, berjajar digantung diantara pohon satu ke pohon yang lain. Penuh cahaya. Terang. Terlihat hangat dan indah. Kuharap kau tergugah. Kuharap kau sedikit berubah. Karena aku tak akan berubah. Aku semakin tertarik padamu, wahai Helga. Sedikit berharap bahwa cahaya lampion bisa membuatku terlihat untukmu, untuk kau melihat wujudku lebih lama lagi.

Di hari terakhirku berada di Jepang. Kejadian ini terlihat seperti opera sabun murahan. Sedikit  menyebutnya dari alam sadarku dengan penuh percaya diri, ini adalah sebuah takdir. Takdir yang indah. Sosok Helga sekelibat melewati posisiku berdiri saat bandara baru saja menyapaku untuk membawaku pulang. Aku memanggilnya, dia hanya tersenyum simpul. Lalu menghentikan langkahnya saat melihat wajahku yang penuh tanda tanya.

“Biarlah waktu yang menjawab. Kalau kita bisa bertemu lagi. Suatu hari. Dimanapun itu. Percayalah semuanya tak akan seperti ini. Sejatinya, pria adalah pemuja tantangan bukan ?. Anggaplah ini sebuah tantangan.”  Jawabnya dengan halus tanpa bernada memojokkan, saat aku meminta alamat surat elektronik milknya. Helga tersenyum. Yang akan terekam abadi dalam pikiranku. Beranjak dari tempatnya. Dia kembali pulang.

 Aku juga ingin pulang. Pulang untuk melihatmu. Pulang pada sebuah hal yang datang pertama kali namun ajaib bisa membuatku tergugah. Pulang kepada Helga. Yang saat ini masih harapan belaka. Hanya sebuah produk dari sang pembuat mimpi. Yang ikut kubawa pulang ke Nusantara.
***

Honolulu. Musim Panas.

Wanita. Traveling. Mungkin terbilang cukup asing. Karena seharusnya, mungkin karena kebiasaan dan mungkin juga karena hukum alam, wanita lebih pantas jika bersanding dengan Shopping. Namun aku tak mau terbilang asing. Shopping masih menjadi aksesoris yang aku masukkan pada Lady Dior hitam glossy yang sering ku tenteng tiap aku melakukan traveling. Menjadikan dua kegilaan yang lalu dinamakan hobi dalam satu kegiatan.

Panas terik. Membuatku tertarik. Honolulu di Hawaii menjadi tujuan pengaburanku di musim panas di luar area nusantara. Bukan Bali. Karena sejujurnya aku ingin meninggalkan nusantara sejenak. Aku kalah telak. Ada setangkup kenangan yang tak bisa ku lawan. Memang terlihat sekali sepeti Eat, Pray, and Love. Inspirasi traveling ku saat ini memang berangkat dari sana, dengan imbuhan beberapa literatur tentang motivasi diri. Tapi sejujurnya, aku bukan memposisikan diriku agar dikata serupa dengan Julia Robert di film terkait. Tapi terkadang ada semacam benang merah yang menyambung antara realita kita dan non-realita dari sebuah film. Terkadang apa yang terjadi pada adegan sebuah film, bukan tidak mungkin akan terjadi juga pada hidup kita. Tapi itu  hanya mungkin. Untuk mengaitkannya butuh faktor keberuntungan. Formula yang ada disana sedang kucoba. Formula untuk menghilangkan perasaan hancur karena sebuah hubungan. Mencoba melihat dunia luar. Karena sejatinya, kata banyak orang masih banyak yang lebih menderita daripada kita di dunia luar sana. Aku mencoba mengikuti alurnya. Alur waktu. Alur waktu untuk menjadikanku pulih seperti sedia kala. Tanpa membuat perkecualian pada diriku sendiri untuk berbuat agar pulih.

Dipinggir pantai. Untuk bersantai. Musim panas seakan mempunyai kekuatan magis untuk mengumpulkan massa untuk menikmatinya tanpa perlu memverbalkan ajakan persuasifnya secara langsung. Karena musim panas memang diciptakan tanpa memiliki media untuk bicara. Sajian pantai di depanku sudah mirip sekumpulan wanita yang sedang berebut pakaian diskon disebuah Department Store. Namun disini, mereka berebut air. Berebut pasir. Berebut sinar matahari. Berebut semua karya ciptaan Tuhan.
Aku merasa adanya sedikit pengintaian. Naluri wanita sangat sensitif. Seperti sebuah sinyal kuat yang sedang aktif. Aku sedang menikmati loco moco di kedai makanan di pinggir pantai. Tanpa melihat kepada sesosok yang kurasa sedang mengintaiku. Hanya menunduk berkonsentrasi pada loco moco yang sudah siap di hadapanku. Menikmati sesendok demi sesendok makanan khas Hawaii yang penyajiannya sangat khas. Seadanya. Sangat kacau ala kadarnya dan unik.

“Apakah waktu bisa dikatakan sudah menjawab ?” Suara seorang pria mencoba memasuki gendang telingaku, ketika aku kembali ke kursi di pinggir pantai. “Kita bertemu lagi. Suatu hari itu sudah tiba, Helga”

Aku terdiam sejenak. Kemudian melepas kacamata hitamku. Memicingkan mata sejenak, untuk melihat dengan jelas wujud rupa dari sumber suara yang baru saja berhasil memasuki telingaku. Pria yang tak cukup seksi. Berkulit cokelat, dengan perut sedikit buncit. Aku sedikit mengidentifikasi dia penghuni Asia Tenggara.

“Maksud anda, tuan?” Tanyaku palsu. Berpura tak tahu. Memberi sedikit ujian pada makhluk adam yang berdiri di samping tempatku berada.

“Maksudku, apakah kau mengingat beberapa bulan lalu di Tokyo ?. Saat musim semi dengan bunga sakura yang bersemi di Tokyo. Kalau tidak salah, aku pertama kali melihatmu disana. Begitu juga kau”

Aku tersenyum simpul. Menahan tawa. Berpikir sejenak apa kiranya pertanyaan yang bisa menggambarkan kejual mahalan seorang wanita, namun tidak terlihat terlalu jual mahal.

“Honolulu rupanya memang tempat sejuta umat. Tempat paling pas untuk menikmati musim panas. Mungkin dengan begitu sejuta umatnya tempat ini, aku bisa menemukanmu di antaranya” Celoteh pria yang sama. Dia memandangku. Penuh percaya diri.

“Baiklah. Aku mengaku kalah untuk berpura-pura. Ini” Aku menyerahkan secarik kartu nama kepada Pria yang baru pertama kali kutemui tiga bulan yang lalu. “Aku sudah terlanjur menjajikan ini khan. Ditambah dengan bonus nama lengkapku, nomer ponsel, dan alamat rumah dan kantorku. Anggap saja sebagai penghargaan kecil atas keberhasilanmu menemukanku diantara ribuan pecinta pantai ini, Herdi”

“Ini juga ada sesuatu dariku. Tanpa perlu aku membuat janji bersyarat agar aku bisa memberikannya padamu” Pria bernama Herdi itu balik memberikan kartu namanya kepadaku. Dan posisi skor pun impas, di posisi 1-1.

Api unggun dan malam menyambut. Aku pun ikut menyambut. Kali ini ditemani seorang pria bernama Herdy  yang juga ikut menyambut. Ada sebuah pesta kecil di pinggir pantai. Terbilang sangat santai. Jauh dari kesan yang sangat bising dan terlampau ramai. Kami berdua mengobrol di kursi tinggi terbuat dari bambu,  disebuah warung makan penjual loco moco, yang telah disulap menjadi bar mini, dengan damai. Ditemani segelas vodka segar. Menginginkan otakku disusul dengan segar.

Alkohol dalam vodka yang tak berdosa. Harusnya aku yang pendosa. Mungkin ini lah mengapa dikatakan minuman beralkohol itu haram hukumnya. Keinginanku akan penyegaran untuk otakku terlaksana. Pikiranku segar. Disiram vodka segar. Yang tanpa kutahu sudah berapa gelas kuteguk. Berkali-kali batuk. Tapi bukan sakit. Mungkin hanya sebuah reaksi kecil dari banyaknya alkohol yang telah membasahi badanku. Tapi otakku terlampau segar kali ini. Segar. Sampai ingin kukeluarkan kekesalan dan kesakitanku dalam diri hanya untuk bisa merasakan sesuatu yang telah membuat diriku segar.

