CLICK HERE FOR FREE BLOGGER TEMPLATES, LINK BUTTONS AND MORE! »

Senin, 29 Oktober 2012

Playful Quirky

So, last friday my friends Danastri invited me to help of her mid-test work for Photography-Major. And we decided to goes to Gembira Loka Zoo. Its fun to be there, and Gembira Loka looks so fancy and interesting after the renovation like this day.

Not just for helps her mid-test work, i made this little photo-shoot for my lookbook, too hehehe. And yes, i'm addicted of the quirky style and life-style like my outfit :DD.



the another bunch of the picture :D,











Selasa, 23 Oktober 2012

Notes from Eid Mubarak #2

Puasa terakhir bersama sahabat ter-awet
Hari kedua kepulangan saya ke Surabaya menjelang lebaran (yang juga merupakan hari terakhir puasa di tahun ini) lebih banyak saya habiskan di luar rumah. Ya, alasan lain ketika pulang ke Surabaya selain rindu rumah adalah saya juga merindukan atmosfir nyata dari kota yang sudah sejak kecil saya tempati ini. Kehadiran seorang sahabat, juga mengisi celah rindu saya akan kota ini. Salah satu sahabat yang selalu tak pernah absen untuk bertemu saat saya pulang tentu saja Bismaputra Jayasujana, dia bisa dikatakan sahabat terlama dan ter-awet yang saya miliki hingga kini masih berpijak. Bukan tanpa masalah, bukan tanpa konflik ataupun drama, saya percaya kata-kata terlama dan ter-awet selalu menghadirkan ketiganya hingga akhirnya terlama dan ter-awet muncul ke permukaan antara kami berdua :).

Karena cukup jarang dan sudah lamanya kami berdua-benar-benar hanya berdua berjalan bersisihan untuk menikmati kota Surabaya, agenda hari itu saya (kami) isi dengan hanya pergi berdua (yes, kita teramat sangat merindukan bisa keluar berdua dan mengobrol tentang apapun, atau mungkin sedikit ber-nostalgia seperti dulu, saat sebelum saya hijrah untuk  kuliah ke Yogyakarta). Tujuan kami tak muluk-muluk, masih di seputaran tengah kota pada sebuah pusat perbelanjaan yang bisa dibilang masih seumur jagung di kota ini, Grand City. Agenda lain yang saya rencanakan juga cukup berhasil di hari itu, sengaja tidak puasa di hari terakhir bulan ramadhan ini hehe. Sebenarnya cukup sayang, hampir sebulan ini perut dan diri sendiri cukup mampu menahan nafsu yang diwajibkan kepada tiap umat muslim di bulan Ramadhan ini.

Calais Grand City Surabaya
Singkat cerita, kami mendaratkan pijakan pertama kaki kami disebuah kedai minuman dengan interior yang cukup klasik, bernama Calais. Dengan icon Moustache yang bisa dibilang menjadi "the it icon/sign" beberapa musim belakangan, saya dengan pasrah melepas dosa saya untuk kembali meluap di hari terakhir itu XD. Segelas taro milk tea sudah ditangan dan siap diteguk oleh dosa saya haha, minuman atau makanan dari ubi ungu itu belakangan menjadi favorit saya belakangan ini. 

Di kedai ini, sebenarnya juga menyediakan atribut "kumis" dan topi ala Charlie Chaplin untuk customernya yang ingin mengabadikan kunjungannya di kedai itu. Namun, karena kami berdua tipikal orang yang moody dan tidak seberapa suka mengabadikan kunjungan yang sekedar hanya jalan-jalan seperti ini (moody juga berpengaruh disini), maka kami menggantinya dengan saling mengedar kalimat antara kami berdua yang mungkin bisa dibilang tujuan utama kami berdua untuk mengisi Quality Time itu :). 

