CLICK HERE FOR FREE BLOGGER TEMPLATES, LINK BUTTONS AND MORE! »

Minggu, 30 Oktober 2011

And the Dream Never Stop :'))

Entah, sejujurnya saya sudah habis berkata-kata.
Baru saja beberapa jam yang lalu saya menjemput passion dan mimpi saya untuk bisa datang di Fashion Week. Tiket sudah ditangan.

Dan, di hari yang sama. Dengan kondisi keadaan yang berbeda tentunya. Siang yang datang dengan sedikit mendung di awan. Passion saya yang lain menghampiri saya. Adalah menulis. Sebuah workshop menulis gratis yang dilansir oleh novelis terkenal, Albethiene Endah. Awalnya saya sempat deg-degan nggak diterima. Yah, gimana nggak deg-degan karena beliau hanya memilih 400 orang untuk mengikuti workshop ini. Dan ternyata, alhamdulillah saya termasuk 400 orang itu.

Alhamdulillah,
Tuhan benar-benar baik sama saya. Entah, saya harus membalas apa setelah ini :').

Sebuah email yang letaknya tepat diatas e-mail e-ticketing Jakarta Fashion Week. Double Happiness. Thank You So Much God. Sehari merasakan sebuah mimpi yang sepertinya tak pernah berakhir :')).


Walk Walk Fashion Baby. OMG!..

Alhamdulillah...
Akhirnya kesampaian juga impian saya buat dateng ke acara fashion week (walau masih di dalam negeri dan hanya sebagian acaranya saja). Berbekal terburu-terburu, akhirnya tujuh buah tiket fashion show di gelaran Jakarta Fashion Week 2012 bisa saya dapatkan. Alhamdulillah :)).

It would be my very first time experience about my passion. Semoga kabar baik lain tentang passion saya yang lain bisa saya pegang. Bismillah :)).

Nggak kebayang aja, saya yang masih mahasiswa semester 7 di kampus paling pinggir Yogyakarta akhirnya bisa dateng ke acara kaya' gini. Mimpi..mimpi..mimpi.. siapa yang gak bakal mengira hal yang tidak mungkin seperti ini bisa dibilang seperti mimpi. Tapi akhirnya nyata. Alhamdulillah :)).

Terima Kasih, Allah :)).
The ticket

The another ticket

Jumat, 28 Oktober 2011

HEAVEN


Ayumi Hamasaki - HEAVEN

Pada sebuah cerita di mimpiku waktu itu. Aku berada di sebuah pelataran taman antah berantah. Nampak terlihat segalanya hitam putih, segalanya terlihat aneh membuatku betah. Entah. Tak menahu. Aku mengangkat badanku untuk menyusun posisi duduk bertumpu pada batu yang terletak persis dibawah pohon yang rindang, yang juga terlihat hitam putih. Samar-samar tetapi jelas, aku mulai mendengar gemuruh dari kejauhan. Gemuruh biasanya identik dengan tangisan awan berupa hujan. Akupun segera bergeser mendekat menuju bagian bawah pohon. Mengambil strategi awal. Sedia payung sebelum hujan. Gemuruh kedua menembus gendang telingaku. Kali ini suaranya terdengar lebih kerasa daripada sebelumnya. Awan gelap pun mulai menyongsong bergerombol kejam datang. Aku tau awan bukan sosok yang lemah dan cengeng hanya dengan sebuah cubitan akan menangis. Bagaimana mungkin sosok yang bisa mencipta kilat kuat yang kejam merupakan sosok yang lemah dan cengeng?. Perlu dihantam berkali-kali lipat, awan baru akan bisa menangis. Seperti saat ini, gemuruh ketiga yang datang lebih keras bagai teriakan awal awan yang kesakitan telah dihantam. Lalu kemudian menangis, hujan membasahi pelataran antah berantah.

Di kejauhan, aku melihat sosok yang tak asing oleh penglihatanku. Wanita berambut panjang sepinggang. Dia tak takut basah. Dirinya tak basah. Setitikpun tidak. Walau air hujan sudah mengucuri habis raganya. Entah mengapa, aku merasakan ketakutan terbasahi oleh air hujan. Sesuatu yang tidak biasa buatku. Sehingga kuputuskan hanya diam ditempatku terduduk. Wanita itu merubah posisinya berdiri. Berputar. Sedikit demi sedikit aku bisa melihat sosok lengkap dengan raut muka wajahnya. Dirinya sama halnya dengan awan. Sedang menangis. Entah apa yang telah menghantam dirinya untuk kemudian menjadikannya menangis.

Dia sudah sempurna memutar posisinya berdiri. Sudah tidak berada pada posisi membelakangiku. Namun, masih saja aku tak bisa melihat wajahnya dengan benar-benar sempurna tanpa cela. Mungkin terhalang oleh hujan lebat yang turun. Atau mungkin memang jarak kami yang berjauhan. Akupun memicingkan kedua mataku. Berharap usaha ini bisa membuahkan hasil untuk lebih sempurna melihat sosok wajah wanita yang sedang menangis itu. Aku mendapati air matanya meleleh membasahi pipinya. Keheranan. Kekhawatiran. Apakah wanita itu adalah kekasihku?. Kenapa dia menangis?. Kenapa aku tak bisa menjangkaunya?. Kenapa aku tak bisa mempunyai perasaan untuk menjangkau tubuh dan kemudian memeluknya saat ini?. Yang pada akhirnya, yang kubisa hanyalah menjadi gila. Menggila. Menangis menggila ketika dirinya ternyata pergi mendahuluiku. Penyakit berhasil mengunyah habis kekasihku.
***

Pada sebuah cerita di mimpiku. Kini bagian mimpiku yang kedua. Ada sebuah kupu-kupu mencium hidungku. Kubuka mataku. Yang bisa kulihat adalah sosok kekasihku dibelakang siluet kupu-kupu yang persis berada di depan mataku. Karena tak betah berlama-lama. Kupu-kupu itu terbang menikmati kebebasannya kembali. Selamat Datang. Ucap kekasihku dengan lancar. Dia sudah sangat piawai berucap AIUEO. Terima kasih Tuhan.

Sebuah pelataran taman indah berwarna-warni. Rumput-rumput hijau bergoyang bagai bermain peran di perbukitan Sound of Music. Sapuan warna-warni indah tertancap manis di jalan setapak yang penuh dengan taman bunga yang juga berwarna-warni. Awan biru bergradasi keungunan terbentang luas di angkasa. Ada pelangi yang seperti membentuk jembatan warna-warni indah yang menghubungkan awan satu dengan awan yang lainnya. Semuanya sempurna. Semuanya indah. Semuanya bagai surga.

Tuhan masih memberi kami kesempatan untuk bertemu. Kami berdua. Sebuah kehidupan lanjut bersamamu yang tak pernah bisa kubayangkan setelah kau pergi. Karena memang mustahil ingin bersama sosok yang telah tiada. Karena memang ini lah takdir, takdir kita. Bibirmu kembali menyerukan kalimat dalam suara yang dulu tak pernah bisa ku dengar. Aku hanya terdiam, tersenyum, lalu memelukmu erat sampai petang menjelang. Dengan lautan bintang yang terhempas luas di selimut malam yang hitam pekat.