“Pria itu penjahat. Pernahkah kau menemui penjahat dalam film dan buku berkelamin wanita wahai pria ?. Sangat jarang bukan ?. Karena memang pria yang lebih pantas menerima peran dan dikatakan sebagai penjahat.” Otak dan pikiranku sudah bergumul dengan alam bawah sadar. Mulutku tak bisa diam. Bagai wanita jalang, mulutku tak bisa diam. “Dan jika memang kau bukan pria penjahat. Maka sudah menjadi suatu keharusan kau mengantarkan seorang wanita yang sedang mabuk pulang ke rumah. Wow, ternyata aku masih sedikit sadar untuk mengetahui kemabukanku”

Malam masih berpendar dengan cantik. Kemudian disusul dengan alunan musik pop cantik. Kesedihan menghampiriku dalam ketidaksadaranku. Dia menghampiriku dalam ketidakinginanku untuk merasakannya. Sudah terlalu sering kujumpai dirinya. Sudah terlalu sering pula ku ingin membuangnya. Kuharap ini benar-benar terakhir kalinya aku jumpai dirinya datang. Tanpa akal. Tanpa ada rasa malu. Tanpa ada orang di depanku yang tak cukup ku kenal. Berceloteh bagai jalang yang kesepian di depan pria yang mengintaiku bagai dirinya seorang penjahat.

Pagi yang bening. Buatku adalah pagi yang pening. Isi dalam kepalaku bergeming. Terkapar penuh pening pada hamparan tempat tidur di pondok kecil. Air putih segera kuteguk walau perjuanganku menuju ke dapur sedikit terganggu dengan pening. Tapi pening bisa ku kalahkan. Harus ku kalahkan. Karena aku sudah terlanjur berani meneguk vodka yang membuatku seperti saat ini. Pening.

Pondok kecil yang damai. Penuh dengan tumbuhan hijau di sekitarnya. Terkadang hamparan luas air mengintip dari balik tumbuhan-tumbuhan itu. Yang menambah kesempurnaan dari kedamaian. Masih dalam kepeningan kepalaku. Aku menghampiri teras depan. Menghirup udara pagi yang segar. Memasukkannya dalam tubuh sebagai penyegar batin. Lalu kemudian menghempaskannya bersamaan dengan sesuatu yang ingin kuhempaskan dari dalam tubuhku.

Ada sedikit pengintaian kecil yang mengintaiku di pagi yang damai itu. Dan kedamaianpun sedikit terpecah. Digantikan sebuah pertanyaan kecil di dalam otak yang menembus celah kecil pening yang kurasa. Sedikit beruntung, namun sedikit bingung. Beruntung karena pengintaian ini hanya pengintaian kecil. Kusebut demikian karena si pengintai sedang tidak tersadar. Bersandar dengan diriku yang sudah mengenal siapa pengintai ini. Bingung. Karena mengapa si pengintai bisa berada disini. Tertidur pulas tanpa berdosa di kursi dari bambu yang bertengger manis tanpa dosa di teras depan pondok kecil ini.

Celah kecil kesadaranku dalam pikiran sudah sedikit tersadar. Sudah mampu untuk menembus daya ingatku atas apa yang terjadi sebelum ini. Tapi masih samar-samar. Samar-samar yang mengandung sedikit kejelasan. Sedikit menjelaskan sebab pria ini berada di teras depan pondok kecilku pada pagi ini. Sesuatu yang masih samar-samar itu,  juga kurasa sedang sedikit mengintip dari dalam hatiku. Sesuatu yang sudah hampir setengah tahun ini tak pernah tumbuh walau hanya mengintip sedikitpun. Tidak sekalipun. Yang pada akhirnya, aku membawanya pulang. Yang setelah itu menambah isi dari Lady Dior ku yang setia kubawa untuk menjaga eksistensi hidup di kota pahlawan di nusantara.
***

New York. Musim Gugur.

Angin membawaku ke kota ini. Angin keberhasilan membawa mataku melawan panorama gedung-gedung tinggi yang mencakar langit. Angin musim gugur membawaku menghabiskan sedikit rasa kegugurannya di kota penuh gempita ini. Memasuki sedikit celah kecil diantara ramainya jalanan kota ini. Hingga sampai di sebuah kamar dengan ruangan cukup besar di lantai 20. Mencoba untuk pertama kalinya sesuatu yang tak pernah ku duga, First class traveler. Sungguh diluar kebiasaan. Semacam sebuah hadiah atas keberhasilan karier atas ide kreatif untuk sebuah propaganda produk mie instan. Tentu, cukup di luar ekspekstasi di permulaan. Bagaimana mungkin sebuah mie instan bisa memboyong anak manusia keluar dari Nusantara sampai ke New York. Tetapi, semua bisa menjadi sebuah realita sekarang. Kepala suku biro iklan dimana tempatku menggali emas berlian, memberikan sebuah paket liburan ditambah berlindung pada sebuah ruangan di salah satu gedung pencakar langit yang ikut menghiasi arsitektur indah kota New York.

Keberhasilanku atas jawaban sebuah waktu juga kuraih. Sungguh mustahil memang jika ditelaah sedikit demi sedikit. Tapi menelaahnya mungkin hanya akan membuat produk dari keberhasilan ini tak bisa dinikmati. Kegembirannya mungkin akan mati.

Wanita itu masih mengisi bagian pada otakku. Berdiri indah disamping aspek lain yang mengisi otakku. Sedemikian rupa membuat segala isi-nya seimbang. Tanpa berat sebelah, tanpa menanggungkan sebelah, agar semuanya berjalan lancar. Dan sepertinya semuanya lancar. Karena pertemuan ketiga kali dengannya terjadwal dengan lancar. Aku bisa kembali pulang ke pelukannya. Walau semuanya belum bisa dibilang sudah pasti. Tapi kepastian hanya butuh waktu. Apapun yang akan dijawab oleh waktu. Satu hal saja, aku ingin pulang. Pulang kepada dia. Satu hal lain dari keberhasilan yang ingin kucapai.

“Kita berjumpa kembali di New York, teman” Sebuah suara wanita yang indah berhasil menembus telingaku. “Sungguh kota yang mahal. Dan ini semua tentu cukup mahal. Entah dengan apa aku harus membalasnya”

“Tak perlu membalas, Helga. Anggap saja sebuah hadiah. Hadiah dari suatu pencapaian dari keberhasilan. Hadiah tak butuh balasan. Hadiah itu ya hadiah. Sesuatu yang tak bisa kita tahu sampai kita bisa mencapainya” Balasku. Pada wanita yang sudah beberapa waktu ini mengisi bagian pikiranku. Dia hanya mengangguk. Tersenyum. “Kamar kita berseberangan. Keberuntungan mungkin memang sedang berada di pihakku sekarang. Mendapat sebuah ruangan yang cukup luas. Dengan dua kamar dengan ruangan berbeda di dalamnya. Silahkan beristirahat, teman”.

Pencapaian sebuah keberhasilan, tentu butuh suatu usaha. Setidaknya itu yang aku pegang erat. Masih dalam pengertianku, usaha itu sendiri adalah bentuk lain dari sebuah tantangan. Yang tantangan sendiri sudah merupakan hobiku, yang merupakan sumber dari hobiku yang lain yaitu traveling.Satu hal lagi yang telah kupetik. Ternyata hal yang bisa dibilang,  jarang sekali berada di ruang lingkupku seperti cinta, juga butuh sebuah usaha. Aku baru merasakan sensasi dahsyatnya. Merasakannya pada wanita ini. Wanita yang pertama kali aku temui di Tokyo. Disusul dengan pertemuan kedua di Honolulu. Dan saat ini, dengan penuh kesukaran komunikasi dengannya, akhirnya pertemuan ketiga terjadi di New York. Memang bukan hal yang pertama aku berurusan dengan cinta. Tapi, baru kali ini, hal ini benar-benar mengambil porsi juga di dalam pikiranku. Entahlah.

Angin musim gugur di pagi hari menyapa. Kemudian disusul penampakan sang matahari di atas kepala. Dia tenggelam menjelang berganti peran dengan sang dewi malam. Aku dan Helga baru saja menikmati sajian khas kota New York. Pertunjukan Broadway. Pertunjukan drama musikal yang melegenda. Sedikit memperkenalkan minatku pada dirinya. Yang ternyata, dia menyambutnya dengan ketertarikannya dengan peran Marilyn Monroe membawakan drama musikalitas khas broadway di film klasik Gentleman Prefer Blonde, begitu melegendanya membawakan Diamond’s are a Girl’s Bestfriend. Merupakan sebuah kenyataan yang menarik jika disandingkan dengan kegemaranku akan Gene Kelly, yang kerap menampilkan drama musikalitas khas broadway yang serupa. Pada akhirnya, aku bisa menemukan suatu kesamaan. Berbeda, namun sama. Semoga merupakan langkah yang bisa dibilang awal yang cukup menggetarkan.