Taro Milk Tea
Moustache and Hat "Calais"
Pemberhentian kedua, kami mendaratkan diri di sebuah kedai makanan (masih di dalam mall yang sama). Setelah sebelumnya mengisi dahaga untuk si kerongkongan, kali ini kami memilih untuk memberi asupan untuk si perut. Saya lupa apa nama tempatnya >.<, di meja itu kami menikmati makanan dan masih dengan tambahan bertukar cerita. Mungkin saya terbilang manusia klasik, meskipun teknologi menghadirkan begitu banyak kemudahan komunikasi jarak jauh, saya lebih menikmati mengobrol langsung secara empat mata. Karena menurut saya teknologi itu terbatas, twitter hanya menyediakan 140 karakter dan berbagai kesalah pahamannya(?) :D. Instant messenger?, tak lebih dari sarana hiburan mungkin, karena bukankah mengobrol juga butuh atmosfir nyata?. Atmosfir nyata yang mungkin bisa menyatukan antara obrolan joke dan obrolan santai :D.  

Sebelum akhirnya petang menjelang, kami berdua kembali singgah di sebuah kedai kopi untuk menghabiskan sore hari, lagi-lagi masih di mall yang sama. Masih saja bertukar kata sambil menghabiskan dua kotak rokok masing-masing dari kami yang kesadarannya telah dibunuh karena obrolan kami berdua :). It's a simple way, tapi darisana mungkin saya (kami) masih bisa merasakan esensi dari persahabatan kurang lebih tujuh tahun yang telah terjalin. Hingga hari itu, pemberhentian terkahir kami menepi di sebuah stasiun radio. Menemani si sahabat dengan pekerjaan-nya sembari masih sibuk dengan kuliahnya. Mungkin sebelas dua belas dengan menghabiskan hari dengan pacar, tapi toh sahabat itu juga butuh hati dan cinta. Selain butuh diri sendiri, sahabat sejatinya mampu mengisi celah (yang masih kosong) di departemen pacar atau kekasih di negara hati dan cinta :)). 

Jam sepuluh malam, rumah sudah kembali saya gumuli. Gaung takbir penanda berakhirnya Ramadhan menyeruak bergerombol di telinga. Puasa telah habis masa, Idul Fitri mengganti masa. Saat petang menuju dini hari, saudara-saudara mulai berdatangan dari luar kota. Idul Fitri seperti sudah mulai menyatukan kembali apa yang sempat terpisah dengan jarak selama setahun kemarin :). 

Rabu, 29 Agustus 2012

Notes from Eid Mubarak #1

Lebaran itu, bagi sebagian umat muslim di seantero Indonesia identik sekali dengan pulang kampung, atau jika lebih dipersempit diksinya berubah menjadi mudik. Ada juga yang memilih lebaran sebagai saat yang tepat untuk berkumpul kembali bersama seluruh keluarga, saudara, sahabat, dan teman. Namun, bagi Saya sendiri, lebaran itu berisi keduanya tanpa terlepas dari kegiatan dan esensi harfiahnya yaitu saling memaafkan lahir dan batin satu sama lain sesama manusia. 

Bagi Saya (lagi), lebaran selalu punya cerita menarik tersendiri buat Saya tiap tahunnya. Berbekal memori otak yang memang diciptakan tanpa batas ini, Saya ingin menuliskan catatan-catatan kecil di lebaran tahun 2012 ini yang begitu lebih bersemarak seperti lebaran-lebaran tahun yang lalu. Lebaran ala anak kos, lebaran ala anak perantauan, lebaran mahasiswa yang lagi pulang kampung, atau entah apapun judulnya, happy reading and Happy Eid Mubarak Peoples, Minal Aidzin Wal Faidzin Mohon Maaf Lahir & Bathin :).

Insiden Kereta Api Mogok
Finally, tepat di tanggal merah dimana negara ini sedang memperingati hari kemerdekaanya, Saya baru bisa benar-benar hengkang sejenak menjejakkan kaki dari ranah kota perantauan Yogyakarta ini. Tidak lain dan tidak bukan, kerja part-timelah yang memaksa Saya untuk singgah merasakan bulan Ramadhan di Yogyakarta, padahal liburan kuliah sudah datang sedari pertengahn bulan Juni lalu. Yah, mau tidak mau, namanya sudah resiko dari menerima dan (masih) menjalani pekerjaan paruh waktu itu, Saya benar-benar baru bisa pulang di detik-detik menjelang berakhirnya bulan Ramadhan.