Hidup memberiku petunjuk untuk percaya. Walaupun segalanya memang sudah sangat jelas tidak akan bisa terjadi di kemudian hari, namun hidup tidak pernah menyerah memberikan ku petunjuk untuk selalu percaya. Dirimu memelukku erat, aku pun demikian, kami menikmati sajian lautan bintang yang berkedip manja, dan indera pengucapmu masih berbicara manis tanpa henti tentang semua ini. Sempat aku berpikir untuk menyerah untuk percaya. Dan hanya cukup berkata selamat tinggal ketika waktu itu kau sedang menangis menggila. Tidakkah kau mendengar ucapan selamat tinggalku waktu itu kekasih?.

Aku selalu berada di sampingmu. Walau aku sudah tiada. Tapi kau selalu memintaku berada di sisimu. Tanpa pernah beranjak dari sampingmu. Yang pada akhirnya, kau menyatukan sedikit jiwaku di darahmu. Membiarkannya menggerogoti tubuhmu sepertiku dulu. Aku tak pernah menginginkan cara seperti ini untuk bersama. Namun aku sudah tak bisa melarangmu melakukan hal gila seperti itu. Aku hanya mampu melihatmu dari kejauhan. Dan merasakannya sedikit pada ragaku yang telah menyatu di dalam tubuhmu. Hingga kita bisa saling menyentuh satu sama lain. Benar-benar bisa menyentuh diri kami masing-masing. Pada sebuah pelataran taman indah warna-warni, yang ketika malam tiba, dihiasi lautan kristal berkedip manja di angkasa seperti saat ini.

Mimpi keduaku tak pernah berbohong. Karena mimpi bukan manusia. Akupun juga sama sepertimu kekasih. Tak pernah mampu mengucapkan selamat tinggal. Hingga pada akhirnya aku berbuat demikian. Bodoh. Tolol. Idiot. Moron. Menyatukan sedikit jiwamu mengalir di darahku sudah menggerogoti tubuhku yang kotor. Aku dikirim disamping ragamu yang sudah damai. Semoga aku bisa menemanimu dengan damai. Kami bisa bersatu lagi karena percaya. Mungkin bisa dibilang percaya akan cinta. Atau percaya akan hal lain.

Pada sebuah pelataran taman indah warna-warni, yang ketika malam tiba, dihiasi lautan kristal berkedip manja di angkasa. Bersama kekasihku. Hanya kami. Hanya kami berdua.  Mampu menyentuh sama lain. Mimpi kedua benar-benar menyentuh ragaku. Tidak seperti mimpiku yang pertama. Mimpi pertama yang hanya imajinasi saat terlelap. Mimpi kedua yang seakan ingin membuatku selalu terjaga bersama kekasihku di dunia yang katanya penggambaran sebuah surga. Entahlah. Jangan tanyakan padaku tentang kebenarannya. Aku hanya akan sibuk disamping kekasihku. Kekasihku yang mantan jalang. Dan diriku yang mantan hidung belang.
***

Selasa, 25 Oktober 2011

Together When...


Ayumi Hamasaki - Together when...

Aku dan dirinya. Kami berdua berjalan tanpa tujuan yang pasti. Karena kami tak akan pernah tau perjalanan kami akan sampai kapan dan dimana akan berakhir. Bisa saja ditengah perjalanan akan ada sebuah kendaraan yang melintas dengan kencang secepat angin. Lalu tanpa melihat keberadaan kami. Aku atau dirinya atau kami berdua, terpental dari tempat semula kami berdua berjalan, setelah sebelumnya mendapat kecupan tragis dari kendaraan yang melesat bagai angin yang telah melintas. Atau mungkin, bisa saja karena lamanya kami berjalan tanpa tujuan. Usia mulai menggerogoti tubuh kami sedikit demi sedikit. Sepasang kaki yang semula mampu menerjang jalan berkilometer jauhnya. Sekarang hanya mampu menerjang dengan ukuran jarak yang lebih kecil. Bahkan, besar kemungkinan sepasang kaki kami tak akan mampu menerjang satu langkahpun jalanan yang kami tempuh. Kami mencoba untuk tak memandang ke belakang. Terbilang cukup menyeramkan. Pemandangan bak mendung hitam pekat seolah menjadi latar belakang yang menyeramkan untuk dilihat. Terlebih lagi, berjalan ke arah depan dengan pandangan menoleh ke belakang sungguh cukup banyak resiko. Dengan banyakanya hal yang terjadi dan akan terjadi, kami masih akan tetap berjalan meneruskan perjalanan kami berdua. Walau kami merasa ada kerikil-kerikil tajam ketakutan yang  sama-sama menguasai diri kami. Semua itu tak menghalangi langkah kami berjalan ke depan dengan damai. Berusaha tanpa beban.

Di pertengahan perjalanan. Kami beristirahat sejenak di bawah pohon rindang yang melindungi kami dari persetubuhan langsung dengan sinar matahari yang posisinya saat itu sedang tepat berada di atas kepala kami. Kami benar-benar merasa kelelahan. Kelelahan tak terperi. Sedikit berpikiran untuk menyerah melanjutkan perjalanan tak berujung ini. Kelelahan yang menguasai pikiranku pun mulai meraja. Andai saja, aku bisa dilahirkan lebih beruntung. Lebih memiliki segalanya yang banyak hingga berlebih  untuk menjalani hidup. Aku tak akan perlu merasa sukar untuk menjalani perjalanan tak berujung seperti ini. Aku akan bisa melindungi kekasihku pada rangkaian besi yang berwujud mobil mewah seperti yang sering lalu lalang seenaknya sendiri di perjalanan kami. Kalaupun bisa seperti itu, mungkin di dalam sana segalanya akan terasa sangat begitu mudah. Kulit kami tak akan menjelma menjadi hitam karena sengatan matahari yang kejam. Alas kaki murah kami akan serupa dengan alas kaki mewah yang tidak mudah rusak. Dan selain atas segalanya diatas, jika aku bisa dilahirkan kembali lebih beruntung. Aku akan dengan cepat melepaskan sarang kepedihanmu selama terpenjara di dunia malam yang kelam. Lebih cepat lebih baik. Penyakit ganas yang memperkosa ragamu akan bisa lebih cepat dihindari. Tapi sebagai mestinya andai. Andai selalu bertolak belakang dengan realita. Realita yang membuat kami tersadar dan mengharuskan kami berjalan tanpa tujuan dengan apa adanya aku dan kekasihku. Hingga pada akhirnya, kami bermalam masih di tempat yang sama dimana aku bermain-main dengan andai. Andai yang berakhir didepak keras oleh fajar berseri di pagi hari yang cerah.

Di kelanjutan perjalanan yang entah sudah berapa kilometer jauhnya ini. Kami berpapasan dengan cahaya menyilaukan di depan kami. Matahari tak memakan kami. Karena matahari sudah berada di atas kepala kami. Kekasihku sangat ketakutan melihat silau cahaya itu. Aku menggenggam tanganya untuk sekedar meredakan kecamuk perasaan takut yang sedang menguasainya. Mengenggamnya erat. Aku menuntunnya berjalan perlahan. Selangkah demi selangkah. Dua langkah. Tiga langkah. Empat langkah. Lima langkah. Hingga kami bersatu dengan cahaya menyilaukan yang secara tiba-tiba muncul di tengah perjalanan kami.