“Kau memang tak mudah menyerah yah, teman?” Tanya Helga, saat kita menikmati sore hari yang sejuk di Central Park yang anggun penuh daun-daun berguguran.
“Maksud kamu ?” Jawabku, balik menanyainya.

“Yah, tak mudah menyerah. Melawan susahnya komunikasi saat kita sama-sama menerjang arus untuk tetap menjaga eksistensi di Indonesia.”

“Bukankah itu bisa dibilang seperti agendamu untuk sedikit terlihat jual mahal kepadaku ?”

“Oh, Tuhan. Memang ada benarnya seperti itu. Tapi tak sepenuhnya benar, teman. Aku memang benar-benar asyik menikmati pekerjaan untuk menyibukkan diriku.”

“Yah, itu lebih baik. Sebuah langkah kecil untuk memulihkan keadaanmu akan sebuah hubungan yang sudah pergi. Seorang wanita memang butuh waktu yang cukup lama untuk hal itu.”

“Mungkin. Dan wow, kau rupanya tau banyak tentang wanita yah, teman ?”

“Haha. Sebenarnya aku tak pernah tau akan wanita. Sedikitpun tak tau. Hanya melihat dan menerka apa yang pernah ku alami bersama wanita saja.”

“Semoga saja terkaanmu tak meleset.” 

Berharap sekecil kerikil. Angin menerpa muka kami berdua. Angin menerpa apa yang masih melekat pada batin nya. Kenangan pahit akan kegagalan sebuah hubungan dengan pria yang telah dialaminya. Yang tak mungkin diucap dalam alam kesadarannya. Dia memilih untuk bungkam. Mengunci rapat-rapat akan hal yang membutuhkan waktu untuk membuatnya pulih. Namun saat itu dia kehilangan alam sadar. Tidak tersadarkan oleh alam sadar. Alam sadarnya berganti peran menjadi alam bawah sadar karena alkohol. Kunci dia temukan. Bungkampun menjadi sirna. Dalam kuasa alam bawah sadarnya dia berceloteh banyak tentang apa yang dirasa. Dengan peluh. Berceloteh tanpa koma, hanya diberi imbuhan berderai peluh.

“Semoga waktu jua yang akan menyembuhkanmu, teman. Suatu hari.” Tutupku di sore hari yang semakin gelap. Malam yang gelap dan pekat mengiringi kami kembali ke tempat perteduhan.

Di sofa itu seperti saksi bisu. Membelakangi kaca pembatas dengan dunia luar yang juga bisu. Namun apa yang tersaji diluar sana tak akan pernah bisu. Melepas lelah. Bersandar pada sebuah sofa. Sama halnya dengan dirinya. Yang hanya berjarak beberapa langkah dari posisiku bersandar. Dirinya sibuk mengkaji tentang keramaian kota New York yang tak pernah mati. Aku sibuk mengkaji siaran televisi New York yang sama halnya tak pernah mati. Ini pertama kali. Dirinya membuka sebuah perbincangan untuk pertama kali. Wanita yang berjarak beberapa langkah dari posisiku bersandar, membuka sebuah perbincangan untuk pertama kali. Aku menyambut perbincangannya. Dan kutemui dia sedang menerawang jauh  di luar sana. Tak menahu apa yang diterawang. Yang kutahu dia memandang lekat kokohnya gedung Chrysler di kejauhan dengan cahayanya yang berpendar terang di sekitar tubuhnya. Aku diam sejenak. Lalu memberanikan diriku melangkah mendekati dirinya. Dia menyambutnya dengan pandangan sayu. Akupun menimpali perbincangan yang dibuatnya. Namun hanya dijawab dengan pandangan sayu. Tanpa berlagu. Diriku tampak gagu. Aku hanya bisa melihat wajahnya yang sayu. Lalu kemudian terlihat sedih. Mungkin kenangan masa lalunya kembali berkecamuk. Sedang mengamuk. Tanpa ampun mengikis kegembirannya beberapa hari ini di New York. Aku terdiam sejenak. Menyusun langkah nekat. Menghimpun energi untuk kemudian bertindak. Hingga akhirnya wajah kami hanya berjarak lima jari tangan terlentang. Aku bertindak nekat mendekati wajahnya. Tapi wanita itu masih saja diam. Helga hanya melihatku dengan tatapan kosong. Lima jari tangan terlentang itupun telah sirna. Wajah kami berdua sudah tak berjarak. Bibir kami bersatu. Lagi-lagi aku yang bertindak nekat. Dia masih saja terdiam.  Sampai pada akhirnya ada sesuatu yang membasahi bibirku. Kini bukan bibir Helga saja yang bersatu denganku. Peluhnya juga menjamahku. Keterdiamannya belum pecah, benar-benar belum pecah walau aku sudah berbuat nekat untuk sedikit memecahnya. Gusar, aku siap menghadapi pitamnya setelah ini, atas perbuatan kurang ajarku kepadanya. Menyatukan bibirku dan bibirnya tanpa suatu kepastian yang belum pasti. Dengan perasaan penuh rasa bersalah atas semua itu, aku menyudahi perbuatan nekatku. Karena peluhnya semakin deras. Hanya permintaan maaf saja yang bisa kuucapkan dari bibir yang berbuat nekat ini. Memang tak salah dia menamaiku penjahat. Bagai seorang penjahat yang pengecut, aku mencoba beranjak dari tempat kami bersandar. Merasa bersalah lalu kabur. Pria pengabur. Pria pengecut. Namun, tanganku bagai ditarik. Jari-jariku bersentuhan dengan jari-jari lain. Helga menggagalkan pengaburanku dari rasa bersalah. Tanpa berpikir panjang, aku menghela nafas, bersiap-siap menghadapi pitamnya dengan bonus sebuah air mata dari kedua bola matanya yang sedang sayu. Angin musim gugur serasa memasuki ruangan kami berada. Padahal seingatku aku sudah menutup semua benda yang bisa membawa angin masuk ke dalam ruangan. Angin musim yang sejuk. Benar-benar sejuk. Benar-benar berbeda dari angin musin gugur yang telah menimpa tubuhku selama beberapa hari ini di New York. Angin yang kurasa bagai sebuah pelukan. Pelukan yang datang tanpa pernah ku kira. Angin itu berwujud sebuah pelukan dari Helga. Dalam pelukannya dia menangis bagai kesetanan. Menyandarkan wajahnya pada tubuhku. Partikel-partikel kecil air matanya bersatu dengan kain yang menutupi badanku. Aku hanya terdiam. Lalu balas memeluknya. Pelukan yang akan selalu membawaku ingin pulang. Mendambakan pulang. Sedikit mengesampingkan rasa cinta itu sendiri, pelukan seperti ini memberikan sensasi yang sama seperti cinta pada sebuah hati. Jatuh cinta. Pulang. Yang ingin kuulang. Hanya kepadamu untuk pulang.
***

Korea. Musim Dingin.

Aku selalu merindukan musim ini. Musim dingin, dengan salju berwarna putih suci yang terbentang luas di hamparan jalanan. Tapi sangat nihil menjumpainya di Indonesia. Kecuali, mau menghadapi tantangan ekstrem mendaki gunung Jayawijaya sampai kepuncak. Salju dengan putih sucinya pun bisa diraih. Mungkin akan setimpal dengan usaha yang dihadapi dalam perjalanan untuk meraihnya. Di Indonesia, air hujan sedang rajin-rajinnya membasahi jalanan. Tak terkecuali diriku. Bagai dicuci. Dibasahi. Sedikit hal telah dilucuti, atas kekalahan telak yang telah kuhadapi di negara tempat aku lahir. Waktu akhirnya menjawab. Waktu juga berperan dalam pemulihan, disamping diriku yang berusaha untuk pulih. Seakan lelah akan peluh. Dikalahkan bertubi-tubi oleh kesedihan. Yang saat ini ingin aku lawan habis mereka beserta sekutu-sekutunya. Kehadirannya yang tak pernah ku duga. Hanya keinginan untuk menikmati dunia di awal, sembari memulihkan diri dengan membuat sebuah komunikasi dengan penduduk sekitar di tiap negara yang berbeda. Aku memang tak pernah tau apa yang akan terjadi. Sudah terjadi. Namun aku belum berani menganggap ini pasti. Mencobanya sekali lagi. Untuk sekedar mencoba apakah efek yang kuterima akan masih terasa sama. Mencobanya sekali lagi. Tanpa berharap penuh, tanpa ingin menyakiti diri kembali, mencoba menikmati traveling di musim terakhir bersama pria yang secara mendadak sering menancap di bagian otakku, Herdi.