Berbekal dengan banyaknya pilihan-pilihan transportasi yang ada di kepala, pada akhirnya Saya lebih memilih untuk naik kereta api sebagai kendaraan yang membawa Saya menuju kampung, Surabaya. Dengan alasan, jikalau Saya memilih naik bis seperti biasanya, kemungkinan bakal saling berebut tempat duduk dengan penumpang lain yang membludak karena hari raya, dan belum berhenti disitu saja, Saya teringat satu hal klise yang berada di jalanan ketika menjelang hari raya seperti ini, macet dimana-mana dan waktu kedatangan bis dijamin lebih lama dari waktu biasanya. Memang benar, sebenarnya dengan memilih untuk naik pesawat terbang adalah pilihan yang paling cepat dan tepat. Cepat sampai tujuan, pilihan yang tepat anti-macet dan kenyamanan. Namun, dibalik alasan karena dompet Saya enggak sampai buat beli tiket pesawat terbang,  Saya sendiri mungkin bisa dibilang orang yang sangat menikmati sekali perjalanan. Enggak papa deh, lama di perjalanan, asalkan masih bisa ditolerir sedikit masalah kenyamanan dan waktu sampai ketujuannya, tapi yang lebih penting bisa menikmati perjalanan. Dari banyaknya pertimbangan dan alasan-alasan itu, pikiran Saya mengerucut untuk memilih kereta api untuk pulang ke Surabaya.


Tepat 30 menit sebelum kereta api melaju, dengan diantarkan salah seorang teman, Saya sudah sempurna duduk di kursi tempat duduk penumpang di gerbong nomor tiga kereta api yang akan membawa Saya ke Surabaya, PT. Kereta Api Indonesia menamainya Sancaka. 



Singkat cerita, Saya banyak tertidur di awal perjalan hingga tengah perjalanan saat kereta mulai menyentuh kota Madiun, maklum sebelum berangkat ke stasiun, pagi harinya Saya masih harus berurusan dengan kerja part-time Saya selama lima jam hehe. Berhenti di kota yang dulu pernah Saya singgahi saat kecil, diikuti dengan bedug Adzan maghrib tanda waktu berbuka puasa. Mungkin karena si perut sudah meraung-meraung minta makan sedari tadi, Saya segera menyambar sebotol kecil tupperware di postman bag yang tergantung di badan Saya, meneguk air di dalamnya dan segera menyambungnya dengan dua bungkus makanan ringan yang memang sengaja Saya siapkan untuk berbuka puasa di kereta. 

Lima belas menit berhenti di Madiun, bel sebagai penanda keberangkatan kereta api diraungkan. Kursi Saya bergetar dan kereta kembali meluncur ke arah timur melanjutkan lajunya. Di detik ini, Saya mulai sedikit  merasakan terlalu banyak asupan tidur yang Saya terima. Kedua mata benar-benar melek penuh daya. Saya kembali merogoh postman-bag yang masih tergantung di badan, dan meraih sebuah benda yang ternyata insting Saya tak salah untuk membawanya di perjalanan kali ini. Sebuah buku karya Dewi Lestari yang belum sepenuhnya selesai Saya baca, Partikel. Baiklah, mungkin kali ini Saya lebih asyik menikmati bacaan daripada menikmati perjalanan yang berlangsung. Tapi, kalau boleh jujur menikmati bacaan ketika perjalanan  bisa dibilang seasyik menikmati perjalanan itu sendiri.