Aku terbaring lemas pada sebuah tempat tidur. Sendiri. Sebatang kara. Di tempat yang sama yang sudah sangat kuhafal diluar kepala seluruh bagian ruangannya. Menjamah bagian bawah bantal tempat aku menyandarkan kepalaku. Tanganku sibuk mencari sesuatu yang tersimpan disana. Kutemukan sebuah kotak yang kucari. Rokok kretek asli Indonesia memang juara. Tanpa menunggu lama kuraih korek api dari kayu yang posisinya persis di sebelah aku menemukan rokok kretek ku. Ruangan yang kusinggahi dipeluk suatu tulisan lantang berbunyi “NO SMOKING”. Cuih, persetan. Toh, hanya aku sendiri yang berada di ruangan ini. Tak akan menganggu yang lain. Tak akan ada yang diganggu. Mereka yang menyinggahi tempat ini semuanya sudah pergi. Pergi entah kemana. Dan aku mempunyai keyakinan yang sangat besar, bahwa aku lambat laun akan mengikuti mereka untuk pergi. Sebatang rokok kretek tentu bukan penyebab utamaku untuk pergi. Jikalau aku tak menghisapnya pun aku juga akan pergi dari sini.

Beberapa bulan yang lalu. Aku sudah sering bercinta dengan ruangan ini. Seperti sebuah takdir yang tak masuk akal, pada akhirnya aku menjadi penghuni tetap ruangan ini. Kamar keduaku setelah kamar tidur dengan kasur buluk yang setia tertimpa tubuhku dengan tubuh kekasihku. Namun, segalanya yang berada di ruangan ini kini sudah berubah. Berubah dengan sangat drastis. Penuh botol dan kaleng-kaleng bir berserakan. Puntung-puntung rokok tak kalah berjejalan di lantai keramik putihnya. Sangat berlawanan dengan citra yang seharusnya dari tempat yang menaungi ruangan ini.

Aku menyatukannya pada darah yang mengalir ditubuhku secara diam-diam. Disaat aku sudah menyerah atas segalanya. Saat segalanya sudah sangat jelas terlihat sangat sia-sia. Pikiran sehat pun terasa sangat sia-sia untuk melawan pikiran yang sedang menjadi sarang penyakit. Pikiran sehat dilibas habis tanpa ampun dan tanpa meninggalakan bekas sedikitpun. Bodoh. Idiot. Moron. Semuanya sudah menjadi satu kesatuan. Ini sebagai ucapan terima kasih kepada kekasihku. Bukan ucapan terima kasih kepada kehidupan. Ini sebagai perilaku untuk cinta kepada kekasihku. Bukan perilaku untuk cinta kepada kehidupan. Manusia memang hanya manusia. Ahli kesehatan seperti dokterpun juga manusia. Yang juga bisa mempunyai daya ingat yang minim lalu disebut lupa. Hingga memberiku kesempatan meraih jarum suntik yang sudah orgasme sehabis bercinta dengan kekasihku sebelumnya.  Menyuntikkanya tanpa ampun di lengan kananku tanpa sepengetahuan siapapun. Menyatukan sedikit jiwa kekasihku untuk bermain dengan jiwa ragaku. Akupun kini juga sudah positif.

Kami akan selalu bersama hingga kini. Kami akan terus berjalan bersama tanpa tujuan. Kami akan terus berjalan bersama tanpa tujuan, tanpa melihat mendung hitam pekat menakutkan di belakang. Hanya berdua. Bersama. Aku dan kekasihku. Suatu kenaifan tentang kehidupan yang sebenarnya. Tapi sudah bukan saatnya untuk lebih dikaji. Sudah terlalu lelah.

Badanku semakin lemas. Seiring dengan terkikisnya seluruh tubuh rokok kretek yang kuhirup. Aku memutuskan untuk berbaring tidur di tempat tidur yang dulu pernah menjadi alas tidur dirinya, kekasihku. Namun, sebelumnya aku meraih botol bir di meja samping tempat tidur. Lagi-lagi persetan. Toh, hanya aku yang berada disini. Tak akan ada yang berani mengusik. Tanpa sabar kuteguk bir yang sudah berada di genggamanku. Tak bersisa. Habis dengan sempurna. Lalu aku memasrahkan diriku pada kuasa tempat tidur. Tidur pulas. Tanpa tahu menahu kapan akan kembali terbangun dari tidur ini.
***

Minggu, 23 Oktober 2011

CAROLS


Ayumi Hamasaki - CAROLS

Entah bermula sejak kapan, sejak saat itu aku mempunyai sedikit impian untuk bisa menggenggam salju seperti mudahnya aku menggenggam pasir. Analogi menggenggam salju seperti menggenggam pasir aku gunakan karena sejak impian itu muncul, kedua telapak tanganku tak kunjung bertemu dengan wujud asli salju yang banyak ditampilkan berwarna putih. Aku banyak melihat wujud aslinya pada sebuah kotak berukuran empat belas inci yang terpatri di kamarku sejak lama. Dirinya sering menampilkan gambar-gambar bergerak dua dimensi. Seharusnya wujud dua dimensi mudah dicapai. Tapi saat tanganku mencoba menjamah kotak yang menampilkan dunia penuh salju itu, aku hanya bisa menyentuh kaca yang terlihat membatasi duniaku dan dunia penuh salju. Dan pada akhirnya aku menyerah. Berjanji namun tak sampai sebegitu berusaha keras, bahwa suatu saat aku akan benar-benar mampu menyentuh salju. Dan tak ingin mengharuskan diriku sendiri harus berada di tempat mana hingga aku bisa menyentuh salju. Dimana saja kalau bisa. Asal salju ingin bercumbu dengan ragaku.

Barangkali, saat ini bisa dikatakan sebuah perkecualian. Perkecualian yang eksistensinya di kehidupan hampir serupa dengan eksistensi faktor keuntungan dan keajaiban. Jumlah partikel-partikel penyusunnya lebih sedikit jika dibanding partikel-partikel keterbiasaan kehidupan. Salju dimuntahkan langit malam. Salju ingin mencumbui ragaku di bawah selimut malam. Seakan tak perlu jauh menyeberang ke utara dunia untuk berkenalan dengan sosok asli wujud salju. Salju turun membebani atap rumah. Salju turun membebani atap rumah kami. Perkecualian yang cukup indah di negeri khatulistiwa untuk ditangisi salju oleh awan.

Barangkali juga, dunia sedang terbalik. Sejujurnya, aku tak benar-benar menginginkan keterbalikan seperti ini. Pita suaraku mampu berucap AIUEO dengan sempurna. Namun yang membuatku sedih, kekasihku bagai terjahit seribu benang pada indera pengucapnya. Dunia berselimut malam yang sunyi, terang dan gelap saling berganti peran. Semua keterbalikan itu menjadi satu kesatuan utuh ketika ragaku dan kekasihku sedang sibuk bercumbu sampai bersetubuh dengan salju yang turun di atap rumah. Perkecualian, keterbalikan, dan atau mungkin keajaiban. Yang kumengerti semua hal itu hanya bisa terjadi sekali di kehidupan. Mungkin saat ini Tuhan sedang memberikan ku sebuah kebaikannya yang lain. Memberikan kami sebuah kebaikannya diantara kebaikan lain untuk kami. Semua yang ku lakukan, walau ada bagian yang membuatku sedih. Berusaha kugantikan dengan ucapan terima kasih atas semua yang terjadi di malam ini.