Barisan pohon yang ingin mencium langit, berbaris rapi di sisi kanan dan kiri kami berada. Tanpa daun-daun yang menghiasi tubuh kokoh mereka. Secuil pun tak ada. Hanya beberapa salju putih sedang bersenggama dengan ranting-ranting gundul pohon-pohon kokoh itu. Jalanan yang kami pijakpun tak terlihat warna aslinya. Salju putih suci melucuti warna aslinya. Musim salju yang sempurna. Tak salah kupilih Pulau Nami untuk merasakan kesempurnaan musim salju seperti yang tersaji saat ini. Wanita mungkin memang diciptakan sebagai konsumen acara serial TV yang setia. Lebih tepatnya serial TV drama-drama percintaan yang romantis melankolis. Bersumber dari sanalah aku memutuskan tempat ini sebagai tujuanku menikmati traveling di musim yang tibanya di saat akhir.

“Ini hanya pulau kecil milik Korea Selatan, khan ?. Memang bagus. Indah. Tapi selebihnya hanya...” Herdi melanjutkan tanggapanya akan pulau ini dengan hanya menggelengkan kepalanya.

“Sudahlah. Ambil saja bagian bagus dan indahnya saja. Hanya kedua hal itulah yang wajib dinikmati dari tempat berada kita saat ini” Balasku dengan senyuman kepada pria yang duduk disebelahku.

“Yah, baiklah. Akan kucoba untuk memikirkan dua hal itu”

Kami berdua duduk beralaskan putihnya salju. Tanpa penyangga sebuah kursi. Aku menatap ke atas. Menatap langit yang tak berbatas. Ini seperti yang di awal kuinginkan. Berdua bersama dirinya. Merasakan kembali apa yang pernah kurasa di akhir liburan kami di New York. Seolah tak ingin dibohongi oleh hati. Aku melakukan ini semua untuk mencoba membuka hati. Melakukan ini semua untuk merasakan keterbukaan sebuah hati itu lagi. Untuk meraih sebuah kepastian akan perasaan. Untuk meyakini suatu hal bahwa aku wanita yang dulu tersakiti, dan kini sudah pulih. Tak ingin mengambil langkah gegabah. Tak ingin terlihat seperti jalang yang bedebah. Tak jua ingin mengatur tiap langkahku. Biar semua terjadi sebagaimana mestinya.

Sore menjelang petang. Kami berdua masih terpaku di tempat yang sama. Awan sedang menangis kala itu. Menjatuhkan bulir-bulir salju yang cukup deras di sekitar kami. Aku menyandarkan tubuhku di badan pria disebelahku. Lalu dia membalasnya dengan memeluk punggungku dengan tangan kananya. Kami berdua kedinginan. Kami berdua saling menghangatkan tubuh kami yang kedinginan. Herdi memelukku dengan erat. Perasaan yang sama yang ingin aku coba rasakan kembali, mulai sedikit demi sedikit memasuki ragaku. Mereka memasuki bagai roh halus yang tak kenal ampun memasuki raga manusia. Dan aku hanya manusia. Butir-butir salju berciuman dengan kulit wajahku. Dan Herdi melanjutkannya dengan mencium keningku. Hangat. Bibirnya hangat. Kehangatan ini yang membuat semuanya tiba-tiba sirna. Kesirnaan yang membuatku tersadar bahwa mengingat masa lalu hanya akan mengikis diri sendiri. Kesirnaan yang membuatku tersadar bahwa masa lalu seharusnya hanyalah sebuah memori yang hanya cukup disimpan untuk digunakan sebagai pelajaran. Campur tangan waktu mendatangkan dirinya. Yang datang secara tiba-tiba. Dari keyakinanku bahwa pria adalah penjahat. Lalu aku mengenal penjahat yang baik hati melalui sosoknya.

“Aku ada sesuatu untukmu” Ucapnya memecah sunyi di bawah hujan salju. Dia merogoh kantong di jaketnya. Sebuah kotak kecil berwarna merah mengintip dari celah-celah jemarinya. “Hanya sebuah hadiah. Hadiah adalah hadiah. Hadiah atas semua yang terjadi beberapa musim ini yang telah berlalu penuh dengan cerita. Tak perlu balasan. Karena hadiah tak perlu balasan”

“Hadiah apa lagi ini, Herdi. Kau pria penuh hadiah bagai Santa Claus yang menembus hujan salju di malam natal” Dia tak menjawab. Meraih jemariku. Memasangakan sebuah cincin pada jari tengahku. Warnanya seputih salju yang masih turun menimpa kami. Aku terdiam. Hanya terdiam. Semua yang terjadi melebihi apa yang kuinginkan. Apa yang kurasakan pun melebihi apa yang kuinginkan. Kalau ini memang bukan hanya sekedar permainan, untuk apa semuanya dilakukan secara berlebih. Dia juga bukan sosok saudagar kaya raya yang tak mengenal uang akan tergilas habis. Dia hanya pria yang gila tantangan. Menggilai tantangan tanpa pernah menyerah. Justru aku yang akhirnya menyerah. Menyerah untuk kebaikan. Menyerah untuk menyudahi kesedihanku akan masa lalu. Menyerah untuk menutup hati. Dan mempersilahkan dia memasuki hati. Lady Dior ku kelebihan beban. Aku menambah satu muatan lagi di dalam sana saat pulang. Aku ingin pulang. Segera pulang. Pulang kepada dirinya. Kepada sosok pria yang diciptakan oleh waktu dan tuhan. Yang datang secara tiba-tiba. Dan membuatku tergugah secara tiba-tiba.
***

“Selamat malam, Sayang” Ucapku berbicara pada telepon genggam.

Menikmati malam yang pekat. Kelelahan masih melekat. Tapi aku masih ingin lekat. Lekat bersama dirinya yang berada beberapa kilometer jauhnya dari tempatku berdiri saat ini. Antara ibukota dengan kota pahlawan. Untuk melawan itu semua. Saat akhir pekan tiba, kami mendekatkan diri lewat barisan angka yang bisa menghubungkan kami. Merasakan keberadaan kami berdua sedang berada di tempat yang sama. Sosok hologram hasil imajinasi, seolah-olah bersemayam di tempat kami masing-masing. Berbagai cerita tersimpan di setiap musim. Mungkin butuh musim semi untuk memulainya kembali. Lalu musim panas akan menemukan kami kembali. Musim gugurpun tak mau kalah meniupkan angin sejuknya untuk menyatukan kami berdua. Dan tiba di penutupan, yaitu musim dingin. Kami saling menghangatkan badan satu sama lain, sembari hujan salju mencumbui tubuh kamu berdua. Lalu disusul dengan akhir penyatuan bibir kami dalam sebuah percumbuan. Yang merupakan penyatuan suatu keberhasilan suatu usaha akan tantangan, dan keberhasilan suatu usaha untuk mengalahkan masa lalu.

“Aku ingin pulang, Sayang. Segera pulang. Tanpa perlu menunggu musim semi menghampiri” Balas suara wanita di seberang.

Ada sebuah celah kecil pada diriku yang telah terisi. Ada sebuah ruang kecil di tempatku berteduh di ibukota yang juga akan terisi. Setelah sekian lama ruangan itu beristirahat dengan damai. Sebuah tempat berteduh, dengan dua ruangan tidur yang berada di dalamnya. Dua ruangan itu letaknya berseberangan. Menanti penghuni barunya untuk pulang. Helga memutuskan untuk hijrah ke ibukota. Memilih berkarir menjadi kolumnis sebuah majalah fashion ternama di ibukota. Memilih kembali pulang. Aku pun menjemput kepulangan. Kita berdua sama-sama pulang. Dimana kepulangan adalah sesuatu yang kami rindukan. Berbuah sebuah pelukan. Yang hari demi hari membuat hati menjadi dewasa. Dewasa untuk mengenal cinta. Dan menjalani cinta yang dewasa. Dua sosok manusia dewasa.

“Itu adalah sebuah hadiah dariku. Hadiah yang cukup dibilang hanya sebuah hadiah. Yang tak perlu balasan. Namun aku ingin membalasnya. Yang berdiri serempak dengan keinginanku untuk pulang, Sayang” Ucapnya. Pada akhirnya. Dari sebuah produk yang diciptakan waktu dan tuhan untukku.
***

 *) Terinspirasi dari tembang "Pulang" oleh Andien. album Kirana.