Tepat pukul sembilan malam, sesuai dengan penujuk waktu tibanya kereta api di tempat tujuan yang tercetak di tiket penumpang. Seharusnya, tiga puluh menit ke depan kereta benar-benar sudah sampai di kota tujuan, Surabaya. Namun, tanpa pernah Saya kira atau mungkin penumpang lain kira, tepat di pukul itu kereta api tiba-tiba diberhentikan di sebuah stasiun kecil di daerah yang sebenarnya sudah tidak seberapa jauh lagi dari stasiun kota Surabaya. Pikiran Saya waktu itu mengira, kemungkinan kereta sengaja diberhentikan karena menunggu kereta dari arah yang berlawanan melaju terlebih dahulu, dan biasanya tak memakan waktu lebih dari lima belas menit. Di detik lebih dari lima belas menit, para penumpang yang lain mulai ngedumel karena kereta tak segera dijalankan, mereka segera berhambur menuju gerbong depan tempat dimana lokomotif berada. Satu dua orang mulai kembali ke gerbong asal tak seberapa lama kemudian, mimik wajah mereka masam. Ada yang segera meraih travel bag dan segera memutuskan untuk turun di stasiun itu, dan ada pula yang kembali ke tempat duduknya dengan masih ngedumel ke kerabat di sebelahnya dengan berseru "Kereta api-nya mogok, sekarang lagi nunggu lokomotif dari Surabaya. Perkiraan jam sepuluh kurang seperempat kereta baru bisa jalan lagi". Kereta api mogok?, okay, awalnya kata kereta api mogok Saya kira hanya berada dalam kamus bercanda. Tapi, here it is, Saya benar-benar menemuinya sekarang >.<.

Kontan saja, salah seorang sahabat yang sudah berbaik hati untuk menjemput Saya juga ikutan dongkol. Dia sudah sampai di stasiun gubeng Surabaya jam sembilan tepat. Mengumpat kereta api, walau sebenarnya dia sangat-sangat menggilai dunia kereta api. Karena memang tak bisa berbuat apa-apa, mau nekat ikutan turun di stasiun ini juga dibilang terlalu nekat. Hanya bisa melayangkan kata-kata klise "sabar bentar yah" ke sahabat Saya itu (walau sebenarnya Saya sendiri udah enggak sabar menunggu terlalu lama), dan beruntunglah Saya membawa bacaan untuk meredam kebosanan selama tiga puluh menit karena kereta api mogok itu. And yeah, massive thank you for Dewi Lestari and Rahne Putri yang telah menciptakan karya yang begitu bisa meredam kebosanan seperti Partikel dan Sadgenic ini.


Mungkin karena takut tertimpa kesialan lagi, kereta api bisa menepati janjinya. Tepat sesuai dengan janjinya untuk melanjutkan perjalanan di pukul sepuluh kurang seperempat, lokomotif benar-benar menarik gerbong dengan kecepatan ekstra kencang (dari biasanya) menuju Surabaya. Hanya memakan waktu sekitar tiga puluh menit, Saya sudah bisa melihat hijaunya kubah masjid agung Surabaya dari dalam kereta api, serta disusul lima menit kemudian kereta benar-benar berhenti di ranah rel stasiun gubeng Surabaya. Tanpa menunggu lama dan karena sudah terserang wabah bosan yang terlalu meradang, Saya segera meraih satu travel bag yang saya selipkan di tempat menaruh barang persis di atas tempat duduk penumpang, menyisir lorong gerbong kereta api sancaka, dan menginjakkan kaki saya kembali di tanah kampung Saya, begitu pintu gerbong sudah Saya lalui. Huwahhhhh....i miss Surabaya sooo muchhh!!!.

Cerita lebaran tahun ini Saya mulai pada hari itu. Sempurna menginjakkan kaki di rumah pada pukul setengah satu dini hari. Setelah sempat menghabiskan beberapa jam dahulu bersama Aditya Aryo, salah seorang sahabat yang telah rela mau menjemput Saya di stasiun, walau sebenarnya letak rumahnya di ujung Surabaya. Dan sebagai simbolisasi ucapan terima kasih, kami berdua menghabiskan beberapa jam disebuah warung soto, temu kangen singkat sebelum temu kangen yang sebenarnya. Hingga akhirnya, sama seperti tiap kali ketika Saya pulang ke rumah, tak akan pernah bisa langsung pergi tidur hingga matahari muncul di kota Saya, kota Surabaya.


Minggu, 15 Juli 2012

Little Indian

So, in the middle of February i found some interesting accessories. Some unique Traditional-things (from Indian) that i'm puttin' on, with another Traditional-things from Indonesia. Dream Catcher with my only-one Batik-Shirt i ever had (Hell, yeah! XD). Woohoo, but i like the chocolate browny colour on this all-total-look :D.