Ibu menyuruhku menjadi jalang. Karena ibu juga jalang. Saat itu sudah berstatus mantan jalang. Katanya untuk meneruskan dan memperbaiki ekonomi keluarga. Tanpa sosok ayah, ibu berusaha membina keluarga. Keluarga baginya hanya aku dan dia. Ibu memang cukup berbeda dengan wanita-wanita jalang lain yang juga memiliki putri. Wanita-wanita jalang lainnya lebih memilih untuk memutus dunia malam liar yang kejam dari dunia putri-putri mereka. Mungkin, ibuku adalah sebuah perkecualian. Dan mungkin saja, bermula darisanalah aku mulai mengenal perkecualian di kehidupan.

Usia beliaku yang membuatku menuruti apa yang dikata Ibu.  Ibu piawai memoles ragaku untuk menutupi kekuranganku untuk berucap. Yang kemudian aku jadikan pelajaran otodidak untuk menutupi kekuranganku tersebut, saat aku mulai masuk dalam roda berputar dunia malam yang liar. Ibu menyumbangkan badanku untuk dinikmati para lelaki hidung belang untuk menggantikan tempat duduknya di tempat ibu mencari penghidupan. Aku mulai belajar tentang kehidupan dan penghidupan. Walau tiap memoles wajah sebelum berjualan, butiran kecil benda cair sering dimuntahkan bola mataku. Sedih dan terpaku. Tapi aku tak bisa berbuat apapun.

Salju yang turun semakin lebat. Mulutku pun semakin lebat berucap tentang apa saja. Tanpa titik dan koma. Ragaku gemar dicumbui salju walau sudah lama. Aku tak merasakan sedikitpun menginggil kedinginan. Sebagaiamana sosok pria disebelah yang mendekapku. Kekasihku juga merasakan hal yang sama walau dia hanya diam seribu bahasa. Wajah diamnya membuatku meneruskan ucapan-ucapanku tentang apa saja, yang kemudian menjemput penerawangan.

Hampir setahun aku melayani lelaki hidung belang. Kau pun muncul di antara banyaknya lelaki hidung belang yang sudah menyetubuhiku. Nampak serupa dengan lelaki hidung belang yang lain.  Kedua bolamata milikmu sama-sama menyiratkan tentang kepuasan hidup. Menikmati hidup. Seolah membuang hal lain yang lebih berharga dan manusiawi dari pandangan kedua bolamatamu. Kau hanya memandangku hanya sebatas wanita jalang. Segalanya terjadi dengan tak ada perubahan. Segalanya terjadi tanpa ada apa-apa di awal aku melihatmu. Diawal kau menikmati tubuhku.

Namun, ternyata ada kalanya waktu yang mengijinkan perubahan untuk datang. Hingga pada akhirnya, dekapan erat ini yang menemani salju yang mencumbu ragaku. Entah apa yang terjadi setelah ini semua. Aku hanya ingin merasakan ada sosok yang ternyata bisa memberiku sebuah pelukan. Yang tak mungkin selamanya memeluk, karena hidup tak pernah mengijinkan keabadian untuk lebih lama singgah. Hanya mampu menyimpannya saja. Dingin salju yang tak kurasa mungkin sudah menjelma menjadi sebuah kecamuk. Antara bahagia dan kesedihan. Semua berkecamuk menggantikan dingin. Efek yang dihasilkan hampir serupa. Badanku menjadi kaku. Badanku terasa beku. Yang kemudian disusul dengan tetesan kecil air yang terasa dingin hasil muntahan kedua bola mataku. Aku berusaha menutup kedua mataku untuk menghentikan tangis. Tak seharusnya perasaan bahagia dan sedih yang berkecamuk menghasilkan sebuah tangisan. Namun sepertinya usahaku sia-sia. Aku tak bisa menutup mata lebih lama. Dan yang bisa kulihat saat membuka mata, tubuhku tertidur damai tertutup piyama dan selimut putih yang bersih. Tertidur damai di sebuah ruangan dengan infus yang menjalar mencium pergelangan tanganku. Kekasihku membuat gerakan menggila di samping tempatku tidur damai pada sebuah tempat tidur. Kekasihku berteriak menggila. Dengan penuh air bagai peluh yang menguasai wajahnya. Kekasihku menangis menggila. Aku tak yakin aku mampu mendekapnya untuk berusaha menghentikan kegilaanya yang meraja. Ada sosok lain yang menarik ragaku yang membuatku sukar menyentuh kekasihku.
***

Kamis, 20 Oktober 2011

Dearest


Ayumi Hamasaki - Dearest


Keadaannya semakin membuatku khawatir. Perlahan namun pasti mulai sedikit demi sedikit mengikis keberadaannya untuk lebih lama tinggal. Sempat suatu hari aku mengalami keterpojokan. Dihantui kebingunan, sembari mendengar batuk-batuk hebat yang terkadang mengeluarkan darah yang bersumber dari dalam kamar kami berdua. Tak pelak, deru kesedihan pun menyambut deru batuk-batuk menyakitkan dari kedua bola mataku. Lupakan suatu keharusan jikalau pria sangat tidak diijinkan berteman dengan air mata. Seluruh tembok keharusan benteng diri sendiri akan hancur dengan sendirinya saat mengenal cinta yang menjadikan aku menjadi kami. Kami pun menjadi dia disaat salah satu penyeimbang penyusun kami jatuh tak berdaya. Benar-benar tak berdaya. Bukan benar-benar tak berdaya akan hal kecil seperti sukar berjalan. Benar-benar tak berdaya karena memang kemampuannya untuk menyusun kami terkikis bukan atas kemauan dirinya sendiri.


Bertarung dengan kebingungan bukan hanya sekali itu saja harus kuhadapi. Sudah berkali-kali, apalagi saat aku melihatnya nampak benar-benar tak berdaya. Namun pertandingan itu tak pernah sepenuhnya selesai. Senyuman penggambaran atas baik-baik saja selalu mengakhiri pertandingan itu di tengah waktu. Berjalan perlahan, menyambutku duduk bertumpu pada tanah bagai anak kecil yang sedang sedih dihukum dipojokan dinding tembok. Yang tersisa setiap malam kejadian itu adalah senyuman. Senyuman baik-baik saja yang membuat kebingungan dan keterpojokkanku sedikit mereda, lalu kami menyusulnya dengan mengakhiri hari di kasur buluk kesukaan kami. Mungkin hanya itu yang tersisa bisa ia lakukan untuk kami.

***

Andai saja hidup itu mudah dan tak sekejam ini. Mungkin, aku atau juga dirinya akan dengan mudah menghapus adanya sosok penghalang atas proses menyusun kami. Tapi apapun cara yang dilakukan. Hidup akan tetap berdiam kokoh dengan kejam. Hidup tak pernah berkenalan dengan kata mudah. Tidak mudah menghapus apa yang telah sedikit demi sedikit menggerogoti tubuhnya. Aku sama halnya terkikis seperti yang dia rasa. Otak ku sudah terkikis habis dibelah perlahan oleh bingung dan keterpojokkan. Sampai akhirnya aku memutuskan satu hal sebagai pemberhentian terakhir atas semua ini.