        
   
   

     

Minggu, 18 September 2011

Jawaban Dari Sebuah Coklat


Satu batang coklat
Berbadan coklat pekat
Tiba di saat malam pekat
Sedikit terlambat
Bukan tak mungkin untuk dilumat

Kabarnya membuat mabuk
Namun malah menahan kantuk
Jelasanya memang membuat mabuk
Mabuk
Mabuk
Mabuk
Tanpa bertanggung jawab, si pemberi telah membuat mabuk
Hingga pada akhirnya suntuk
Lebih dari sekedar kantuk
Akhirnya terbaring karena kantuk

Coklat ini seperti berjiwa
Entah kenapa memabukkan
Lepaskan pikiran dari kungkungan bahan pembuatnya
Mengencang imaji lekat seperti coklat
Mungkin bagai ramuan
Namun itu terlalu kejam, karena mungkin kau tidak kejam
Atau mungkin memang kejam ?
Karena imaji yang sedang  lekat adalah sesuatu lampau
Tapi musim lampau seperti itu sudah berlalu
Eksistensi-nya sudah pudar
Diikuti sesuatu lain yang ikut pudar
Namun tak bisa sempurna pudar


Apakah coklat ini adalah sebuah pertanyaan ?
Tentu butuh sebuah jawaban
Tapi siapa yang harus menguliknya ?
Karena sejatinya tak menahu kalau coklat adalah sebuah pertanyaan yang butuh jawaban
Karena sejatinya hanya tahu kalau coklat hanya sebuah makanan
Mungkin ini perkecualian,
Karena ini coklat yang memabukkan
Apakah berangkat dari situlah coklat ini pertanyaan yang butuh jawaban ?

Permukaan berlekuk yang manis
Isi yang asam meninggalkan yang manis
Seperti bermain-main di masa lampau
Korelasi yang cukup memaksa dengan perjalanan lampau dengan awal yang manis dan akhir yang asam
Ataukah itu korelasi yang memang ada dengan apa adanya ?
Sudah terpatri disana namun tak menahu untuk diketahui

Habis
Separuhnya telah habis
Separuhnya sudah terlumat oleh mulut yang masih sama
Mulut yang masih sama pun akhirnya menemukan jawaban
Jawaban atas sebuah pertanyaan yang seharusnya bukan sebuah pertanyaan yang butuh jawaban
Karena memang kondisinya kabur, samar-samar
Mulut yang sama hanya sebuah media
Sejujurnya, sebatang coklat hitam pekat yang dibawa di malam pekat yang sedikit terlambat sendiri yang menjawab pertanyaan yang bukan sebuah pertanyaan yang butuh jawaban itu

Yogyakarta. Genap satu tahun. Sudahlah.

***

Mungkin saja jawaban-nya ini  => http://www.youtube.com/watch?v=HhV3spXg9Xc , tanpa tahu arti sempurna-nya seperti apa. Karena memang tak pandai berbahasa Jepang J

Sabtu, 17 September 2011

Moon River*


Tersebutlah sebuah sungai. Dimalam hari yang gemulai. Tanpa kebisingan yang ramai. Hanya pancaran sinar bulan berpendar terang yang membuat sungai itu ramai. Bulan seperti berkaca. Pada sebuah benda penghasil proyeksi diri sendiri. Bukan sebuah benda sejatinya. Karena Tuhan tak pernah menciptkan benda. Sungai dengan luas yang cukup lebar, teramat sangat lebih dari cukup untuk digunakan sang bulan sebagai media berkaca. Indah. Putih. Bersih. Tanpa Cela. Bebas.

Holly. Makhluk venus dua puluh tahunan memilih tempat itu sebagai teman kesendiriannya malam ini. Sebenarnya ini bukan malam pertama dia berada disini. Karena menghitung untuk keberapa kalinya dia datang kemari hanya seakan seperti menyombongkan diri. Dia lebih rela menghitung berapa ekor ikan yang muncul di permukaan air sungai tiap pertapaannya bersama dewi malam disini. Menghisap pipa panjang dengan ujung sebuah tembakau terbakar. Hal klasik. Tapi ada sesuatu yang bisa ia petik. Kebebasan sebuah modernitas dan hal klasik adalah surga duniawi bagi dirinya.

Seekor kucing berbulu jingga. Tak bernama. Sama-sama makhluk venus namun dengan nasib hidup yang berbeda. Dia hanya mengerti hal mengisi perut. Berlari-lari tanpa batas. Bebas. Merdeka. Sebagaimana sebebas dan semerdeka dia di pasangi nama apapun oleh siapapun yang melihatnya. Bertengger manja di pangkuan majikannya. Benar benar bebas. Tapi masih membutuhkan uluran tangan untuk bermanja-manja ria.

Paul. Pria berkulit coklat khas asli dari negara penghasil kain penutup badan yang sexy, Italia. Kesendirian di malam hari ternyata bukan saja berada dalam sebuah tas cantik warna-warni seoarang wanita. Seorang penulis paruh waktu ini juga selalu memasukkan kesendirian malam hari pada sebuah jas yang tak pernah lepas dari badannya tiap hari. Menghisap tembakau yang sudah digulung. Karena cerutu hanya sebagai simbolisasi pria besar. Dan dia bukan pria besar. Hanyalah pria berbadan besar. Dengan bagian otot di sekujur tubuh bagai tukang. Gulungan tembakau dengan sebotol alkohol murah adalah sahabat setia kesendiriannya tiap malam di pinggir sungai itu.

***

Pantulan rupa bulan di sungai itu bergoyang. Memecah keheningan senyap. Seekor ikan yang tak terlihat rupanya itu baru saya mengintip dunia luar dari dalam habitatnya.

“Hi, apa yang kau lakukan disini ?” Keheningan senyappun juga mulai dipecah. Sehabis membuang asap putih dari dalam mulutnya, Holly membuang suaranya menuju ke arah Pria yang duduk di seberang.

“Apa yang sedang kau lakukan juga disini ?” Di seberang. Paul menimpali dengan pertanyaan yang sama. Menyambar botol kaca di sisi kanannya. Meneguknya untuk memberikan efek lebih kepuasan atas keberhasilannya membuang suara.

“Seperti yang bisa kau lihat. Aku menikmati malam disini. Bersama kucingku yang tak bernama. Menikmati kebebasanku. Dengan pipa klasik berujung rokok modern di ujung. Komposisi yang pas bukan ?. Sesuatu  yang baru tanpa menghiraukan hal lama yang ada terlebih dahulu”.

“Dan seperti yang bisa kau lihat. Aku juga menikmati malam disini. Bersama alkohol murah. Dengan gulungan tembakau yang juga murah. Sangat pas. Sangat konstan. Dan tak ada hal yang berbeda. Juga kebebasan yang aku inginkan. Kebebasan yang konstan. Kebebasan yang pas”.

“Dan kau sedang apa kucing ?. Oh, tidak. Kenapa kau selalu mengikutiku. Padahal aku juga benar-benar memberikan kebebasan padamu. Sebagaimana aku tak memberikan nama padamu” Ucap Holly. Namun hanya dibalas dengan kemanjan si kucing berbulu jingga yang semakin menjadi-jadi di pangkuan Holly.

“Aku sangat menggilai sungai bulan ini” Paul kembali menyembulkan kata-kata tanpa sinkronitas dari ucapan Holly sebelumnya.

“Sungai bulan ?. Maksud kau ?. Tempat ini ?. Bukankah bulan itu sangat suci. Seputih warna yang dipancarkan nya. Aku berani bersangsi bahwa disana tak ada sungai. Permukannya terlihat datar disini. Sangat bebas. Tapi sayang, kebebasannya terenggut oleh Bumi” Sembul balik Holly dengan panjang lebar.

“Iya, maksud aku tempat ini. Hmm mungkin terkaanmu salah. Apakah kau tidak percaya apa yang dikatakan astronot-astronot itu ?. Sang pendatang langganan benda-benda angkasa itu. Mereka selalu berujar kalau disana mirip sekali dengan Bumi. Jadi tak mungkin kalau disana serata dengan apa yang tampak dari sini”.

“Yah, aku memang pernah mendengarnya. Tapi aku tetap percaya pada pendirianku. Karena hanya itu yang membuatku tenang. Kebebasan yang membuatku tenang. Hmm bukankah kau juga seoarang pengagum kebebasan ?”.

“Yah, aku pengaggum berat kebebasan. Tapi tak seidealisme dirimu. Kebebasanku dalam artian lain. Mungkin bisa kubilang seperti yang aku katakan tadi. Kebebasan yang pas”.

“Baiklah. Tetaplah pada apa yang kau pegang pemuda. Hmm kenapa kau menamakan tempat ini sungai bulan ?” Seakan tak pernah kehabisan kosa kata yang disusun menjadi pertanyaan. Holly tak pernah berhenti.

“Haha hanya hal yang simpel dan mudah. Karena sungai ini dengan sempurna menjadi kaca bagi sang dewi malam” Terang Paul dengan singkat. “Cukup puaskah jawabanku untukmu”.

“Yah, aku mengerti. Baiklah. Aku orang yang bebas dan tak ingin seorangpun mengusik kebebasanku. Jadi mungkin aku bisa menerima kebebasan orang lain untuk menjawab pertanyaanku”.

***

Malam itu. Di tempat yang sama. Dimana bulan gemar berkaca di sebuah sungai. Dan dimana seorang pria bersama alkohol dan gulungan tembakaunya  duduk berseberangan dengan seorang wanita dengan pipa dengan ujung tembakau terbakar serta kucing tak bernama gemar bermalam kesendirian di pinggir sungai.

Namun malam ini seperti perkecualian. Bulan tak nampak di langit. Bulan tak nampak di sungai. Sungai bulan pun seakan menjelma menjadi sungai mendung yang menyatu dengan awan malam yang pekat. Yang beberapa waktu kemudian disusul dengan tangisan awan yang membuat isi sungai sedikit  meluap. Kalap.

Paul. Pria yang sama. Menyerahkan perlindungan agar tak bersentuhan dengan air hujan  kepada sebatang pohon dipinggir sungai tempat dimana dia menghabiskan kesendirian di malam hari. Masih ditemani dengan botol kaca berisi alkohol dan gulungan tembakau untuk disulut dengan api. Keduanya berdampak sangat besar untuk memberikan kehangatan di kala air dari langit bersentuhan dengan permukaan luar bumi yang ia pijak.

Hatinya gusar. Kebebasannya sedikit terkikis. Ada perasaan yang mengikis sedikit demi sedikit kebebasannya. Adalah cinta. Cintannya pada seorang wanita dengan kebebasan yang idealis. Yang selalu berada di tempat yang sama seperti dimana dia saat ini. Mimpi terkadang membuatnya patah harapan. Mimpi tentang cinta yang dihadapi sekarang. Yang berharap tak akan meruntuhkan harapannya lagi. Apalahi harapan di hati.

“Ah, mungkin sebentar lagi dia akan datang” Yakinnya dalam hati.

Seakan waktu dan keadaan tak mau bergumul dengan apa yang diyakininya. Wanita di seberang tak kunjung dapat ditangkap oleh kedua mata Paul. Bahkan Pipa klasik berujung tembakau terbakar yang setia menemani wanita pun tak bisa ditangkapnya.

“Pasti sebentar lagi dia akan datang. Hujan yang membuatnya tak bisa kemari. Hujan pasti akan reda sebentar lagi” Yakinnya masih dalam hati. Penuh dengan damai.

Waktu kembali tak mau bergumul dengan apa yang diyakininya dalam hatinya yang damai. Kali ini faktor alam mulai mencoba ikut campur. Sebentar lagi sudah tiba. Dan gadis yang dinantinya pun tak kunjung tampak. Sebentar lagi sudah tiba. Dan awan pun semakin hebat meluapkan emosi kesedihannya dalam tangisan ke bumi.

Pria itu masih gusar. Yang saat ini sudah bertransformasi menjadi kesedihan. Hingga dia memutuskan untuk menyudahi kesendiriannya dalam malam tanpa sungai bulan dan tanpa wanita di seberang tempatnya bersemayam. Sebelum sempat kesedihan bertransformasi lagi menjadi frustasi, dia beranjak dari tempatnya berteduh. Tanpa mengucapkan terima kasih pada sebatang pohon yang telah berikhlas hati tanpa diminta memutuskan hubungan langsung Paul dengan air hujan. Melawan tangisan awan. Tak peduli dengan suhu tubuhnya yang bisa-bisa naik setelah itu. Mungkin lebih baik begitu. Daripada dia harus menghadapi tangisan dirinya sendiri karena kesedihan.  

Di persimpangan jalan yang terbagi menjadi tiga. Di persimpangan tiga, jalan menuju sungai tempat dirinya mengadu kesepiannya di malam hari. Paul bagai monster air yang siap menerkam mangsa. Tubuhnya sempurna menyatu bersama air. Sayup sayup terdengar. Sayup-sayup pria itu mendengar suara seseorang memanggil mencari sesuatu. Paul memaksa langkahnya walau berat dirasa. Dia masih berharap. Dia masih yakin. Dan sepertinya sebentar lagi itu adalah saat ini.

“Kucing....Kucing. Dimana kau ?. Kucinggggg....” Suara itu yang dengan sempurna bisa diterima indera pendengar Paul. Suara seorang wanita. Yang kali ini hanya berjarak beberapa langkah di depan-nya.

Terpaku menancap di posisinya berdiri. Benar-benar terpaku. Tanpa berseru. Dia hanya mampu menyimpan apa yang dia lihat saat ini dalam memori otaknya. Apa yang dinantinya kini ada di depan-nya. Semakin lama semakin mendekati tempatnya terpaku. Hingga dia bisa melihat jelas air mata menyatu dengan air hujan di muka wanita itu.

“Apakah kau melihat kucingku ?. Kucing berwarna jingga ?. Aku terlalu memberi dia kebebasan. Aku menyesal memberi dia kebebasan. Sampai akhirnya aku merasa orang paling sedih di dunia saat dia pergi meninggalkan aku” Ucapnya terburu-buru. Tanpa takut beku. Walau hujan semakin deras berseru.

Paul. Dia sudah menjadi beku, berdiri terpaku di tempatnya yang masih sama tanpa mampu beranjak. Dia bagai es yang sempurna membeku saat wanita itu meniupkan suara dingin di hadapan nya. Sebentar lagi itu sudah datang. Tapi pria itu hanya mampu terpaku beku bagai es. Terpaku beku bagai es dengan posisi tertidur di tanah. Mungkin lelah. Atau sedang bermimpi di dunia antah berantah.

***

Sebuah rumah mungil. Dengan cerobong asap kecil. Bagai rumah mungil di cerita dongeng anak kecil. Bertengger indah di persimpangan tiga sebuah jalan. Tentu penghuninya bukan orang yang suka keramaian. Karena memang ini bukan tempat pusat keramaian. Bahkan untuk menghasilkan keramaian pun perlu usaha keras karena hanya rumah kecil ini yang berdiri disitu.

“Oh, Goldy. Kau sangat rakus. Kenapa kau selalu menghabiskan sarapan pagiku setelah kau menghabiskan sarapan pagi untukmu sendiri” Seorang wanita menggerutu dan berusaha mengusir seekor kucing berwarna jingga yang sedang menguasai piring makan nya.

“Oh, Holly. Jangan berucap kasar pada dia. Bukankah kau hampir tak pernah menghabiskan sarapanmu. Jadi biarlah Goldy, kucing kesayanganmu yang menghabiskannya” Pria bertubuh besar. Dengan otot bagai tukang menambah hiruk pikuk pagi itu.

“Tapi Paul. Aku tak ingin melihat badan nya bertambah besar. Tak seharusnya seorang wanita mempunyai badan besar. Kalau tau begini. Sia-sia saja aku mencari keberadaannya saat dia hilang”.

“Sudahlah, Holly. Dia hanyalah sebuah kucing. Tak perlu kau samakan dia dengan manusia. Berikan dia sedikit kebebasan. Kebebasan yang pas. Apakah aku perlu mengajarkan kebebasan yang konstan itu kepadamu ?”.

“Tentu tidak, Paul. Kebebasan yang pas dan konstan hanya milikmu. Dan. Ok, baiklah. Aku tertarik padamu karena aku membutuhkan seseorang yang bisa memberikan dan membatasi kebebasanku. Dan yah, kau lah orangnya, Paul” Wanita bernama Holly itu mulai memberikan asupan tenaga untuk tubuhnya di pagi hari itu.

“Yeah, dan aku membutuhkan kebebasan untuk aku cintai. Sejak pertama aku mulai melihatmu di sungai itu tiap malam. Aku selalu memperhatikanmu dari kejauhan. Berharap ingin memulai sebuah pembicaraan kepadamu. Namun itu tidak mungkin. Karena sungai membentang luas membatasi antara tempatku dan tempatmu berada. Dan aku hanya bisa melihatmu menghisap pipa dengan ujung berasap sambil sesekali bibirmu bergerak yang semakin membuatku penasaran apa yang sebenarnya engkau bicarakan”.

“Oh, Paul. Jangan membuatku tersipu malu di awal hari seperti ini. Aku juga melakukan hal yang sama sepertimu waktu itu. Kau terlihat seperti pria kesepian yang hanya punya teman dekat dua benda ini” Holly menunjuk sebuah gulungan tembakau murah dan sebotol alkohol murah yang tak jauh dari posisi duduknya. “Dan sejujurnya aku juga tertarik padamu. Tapi tak seharusnya seorang wanita memulai di awal”.