Di suatu malam, aku tak menemui wujudnya di tempat biasanya kau menghabiskan malam, di kasur buluk kesukaan kami. Aku tahu dia sedang naik pitam karena satu hal. Melihatnya seperti ini, kemarahanku pun mulai sedikit ikut meraja. Kalau saja ada yang bisa lebih baik aku lakukan selain ini. Aku takkan perlu bersusah payah bertarung dengan kebingungan dan keterpojokkan hingga menghasilkan keputusan ini.

Ketika dini hari menyambut, aku menemukan keberadaannya di tempat yang sudah ku kira sebelumnya. Tempat dimana dia seharusnya berada. Tapi disana, aku menemukannya sedang berperang sengit dengan penolakan-nya yang sedang naik pitam. Tentu dia tak melakukannya dengan kata-kata. Ketika dirinya melihat keberadaanku, Dia semakin naik pitam, penolakannya semakin menggebu. Aku hanya berusaha tenang. Hanya terdiam. Sampai dirinya selesai menghabiskan pitam-nya yang dia tumpahkan habis-habisan kepadaku tanpa kata-kata. Air mata lalu tampak di wajahnya ketika dia telah mengakhiri semua yang ingin dirinya muntahkan. Aku bisa mengidentifikasinya bukan sebagai air mata yang ingin dikasihani. Air mata penyesalan. Air mata kesedihan. Air mata dari ketidakberdayaan yang benar-benar dia rasa. Air mata dari segala ketidakmampuan  yang benar-benar dia rasa.

Sebagaimana tentang kata bijak hidup itu adalah pilihan. Aku memilihnya juga merupakan satu dari banyak hal pilihan hidup. Dan sebagaimana sosok manusia dewasa, yang dikatakan bahwa kehidupan mengharuskan sosok dewasa itu bertanggung jawab atas pilihan hidup yang telah dipilih. Ditambah lagi dengan keberadaan sosok Pria yang sejatinya dilahirkan bukan untuk sebagai pecundang. Sosok pria mantan hidung belang berusaha menjadi lebih baik karena mengenal cinta dan berani mengambil pilihan untuk mengenal cinta tersebut pada sosok wanita mantan jalang dengan segala ketidakmampuan yang dimilikinya.  

Aku memutuskan untuk menjual rumah milikku kepada teman lamaku. Namun, dia masih mengijinkanku berteduh disana karena dia masih mau mengerti tentang keadaan kami berdua. Saat ini bukan saat yang tepat untuk hanya membiarkan wanita yang merupakan kekasihku berteduh disana. Tubuhnya sedikit demi sedikit mulai terkikis. Ada sebuah tempat yang semestinya untuk dirinya berteduh. Aku mengganti tempat tinggalnya dengan menjual rumah milikku. Barangkali sebuah langkah dari tanggung jawab atas pilihan itu sendiri. Barangkali sebuah langkah atas porsi cinta yang sebesar penyakitnya. Tak ada salahnya memberikan segalanya yang bisa dilakukan untuk kami.

***

Rabu, 19 Oktober 2011

Endless Sorrow


Ayumi Hamasaki - Endless Sorrow


Sepi yang telah menjelma menjadi kesepian. Barangkali dirinya sudah mempunyai takdir untuk menemani kehidupan yang kumiliki. Sangat kuijinkan kau menyembutku lelaki hidung belang. Karena memang aku gemar bersenggama dengan jalang. Di malam petang. Di gang sempit yang lengang. Demi mengabulkan permintaan yang mengganjal dalam celana jeans yang terselip kelaminku yang sedang tegang. Tak usah kusebutkan kenapa tingkahku bisa sehina melebihi jalang seperti ini. Aku berani taruhan, pasti alasan dari perbuatanku tak ada menariknya sama sekali. Alih-alih malah kelahiran kata-kata memang kau sudah bodoh dari sumbernya, akan lahir secara normal dari pikiran-pikiran yang memintaku menjelaskan alasan kenapa aku bisa menjadi sehina sekarang.

Aku tak pernah menyimpulkan semua ini sebagai derita. Meratapi derita hanya membuat hidupku semakin tak bisa senikmat bersenggama dengan para jalang molek nan cantik dengan aroma parfum murahannya. Hidup semakin tidak indah dan tak bisa dinikmati kalau hanya menjalaninya dengan meratapi. Kata bijak itu pernah kulihat pada sebuah stiker di angkot reyot yang membawaku pulang ke rumah. Jikalau di kaji dengan pikiran sehat dan intelek ku, mungkin ada benarnya kata-kata pada stiker itu. Namun, ketika tubuhku sudah sepenuhnya terkontrol dengan alkohol. Tak perlu lagi menggunakan pikiran sehat dan intelek untuk menyetujui perkataan di stiker itu. Alkohol membuatku sangat menikmati dunia tanpa pernah berpikir untuk meratapi hidupku yang memang bejat ini.

Seperti yang diajarkan hidup tentang ketidakabadian. Semuanya sudah terjadi tiga tahun yang sudah berlalu. Barangkali cinta yang membuatku tersadar. Karena dalam pemahamanku, cinta seperti kekuatan magis. Sudah berapa orangkah yang berubah karena cinta ?. Tak perlu dijawab, karena menghitung berapa hanya membuat kita malas menjawabnya, atau bahkan akan menjadikan lahirnya pemikiran baru, bahwa tak sepenuhnya benar bahwa cinta itu bisa membuat orang berubah. Banyak jawaban. Banyak alasan. Karena apa yang telah terjadi atas perubahanku memang ada campur tangan dari cinta.

Perasaan cinta pada sesosok jalang. Perasaan cinta pada sesosok mantan jalang. Dia wanita yang kesekian kali dari wanita-wanita jalang lain yang pernah kusetubuhi. Wanita yang tak banyak bicara. Tak banyak menuntut macam-macam dan cerewet seperti wanita jalang yang lain. Barangkali itu yang membuatku tertarik padanya, selain dengan imbuhan aksi ranjangnya yang  bagai pegulat profesional kelas ikan paus. Dua tahun bukan waktu yang mudah untuk membuatnya meninggalkan dunia yang sudah dia geluti dari usia muda. Segalanya butuh usaha, usaha butuh suatu gerakan. Gerakan itulah yang menjadikan salah satu alasan lainku untuk berubah.  Kuputuskan untuk memulai lebih dulu untuk mengakhiri hidup bersama dunia seks yang dijadikan ladang bisnis. Memulai segalanya dengan awal yang baru. Bekerja serabutan. Mengumpulkan sedikit demi sedikit sampai pada akhirnya aku memberikan semua jerih payahku selama satu setengah tahun kepada atasan wanita jalang yang ingin kumiliki. Semuanya berjalan dengan lancar, karena jerih payahku selama satu setengah tahun itu adalah semacam tantangan darinya. Semuanya berjalan dengan lancar, tanpa perlu ada proses berbelit karena dipermudah atas pembuktianku padanya. Malam yang indah dengan cahaya bulan yang temaram, bayangannya mengikuti bayanganku pergi meninggalkan peneduhan yang kali ini sudah saatnya beristirahat untuk meneduhinya.
***

Malam yang masih sama indah. Selimut gelap bermotif cahaya kristal kecil terang berwarna putih. Kami berbaring di kasur buluk kesukaan kami. Sudah usang dan berdebu. Tapi usang dan debu favorit kami. Penggambaran analogi yang tak cukup baik dari kehidupan bahagia kami selama ini. Namun kami berdua sudah cukup dengan mensyukuri segala sesuatunya dengan apa adanya saat ini. Mensyukuri segala sesuatunya dengan apa adanya selalu berjalan sejajar dengan hobinya menggambar malaikat. Sebuah kegemaran tersembunyi yang tak pernah ku duga saat kami berdua masih bersenggama dengan dunia malam yang katanya hina. Awalnya, aku sempat tersentak. Bagaimana tidak, seorang mantan hidung belang dan seorang mantan wanita jalang bisa disejajarkan dengan sosok malaikat ?. Ilustrasi malaikat yang dibuatnya selalu dijelaskan bahwa itu adalah sosok kami beruda. Sungguh relasi yang sangat berlawanan dengan sosok malaikat suci yang sebenarnya.