“ Yah, apalagi dengan kebebasanmu. Yang ku tahu ternyata adalah sesuatu yang membuatku rela berada disini bersamamu, Holly”.

“Tentu saja, Paul. Cinta tanpa kebebasan tentu sangat membosankan. Tapi aku butuh batasan yang pas dan konstan dari kebebasanku. Dan, yah kaulah orangnya. Tentu bersama kucing rakus ini yang kebebasannya sudah aku potong lima puluh persen sehingga aku berhak memberinya nama sekarang”.

“Waktu juga berperan, Holly. Jika tak ada waktu, aku mungkin tak akan bisa bertemu empat mata secara langsung denganmu di hujan deras waktu itu. Aku meyakini waktu yang akan membuatku melihatmu lagi”.

“Yah, tentu saja. Waktu juga yang membuatmu terpaku dan beku bagai es sampai-sampai kau pingsan di hujan deras waktu itu. Hahaha...” Holly terbahak. Dan kemudian disusul dengan tawa Paul yang setelah itu disusul lagi dengan kecupan manis di pagi hari pelengkap sarapan pagi di rumah kecil di persimpangan tiga jalan menuju sungai bulan, sungai yang dinamai oleh Pria bernama Paul dan diyakini oleh wanita bernama Holly beserta kucing berwarna jingga yang telah mendapat nama Goldy.

*) Terinspirasi dari lagu Moon River karya Henry Mancini dari film klasik "Breakfast at Tiffany's". Nama tokoh (Holly Golightly, Paul Varjak, dan Cat) diambil dari film dan novel yang sama. 

Jumat, 16 September 2011

Virgin Road*


Pria berkulit gelap itu menembus gelapnya malam dalam kesendiriannya. Sendiri. Hanya berteman dengan sebuah rangkaian besi yang menyatu, beroda, dengan bak terbuka di sisi bagian belakangnya. Menembus malam dengan hawa dingin yang menusuk sadis di tubuh nya. Tapi kesendirian batin nya seakan lebih menusuk tubuh tinggi berisi dengan sedikit otot yang menyembul indah menonjol di tubuh nya. Hingga tusukan sadis hawa di malam hari pun hanya sebuah tusukan sederhana untuk kulit hasil persekutuan pasangan pria dan wanita yang sudah lama meninggalkannya. Tak terjamah oleh hawa dingin. Hanya sebuah kesepian abadi yang menjamahnya setiap hari.

Benderang cahaya lampu menerangi sebuah lapangan basket luar ruangan. Melawan gelapnya malam sembari membantu menyinari lapangan olahraga itu. Pria itu mulai perlahan mengurangi kecepatan kendaraan-nya. Tepat bersentuhan dengan kulit luar pembatas antara lapangan basket itu dengan jalan sekitar , dia dengan sempurna mengurangi kecepatan ke titik nol. Menyambar jaket kulit berwarna coklat tua di kursi samping dari dirinya berada. Lalu mulai sibuk dengan dashboard tempat penyimpanan di sebarang kursi dengan jaket kulit tua itu. Pria itu dengan hati-hati mengambil sebuah benda yang tersimpan di dalam-nya. Dengan hati-hati seakan itu sebuah barang kesayangannya yang tak ingin dirusak. Sebuah senapan angin.

Pria yang sama itu kembali bergelut melawan angin malam. Masih sendiri. Namun kali ini rangkaian besi yang menyatu, hasil buah pikiran negara Sakura itu tidak menemaninya bergelut dengan kesendirian. Dia hanya bertumpu pada kedua belah kaki-nya. Berjalan hati-hati tanpa curiga di sepinya malam.

Mengendap perlahan di dalam kegelapan sebuah ruangan yang dia identifikasi sebagai ruang tamu dari sebuah istana kecil seorang kaya raya. Nasib penglihatan nya hanya dibantu dengan sebuah senter kecil dengan cahaya berpendar warna putih. Menyoroti daerah sekitar seakan sebuah pemain opera yang sedang unjuk kebolehan di panggung dengan sorotan lampu di atasnya. Sangat berhati-hati. Terpenjara dalam diam. Sekecil apapun suara yang bisa dihasilkan, bisa menimbulkan efek yang tidak kecil untuk beberapa jam, beberapa hari, bulan, bahkan tahun kedepan miliknya.

Malam yang hening dan damai. Kedamaiannya seolah tak menanamkan kecemasan atau ketakutan apapun kepada setiap orang yang bergelut dengan malam itu. Namun kedamaian itu mungkin hanya secuil perasaan untuk ketenangan diri. Yang nyata-nya kedamaian itu bisa terpecah. Dan keheningan itu pun mengikutinya dari belakang. Meninggalkan pekatnya malam.

Semua yang dia punya pun ikut hilang. Buah pikiran atas malam yang hening dan damai pun mendadak mati seketika. Sebuah peluru berhasil melibas habis otak jeniusnya dalam bidang bisnis. Sebuah peluru kecil pun juga mampu menggilas habis hal terindah dan terbesar yang dimilikinya. Tak tersisa apapun. Istri dan dua bocah kembar, bahkan pembantu nya pun tergilas habis di hening dan damai-nya malam itu.

Si Pria kesepian dengan jaket kulitnya kembali bergelut melawan angin malam. Sendiri. Hanya berteman dengan sebuah rangkaian besi yang menyatu, beroda, dengan bak terbuka di sisi bagian belakangnya. Pikiran-nya menerawang jauh. Padahal dia sendiri tak ingin menerawang jauh seperti itu. Hanya ingin berkawan dengan kesepian nya. Walaupun kesepian miliknya sering kali membuat otak nya tak waras. Tapi sesungguhnya dia masih waras. Masih bisa menghabiskan waktu dengan waras. Namun kehidupan lah yang membentuknya menjadi ganas.

Cahaya bulan memantulkan bayangan gelap Pria itu dengan kendaraan nya. Makin melaju dengan santai. Berhati-hati. Sampai akhirnya bayangan itu hilang. Si Pria dan kendaraan nya hilang pada satu titik. Dia tak pernah mau berucap kapan semua ini akan lenyap pada satu titik.

***

Sebuah melodi yang indah terdengar mengalun pada sebuah rumah sederhana yang seadanya. Letaknya yang cukup jauh dari pusat keramaian membuat hening di daerah sekitar. Sehingga tampak jelas melodi indah itu bisa diterima oleh kedua indera pendengaran. Hanya sebuah melodi musik. Tanpa imbuhan vokal rangkaian kata-kata mengiringi. Hanya sebuah melodi musik. Dari jeritan indah sebuah alat musik klasik. Sebuah piano berwarna hitam mengkilat itu bertengger paling mencolok di rumah sederhana yang sama. Hanya benda itu yang tidak bisa dikatakan menyiratkan sebuah lambang kesederhanaan. Letaknya menghadap jendela yang menyuguhkan pemandangan luar. Pemandangan luar yang indah dipadu dengan melodi yang juga indah adalah sebuah komposisi yang pas untuk sebuah keheningan.

Aku menatap keluar jendela. Sambil kedua tanganku tak mau lepas menekan rentetan teratur tuts piano berwarna putih mengkilat. Melodi ini sudah sangat ku kuasai. Rangkaian partitur not balok nya pun sudah tertanam dengan subur di dalam otakku. Semakin kuhapal diluar kepala  saat kekasihku rajin mendengarkannya di kala petang tiba. Saat ini pun aku tak perlu lagi menunggu petang datang untuk memainkannya.

Pada sebuah titik tak berujung di luar jendela. Aku menancapkan pandangan indera penglihatanku disana. Menerawang jauh seolah tanpa akhir. Kedua tanganku masih sibuk menjamah dan menekan bagian tubuh piano yang berwarna putih ditempat yang masih sama. Melodi yang dihasilkan membawa penerawanganku kembali pada suatu waktu. Waktu dimana masa yang tak bisa terlupa. Seolah bagai melodi yang membawaku kemari, yang tertanam subur di dalam pikiranku.

***

Pria berkulit gelap itu dengan mantap tanpa tergagap memasangkan sebuah cincin berwana perak ke jari sebuah wanita yang berdiri di hadapannya. Balutan kain penutup dengan warna senada sama persis dengan warna cincin tertempel sempurna di tubuh mereka. Perak putih suci. Selang beberapa sesudah itu, giliran si wanita yang kali ini memasangkan benda berwarna perak dengan wujud yang sama kepada pria yang sudah menanamkan janji suci sehidup sematinya kepadanya. Prosesi singkat ini pun melengkapi kesempurnaan dari acara pernikahan kecil pada sebuah gubuk kecil yang jauh dari keramaian. Sepi. Hanya sepasang manusia itu yang mengucap janji suci dengan saksi bisu sebuah piano berwarna hitam mengkilat sebagai mas kawin. Hanya mereka berdua, tanpa jeda, tanpa imbuhan.