Namun, aku pernah menjumpai sebuah ilustrasi yang cukup berbeda di sebuah halaman sketch book miliknya. Masih berbau tentang malaikat. Malaikat pria dan wanita. Malaikat pria digambarkan berdiri di sebelah kiri disamping malaikat wanita di sisi sebelah kanan. Mereka berdua bergandengan.  Tidak sepenunhnya seperti malaikat. Malaikat pria digambarkan hanya memiliki satu pasang sayap di sisi kiri, sementara malaikat wanita sama halnya hanya memiliki satu pasang sayap di sisi sebelah kanan. Di bawahnya dia menambahkan kata “Together”. Mungkin ini bisa dibilang baru benar-benar sempurna penggambaran sosok kami berdua.

Katakan saja bahwa cinta itu memang buta. Seorang malaikat pria tidak sempurna yang hanya memiliki satu pasang sayap, karena dia sudah bejat. Sudah bodoh. Sesosok pria mantan hidung belang. Kemudian mengenal cinta pada sesosok malaikat wanita yang juga tidak sempurna, yang hanya memiliki satu pasang sayap, sama-sama karena dia sudah bejat. Sama-sama sudah bodoh. Sesosok wanita mantan jalang. Tuna wicara. Dan pengidap HIV AIDS. Yang karena itulah bisa diambil dengan mudahnya pada lindungan sebuah rumah bordil. Aku tak akan pernah menyimpulkan semua ini sebagai derita. Hanya cinta.
***

[Medley] Endless Sorrow-Dearest-CAROLS-Together When-HEAVEN-You Were (Seven Days War)


Saya pernah membaca blog dari sebuah penulis novel komedi ternama, Raditya Dika. Disana dia menjabarkan rahasianya agar terus menulis. Salah satu yang disebutkan, ide untuk menulis itu bisa datang dari mana saja. Selain Raditya Dika, saya pernah membaca buku “Menulis fiksi itu seksi” dari penulis novel yang tidak kalah tenarnya, Alberthiene Endah. Di bukunya, dia menjelaskan menulis itu butuh kepekaan yang luar biasa. Yang saya tangkap soal kepekaan disini adalah peka untuk menanggapi apa yang terjadi di sekitar kita, yang kemudian akan berkembang menjadi sebuah ide untuk dituangkan dalam sebuah tulisan.

Berangkat dari situ dan ditambah skill menulis saya yang masih pas-pasan, yang saya dapat dari part-time job saya dulu pada sebuah surat kabar di Surabaya. Sehingga akhinya muncul ide untuk mencoba menulis sebuah cerpen bersambung yang idenya sendiri bisa dibilang kepekaan saya atas lirik-lirik lagu yang saya dengar. Beberapa posting sebelumnya mungkin ada beberapa contoh cerpen yang inspirasi ide-nya datang dari beberapa lirik lagu.

Awalnya, pas lagi iseng-iseng nonton video konser artis Jepang favorit saya, Ayumi Hamasaki. Saya ada ide buat bikin cerpen bersambung dari lagu-lagunya. Cerita singkatnya, di konser itu dia lagi nyanyi secara medley lagu-lagu musim-musim dingin yang pernah dirilis-nya. Disitulah secara tak sengaja ide-ide mulai muncul. Dan, tak berakhir sampai disitu. Kalau mau berkata-kata sedikit berlebihan, saya menggodok cerita yang berdasar lagu dan liriknya sembari masih sibuk kuliah plus kerja. Dan kemudian, saya akan mencoba memposting-nya satu persatu di blog saya ini.

Selamat menikmati. Semoga bisa dinikmati.

Senin, 10 Oktober 2011

Existence.?

Love the Macaron :P




Mickey and Minnie. What are you doing ?












Minggu, 09 Oktober 2011

Bertemu Alejandro

Ku pikir diriku berada di Mexico
Jauh dari pelukan negeriku
Namun energi panas yang ditimbulkan matahari
Membuatku tersadar akan keberadaanku yang masih sama seperti semula
Mungkin panasnya sama halnya dengan panas di Mexico
Atau mungkin tidak
Entahlah
Yang terpenting aku tak harus berpetualang ke Mexico
Hanya sekedar untuk pelarian
Pelarian sejenak dari kekasihku yang semakin serupa dengan Ayahku
Kalau adanya seperti itu,
kenapa aku tak bermesraan saja dengan Ayahku
Cinta bukan perihal menyuruh dan disuruh
Cinta bukan penjahat yang ditahan polisi
Ibaratnya, kau mungkin jauh-jauh lari dari Mexico yang berupa sebuah negara imajinasi
Melakukan pelarian sama halnya denganku
Pelarian dari kekasihmu yang semakin serupa dengan Ibundamu
Luapan-luapan kata itu yang kau hembuskan padaku
Yang menyiratkan energi cinta yang bebas
Suatu hal yang tak pernah kujumpa
Tak mengenal kata sayang
Karena memang aku bukan kekasihmu
Aku hanya pelarian sejenak, dermaga tengah perjalanan untukmu menuju Mexico negara imajinasi
Dan kaupun serupa dengan kau menganggapku apa
Sebuah cinta yang tak akan bisa saling memiliki satu sama lain
Hanya sebuah pergumulan hewani di atas ranjang
Selebihnya,
hanya melingkar seperti lingkaran halo berwarna perak yang selalu ku simpan di koper
Nol besar, nol yang tak berarti apa-apa
Tak ada apa-apa
Aku bisa saja meninggalkanmu seenaknya saja
Kaupun sama halnya denganku
Tanpa mengenal nama kita satu sama lain
Aku dengan seenaknya menamaimu Alejandro
Dan kau menimpali dengan menamaiku Bella
Karena pikiranku hanya terpusat pada negara imajinasi Mexico
Yang mungkin terik matahari nya sangat panas
Melebihi hangat yang ingin kurasa
Panas yang telah kudapat dari sosok tiga dimensimu
Sampai bertemu lagi Alejandro

Yogyakarta, 10 Oktober 2011. (12.00)

Sabtu, 08 Oktober 2011

Aku Takut Digertak !!

Terkadang, sebuah gertakan kasar itu suatu tindakan yang benar-benar ingin kita hindari. Namun, sebenarnya di balik itu semua bisa dikatakan sebuah pembelajaran agar kita lebih baik lagi. Kalau katanya, menurut teori hukum alam. Ada sebab akibat dari semua yang pernah kita lakukan. Jadi, kita mendapat gertakan pun bisa dikatakan penyebabnya mungkin karena apa yang kita lakukan dianggap kurang baik dari sumber keluarnya gertakan itu. Beberapa penjabaran tersebut sering saya dengar dari beberapa orang.

Namun, saya ingin bercerita sedikit tentang bagian kehidupan saya sebagai mahasiswa di Yogyakarta. Beberapa hari yang lalu, tepatnya saat kampus saya baru menerima puluhan bahkan ratusan mahasiswa baru. Sebagaimana nasib saya dulu saat masih menjadi mahasiswa baru. Mereka harus melewati sebuah kegiatan. Kegiatan selama tiga hari yang katanya agar lebih mengenal kampus. Yang di tahun ini berubah nama menjadi PPAK (Program Pengenalan Akademik Kampus), atau lebih dikenal banyak orang dengan nama ospek. Tiga tahun lalu itu terjadi pada saya.

Bicara tentang ospek. Pasti sudah tertanam stigma yang bisa sejajar dengan film horor, seram. Yah, memang. Saat saya mengalaminya dulu, pikiran itu tak pernah luput di pikiran saya. Disamping saya memang orangnya sebenarnya penakut :P. Dari stigma takut tersebut, kemudian muncul sebuah pemikiran bahwa kegiatan seperti ini sebenarnya tidak penting. Memang bukan pertama kalinya, waktu itu saya mengikuti kegiatan semacam ospek. Saat masuk SMP dan SMA. Kegiatan tersebut hampir dijumpai di awal masuk sekolah. Apa untungnya buat kita dikerjain, digertak-gertak, dibentak-bentak?. Yang ada malah bikin mental kita drop, bukannya malah membuatnya jadi kuat.

Berhenti sampai disitu. Membayangkan suatu hal tanpa perlu mencobanya terlebih dahulu memang sering membuat nyali kita semakin kecil. Sampai pada akhirnya, saat PPAK di gelar untuk Mahasiswa baru 2011. Kebetulan angkatan saya kali ini memegang sebagai panitia. Tetapi, karena saya juga punya kegiatan di luar kampus. Membuat saya tidak bisa membantu proses-nya berjalan. Hanya datang sekali di acara puncak kegiatan tersebut bersama teman saya.

Saya hanya menjadi penonton. Menggemaskan dan lucu. Wah, saya dulu pernah jadi seperti itu yah. Sempat merasa kangen, tapi kalau boleh jujur malas menjalaninya kembali. Sekelibat muncul, waktu itu begitu cepat berjalan. Ditambah, sebenarnya tidak ada masalah acara ini digelar. Asalkan tanpa serangan-serangan fisik kepada mahasiswa baru. Gertakan-gertakan seperti itupun sebenarnya memang harus dijalani oleh mereka. Roda berputar, dan saya baru merasakan efek dari gertakan-gertakan itu saat ini. Yang justru bisa dibilang membuat saya lebih baik. Mengingat kehidupan di kampus saya ini bisa dibilang tidak cukup mudah. Karena porsi idealisme tiap orangnya yang lebih banyak menguasai. Pendapat seseorang bisa dibabat habis kalau tanpa alasan yang tepat dan mental yang tak cukup kuat. Belum lagi, pembelajaran-pembelajaran kehidupan lain dari lingkungan luar kampus, luar daerah, luar kota. Yang katanya, lebih ganas menyerang.

Mengkaji dan mencerna sebuah gertakan seharusnya dengan pikiran postif. Alih-alih malah menyulut suatu konflik. Kecuali ada alasan yang tepat untuk melawan sebuah gertakan. Roda akan terus berputar, kita bisa menjadi digertak atau pun menggertak. Hanya dijadikan sebuah pembelajaran saja. Yang pada akhirnya akan membuat kita tersenyum jika mengingat hal tersebut.

Yogyakarta, 09 Oktober 2011. (13.06)

Jumat, 07 Oktober 2011

Ucapan Yang Sempurna. Kejujuran Yang Tak Sempurna

Menjerang Malaikat Juga Tahu
Berandai dicintai sosok manusia dengan sosok dibawah umur yang abadi
Sesungguhnya sudah aqil baliq
Namun stimulasi otaknya hanya berkecamuk dengan mobil-mobilan
Hebat berbicara seni
Tak hebat berucap akademik
Hebat melakukan kegiatan di ranjang
Tak hebat melakukan cinta
Selayaknya tak perlu ada kompetisi
Selayaknya juga lah tak perlu memilih
Siapa yang menginginkan manusi kurang sempurna ?
Dibalik ucapan tentang sempurna,
kurang sempurna seharusnya lebih jujur
Itu yang berlaku di hukum realita
Menjerangnya sampai panas
Membiarkan sampai meletup
Dan yang dijumpa adalah kosong
Pasrah
Atau tak memilih, namun mencari sosok yang seimbang dengan penampakan diri ?

Yogyakarta, 5 Oktober 2011. (10.30)

Remahan Roti Buatanmu

Aku gemar menyantap roti 
Kaupun, juga gemar menyantap roti 
Untuk menyempurnakan asupan gizi, aku menambahkan gemar menyantap yogurt
Lagi-lagi aku menemukan kau juga gemar menyantap yogurt
Namun, lambat laun waktu menyempurnakan terbukanya sebuah rahasia
Kau ternyata gemar menyantap roti
Tapi gemar menyantap remahan roti
Kau ternyata gemar menyantap yogurt
Tapi, satu gelas kecil terbuat dari kertas berisi yogurt beku
Semuanya kurasa hanya kebetulan
Kebetulan untuk meyakinkan sebuah perbedaan
Waktu jua yang ternyata mengungkap bahwa keduanya adalah sebuah simbolisasi
Yang kemudian aku mengetahuinya sebagai simbolisasi bermakna
Remahan yang merupakan potongan-potongan tak beratur dari sebuah roti yang sempurna
Beku yang merupakan wujud pemadatan dari cair
Semuanya yang berawal dari satu kesatuan dari dua yang beda
Semuanya yang berawal berjalan dengan arus yg cukup lancar
Kalau saja ini adalah sebuah hidangan lezat yang siap kusantap
Meragu seperti ini pasti hanya akan membuatnya habis disantap kadaluwarsa
Terlalu lama
Aku lebih memilih membeli roti dan yogurt baru di supermarket langganan kita
Kalau yogurt beku mungkin akan bisa mencair
Namun, aku berani sangsi dirimu tak akan mau menyusun remahan-remahan roti itu
Pun kalau kau membeli roti sempurna,
kasihan roti itu
Akhirnya juga akan menjadi ceceran remahan tubuhnya
Sudah kegemaranmu membuat roti menjadi remahan-remahan
Selama masa berdua jadi satu
Kutak menahu sudah berapa roti yg kau remah
Suatu hari aku menemukannya 
Ternyata, hanya satu buah roti raksasa yang kau remah saat masa berdua menjadi satu
Aku lapar
Menyusunnya dari beberapa potong, lalu ke sepotong, sampai akhirnya menjadi sempurna
Lalu melahapnya
Hambar, pahit, asam, dan manis
Semuanya menguasai mulut-ku
Roti ini yang paling lezat yang pernah kusantap
Yang pada akhirnya aku tak menjumpai wujud roti itu lagi
Sudah kulahap habis
Aku bagai terlahir kembali
Sudah, sana pergi
Aku tak mau membagi roti berbentuk hati yang sudah kulahap ini bersamamu
Untuk apa kalau pada akhirnya kau membuatnya menjadi remahan
Cari saja orang yang mau berbagi roti denganmu
Lebih baik, carilah yang gemar melahap remahan roti sama sepertimu
Serta yogurt beku untuk kesempurnaan