Aku akan menerima segalanya. Selama aku bisa. Sampai waktu ku berakhir untuk ini semua. Si Pria mengakhiri ucapan janjinya dengan mencium tangan kanan seorang wanita, yang kini sudah bisa dikatakan menjadi istrinya. Kulit tangannya halus putih bersih. Sehalus nada bicara suaminya. Seputih janji mereka berdua. Dan sebersih tangan sang suami ketika memasangkan benda sebagai simbolisasi sebuah ikatan pada jarinya.

Wanita itu hanya memandang wajah pria di depannya dengan tatapan polos. Tanpa bersuara untuk memberi tanggapan dari perkataan suaminya. Yang nampak hanya senyum dari bibir kecil berwarna merah muda yang saat itu dilumuri dengan gincu terang berwarna senada dengan bibirnya. Yang tersirat di pikirannya hanya akhir bahagia dari sebuah putri dari dongeng-dongeng yang sering dibacanya.

Seusai semua itu berakhir. Mereka berdua menikmati tengah hari yang indah berdua. Sebuah rangkaian besi menyatu yang disangga dengan empat buah roda dengan bak terbuka di bagian belakang digunakannya sebagai kuda putih untuk ditunggangi Pria itu dan putri yang baru beberapa jam lalu menjadi miliknya. Menerjang angin panas tengah hari. Terik matahari tak bisa memudarkan keinginan mereka untuk menghabiskan waktu bersama setelah pernikahan. Dipinggir pantai yang sunyi senyap. Dipinggir pantai yang hanya diisi suara ombak. Dipinggir pantai adalah persinggahan mereka untuk menghabiskan waktu berdua. Hanya mereka berdua. Tanpa siapapun.

Bak terbuka bagian belakang saling bertatap muka dengan hamparan luas air. Tak saling melawan. Tak saling bergantung satu sama lain. Walaupun sesekali air menyentuh roda belakang sebagai penyangga bak itu. Tapi itu pun bukan keinginan sang air. Angin yang meniupnya kemari.

Si Pria dan Wanita itu sama halnya dengan bak terbuka bagian belakang itu. Mereka bertatap muka dengan hamparan luas air. Sama-sama tak saling melawan. Sama-sama tak saling bergantung satu sama lain dengan sekitarnya. Hanya angin yang meniup air hingga menyentuh sepasang kaki wanita dan pria itu.

Mereka berdua terdiam. Memegang erat kencang tangan satu sama lain seperti tak ingin terpisah.

“Sepertinya aku akan segera mengakhiri kesendirianku” Pria itu memecah keheningan setelah sebelumnya suara hanya dikontaminasi oleh suara ombak pantai.

Pria itu mengakhiri pemecah keheningan itu dengan mencium tangan kanan sang Wanita yang kini gaun pengantin bagian bawah-nya mulai terlihat bercak terkena air.

Dari kejauhan terlihat sebuah mobil dengan bak di bagian belakang mulai menjauh dari hamparan air yang luas. Membawa sebuah kebahagiaan yang dibawa oleh sepasang manusia. Menghantam kesepian diantara mereka. Memulai perjalanan baru pada hidup mereka.

***

Di gelapnya malam. Tepat pada pukul 12 malam. Aku menembus barisan terjal pagar dari besi di bagian kanan dan kiri-ku. Hingga pemberhentian terakhirku tehenti pada sebuah ruangan lapang. Aku berdiri di sisi pinggir. Bersama segerombolan pria berbaju seragam aparat yang kemudian bisa diindentifikasi sebagai polisi.

Dalam kepolosanku aku hanya terdiam. Otak ku belum mampu menejermahkan apa yang bisa aku lihat di depanku. Ada sebuah pria.  Aku bisa melihatnya dari bentuk tubuh kekar nya. Dada-nya tak terlihat seperti ada dua buah sesuatu yang bengkak. Wajahnya berwarna hitam, terbuat dari kain sulaman. Aku sangat yakin itu bukan wajah aslinya. Hanya sebuah benang wol berwarna hitam yang disulam hingga membentuk sebuah penutup untuk kepala. Dia berjalan terpaksa. Dipaksa. Gerombolan pria berseragam mengerumuninya di belakang. Kedua tangan pria itu dirantai. Dan aku hanya mampu mengintai. Tak mampu dan tak bisa berbuat apa-apa. Hanya memandangnya dari jauh.

“DHAR” Suara memekakkan telinga itu baru saja mengisi gendang telingaku. Sementara di seberang. Isi dari asal suara itu mengisi otak dan tubuhnya. Hingga mengalahkan efek suara yang dihasilkan. Sebuah peluru dari sebuah senapan sudah menembus otak dan tubuhnya.

Dalam kepolosanku aku hanya terdiam. Memang tak seharusnya makhluk hawa yang belum cukup umur melihat proyeksi sadis dan tragis seperti ini. Tapi ini mungkin sedikit perkecualian. Sampai akhirnya seorang pria berseragam memberikan secarik kertas kepadaku. Digiringnya aku sesudah secarik kertas itu bisa kugenggam dengan tangan. Aku hanya berharap, diriku bukan santapan lezat selanjutnya  yang akan siap dilahap habis oleh sebutir peluru.

***

Melodi yang sama masih kumainkan pada piano indah ini. Terawanganku terputus di tengah jalan. Diputus oleh kekacauan manis teriakan seorang anak lelaki dengan senapan-nya.

“Akan kuhabisi kau” Teriaknya lantang penuh gurauan dengan senapan dihadapkan padaku.

“Mana bisa kau habisi Mama. Karena sebelumnya Mama akan menghabisimu dulu” Dengan segera ku menyergap tubuh kecilnya. Kuangkat badan-nya. Dan kududukkan dia pada pangkuan-ku.

Penerawanganku kembali bermain. Kembali pada secarik kertas yang diberikan pria berseragam itu kepadaku. Aku sangat mengenal tulisan di kertas itu. Aku pernah melihat tulisan seperti itu saat suami ku menuliskan sebuah alamat untuk tempatku bersembunyi kesekian kalinya pada secarik kertas berbahan sama seperti yang diberikan pria berseragam itu.

Hanya sebuah ucapan “Yes, i do”. Aku berucap janji kepadamu.
Hanya sebuah ucapan” Yes, i do”. Aku percaya pada Tuhan.
Hanya sebuah ucapan  “Yes, i do”. Aku memilihmu.
Hanya sebuah ucapan “Yes, i do”. Aku ingin mengakhiri kesendirianku
Hanya sebuah ucapan “Yes, i do”. Aku ingin kita berdua hidup abadi di tempat yang sesungguhnya bisa menjajikan keabadian.
Hanya sebuah ucapan Terima Kasih. Yang tak bisa diterjemahkan dalam bahasa verbal.
Hanya sebuah ucapan Terima Kasih dari hati. Yang abadi. Yang bisa sejajar berdiri di tempat abadi yang sesungguhnya  hingga aku akan mengulang berucap “Yes, i do”

Aku terhenti di sebuah pantai. Tempat yang sama ketika kami berdua tak saling bergantung dengan daerah sekitar. Hanya kita berdua saat itu. Namun kini hanya aku. Berdiri seorang diri di tepi pantai. Secarik kertas itu masih kugenggam. Kupandangi sejenak. Lalu otak ku mengirimkan perintah ke tanganku untuk menuliskan sesuatu.

Hanya sebuah ucapan Terima Kasih. Atas sebuah kesepian. Atas sebuah kesedihan. Atas semua hal yang terlihat kelam namun sesungguhnya indah.
Sampai bertemu di tempat keabadian yang hakiki.
Terima Kasih.

Aku menuliskan nya pada bagian paling bawah secarik kertas itu. Melipatnya dengan rapi. Terjaga dengan rapi hingga aku kembali dari penerawanganku.

Anak lelaki di pangkuanku masih sibuk mengkaji senapan nya. Aku masih sibuk dengan efek dari penerawangaku akan memori. Sebuah perjalanan indah. Bersyukur tanpa harus menemukan cinta yang rumit terlebih dahulu. Bersyukur atas darah daging yang saat ini duduk di pangkuanku. Berharap semoga senapan berwujud nyata, tidak akan menembus otak dan tubuhnya saat usia nya beranjak di usia yang sama persis dimana otak dan tubuh Ayahnya berhasil ditembus oleh peluru dari senapan.

***

*) Terinspirasi dari judul lagu yang sama dari Ayumi Hamasaki. Di ambil dari koleksi Album kedua belas bertajuk Love Story.