Yogyakarta, 07 Oktober 2011 (18.30)

Ratu Disko, yang Katanya Bagai Jalang


Bagi sebagian orang,
cahaya bulan yg digantikan lampu disko yang berpendar itu tak semestinya
Entahlah,
bersumber dari hati yg iri berkecamuk manja
Atau kacamatanya memang tak cocok bergumul dengan lampu disko
Namun, seharusnya bersyukur
Tuhan masih mengalirkan kepadanya kehidupan sampai di tahun 2011
Yang seharusnya 2011 telah menggeser lampu disko menjadi alternatif lain utk menikmati cahaya temaram di malam hari
Maria tak bercela itu hanya satu
Setauku sampai tahun 2011 aku masih mendengar cerita itu dari cerita kristiani
Pun kalau aku boleh jujur
Kebenaran Maria tak bercela belum bisa kupastikan sempurna
Hanya kudengar dari cerita yang bisa ditambah & dikurang
Aku hanya ingin sedikit ber-realita
Bersanding disamping Sid Vicious itu lebih baik
Tak perlu bersusah payah menambahkan make up tebal bagai topeng
Lebih mudah diterima oleh akal
Tak perlu menjadi reinkarnasi Maria suci tak bercela
Kalaupun bicara tentang Maria
Lady GaGa pernah membuatnya bersanding dengan Judas
Aku tahu itu sosok Maria yang lain
Tapi masih tetap dalam kotak suci kristiani
Kau merasa suci
Aku tidak suci
Itu berlaku jika aku mengiyakan pandangan kacamatamu terhadapku
Pagi datang menjelang
Lampu disko beristirahat
Aku berani bersangsi, dirimu tak akan menjemput isitirahat
Hanya mengintai bagai pengintai
Pengintai sendu dari belakang
Aku pulang
Meninggalkan pesan pada jalang
Mana yang lebih hina, ratu jalang atau ratu disko?
Tak ada yang hina
Kita ada karena Tuhan
Memang salah menikmati apa yang kita punyai dan maui?
Menggerutu
Daripada menjadi penggerutu
Yang tak pernah lelah menjadi korban pergumulan dengan hati iri yang berkecamuk
Yang tak pernah lelah mengintai apa yg bisa dilakukan sekelilingnya
Ataukah sebenarnya dia tak bisa apa-apa?

Yogyakarta, 07 Oktober 2011. (20.00)
(Untuk sahabat yang bukan jalang. Dia hanya Ratu Disko. Praharani Elok)

Ular Ereksi, Buaya Darat, Raja Singa

Teman saya punya peliharaan dua buah ekor landak mini
Jangan salah, 
saya sendiri juga punya peliharaan
Peliharaan pertama saya ular mini
Sewaktu-waktu dia bisa berubah bentuk menjadi besar
Bahkan tak jarang dirinya bisa memuntahkan bisa
Bisa dengan warna putih gading
Entahlah, sebelumnya aku tak pernah tahu rupa wajah bisa
Hewan peliharaanku yang kedua adalah sebuah Buaya
Buaya darat
Bukan buaya mini
Dia bukan hewan amfibi
Dia hanya berani bereksistensi di daratan
Jika dilempar di air 
Dia bagai tak bernyawa
Tak akan kujumpai dirinya mengumbar pesona
Buaya darat yang malang
Yang ketiga aku memelihara seekor Singa
Raja Singa
Merupakan pemimpin dari segala jenis hewan
Sangat berkuasa
Tapi ternyata kemalangan juga menimpa dia
Kekuasaannya hanya sebagai penutup kekurangan yg di derita-nya
Sebuah penyakit sebagai kekurangannya
Mungkin aku juga termasuk malang, 
memelihara mereka sama halnya tak bisa menikmati 24 jam tiap hariku
Dan pada suatu hari, 
aku memutuskan untuk beranjak
Beranjak dari kehidupan ketiga hewan peliharaanku
Semestinya makhluk hidup yg telah dewasa
Sejatinya mereka bisa hidup sendiri
Tanpa aku harus memelhara-nya
Tanpa perlu harus main kucing-kucingan untuk kabur
Kabur dengan tangan terbuka
Mereka juga terbuka melepasku beranjak dari mereka


Yogyakarta, 04 Oktober 2011. (19,00)

Perang Meledak Ongkang-ongkang Kaki

Ongkang-ongkang kaki
Buka tutup 
Panas 
Gerah 
Berharap angin masuk 
Tpi apa daya si angin sdh di usir terlebih dahulu 
Berencana memanggilnya kembali
Pasti si angin kembali 
Akan membuat ongkang-ongkang kaki menjadi lebih lebar
Tapi bersyarat 
Sudah menahu bersyarat seperti apa
Bagai torpedo masuk ke gua 
Sembunyi dalam gelapnya
Butuh waktu sebelum meledak
Meledak 
DHAR DHAR DHAR DHAR 
Barulah si angin pergi menjamah
Memasuki ongkang-ongkang kaki 
Pergi
Lalu disapanya jika perlu angin lagi


Yogyakarta, 5 Oktober 2011. (13.00)

Gigolo Berkelamin Ganda


Kedua kakinya terbuka
Dengan sempurna menyiratkan posisi mekangkang
Terkadang, dia berdiri pasrah
Dengan seonggok tubuh yang disangga dengan dua kaki terlipat
Di depan dirinya berdiri
Menggenjot dengan awalan perlahan
Namun, alur pun berjalan
Menggenjot mulai mengenal percepatan
Dihisap,
Bagai meniup terompet
Dengan hasil nada monokrom
Itu itu saja, uh ah uh ah
Dirinya mengenal dua dunia
Bagai makhluk amfibi
Buaya, katak
Bermaksud agar lebih mudah untuk menjalani hidup
Hidup satu dunia itu hambar
Kalau bisa dua, kenapa harus satu
Banyak pilihan
Dia menginginkan warna warni
Dunia seharusnya bukan terpaku seperti cerita dongeng
Yang hanya mengenal tokoh putri dan raja
Cerita dongeng tidak mengenal waktu dan kondisi
Pun di realita, tidak hanya mengenal pagi dan malam
Masih ada sore
Sore dengan senjanya yang indah
Yang dirinya petik hanyalah keindahan dan mimpi dari cerita dongeng
Tak ingin hidup berangan-angan tentang cerita sebuah dongeng
Selanjutnya,
dirinya mengaplikasikan keindahan dan mimpi itu dalam dunia nyata
Dunia pun lebih berwarna
Tak sepenuhnya seperti cerita dongeng
Tak sepenuhnya seperti realita
Imajinasi fantasi yang ber realita
Hidup di dua dunia
Dirinya sangat menikmati sekali keindahan dan mimpi
Sebagaimana mekangkang dan ditiup
Dua dunia dalam satu dunia
Dia tak menginginkan menamai dirinya sendiri apa
Agar bebas
Agar keindahan dan mimpi itu selalu terpancar
Yang dia tahu dan dengar,
banyak kepala-kepala menamainya Gigolo berkelamin ganda
Ganda itu dua khan ?
Sangat cocok dengan dua dunia yang berkecamuk di binanya

Yogyakarta, 3 Oktober 2011 (11.15)