Exploring UK

Ahhh Lemme taking off my GaGa necklace. GaGa its not so BRITISH >.<
I made first-DIY things for my rubber-case of my vintage blackberry. 

Mistah Crayon-a


Bukan sebuah kuas dengan palette bersimbah cat acrylic. Bukan pula segenggam pensil kayu yang beradu dengan kertas gambar dan karet penghapus. Asal mula Saya begitu mencintai menggambar adalah ketika berteman dengan sekotak oil pastel atau biasa dikenal dengan nama crayon. Dan di asal mula itu pula, Sejujurnya Saya belum begitu menguasai menggambar menggunakan crayon, belum bisa menggoreskan warna-warna hingga menghasilkan gradasi paduan warna yang indah dan menyatu antara warna satu dengan warna yang lain. Hingga di saat duduk di bangku SMP. Saya diketemukan dengan salah seorang teman, melalui dia Saya bisa mencuri ilmu tentang menggambar menggunakan crayon agar menghasilkan gambar yang cukup bagus.

Singkat cerita, dengan bergulirnya waktu hingga kini Saya sudah dua puluh tiga tahun mendaki bumi yang Saya pijak, tiba-tiba ingatan dan keinginan Saya tentang crayon menyeruak masuk ke dalam pikiran Saya lagi. Maklum, mungkin saja pelarian atas penatnya pikiran anak rantau yang dipasung oleh waktu mengikuti ritme kuliah dan bekerja hehe. Dan beginilah jadinya, ketika sedang asyik-asyiknya bergumul dengan teman di salah satu donut shop di salah satu mall di Yogyakarta keinginan itu kembali menggerogoti pikiran Saya, dan alhasil sebelum memutuskan untuk pulang, Saya mampir ke toko buku untuk menukar beberapa lembar duit yang Saya punya dengan satu kotak kecil oil pastel. Hahaha its definitely another therapy to share my emotion to another positive media, i think :D.

Anyway, Saya berasa kembali ke masa kecil (dengan emosi dan kondisi yang berbeda tentunya). Iseng-iseng menggoreskan batang-batang berwarna-warni itu hingga Saya tersadar kalau Saya masih bisa menggambar dengan crayon :D.

Maybe its looks kinda creepy. But that's exactly made me feelin' so fun :D.


The Girl with the red hair. 2012. Crayon on Sketch-paper
Never Let Me Go. 2012. Crayon on Sketch-paper



Embrace the Diversity. 2012. Crayon on Sketch-paper. Inspired by best-mate Natasha Larassanti & Aditya Aryo

Last Man Standing. 2012. Crayon on Sketch-paper

Tryin' Some-New Experimental


A glasses without lens or an lenses without glass?. Just choose one that do you think the best. It's really fun to trying something new (especially for fashion) hehehe. So, maybe it could be a mainstream-things-that-not-exactly-mainstream for me to applied that glasses into my eyes XD.

Time Turning Back..

I'm obsessed (again) with the everything British since the early of 2012.
Ahh...everything British is sooo fun DOOBEEDOOZEE !!!

and thank's god, the winner of America's Next Top Model Cycle 18 (British Invasion) are from UK. The fabulous English Rose, Sophie Sumner



From the music. i got sooo much and a lot brilliant and adorable musician from Brit on my playlist.

The Amazing Baroque-Folk-Indie-Pop and the hottest it Fashion Darling , Florence Welch with her band Florence + Machine
Coldplay with the the amazing hymn of PARADISE and freedom of Charlie Brown
An Timeless-Vintage DURAN DURAN with the famous Ordynary World
KEANE. They new album made my ears wants to hear they previous amazing album

THE BEATLES. Yeah, everybody love beatles. Everybody love this legendary british-band.
And of course the it UK boyband for this decade, One Direction. Aren't they too much cute (than they real appearance) on that chibi-cartoon >.<
And so many many another British Musician beside them.

Talk about fashion?. Of course, British have they original personal style called rebellious yet high-fashion. 



HELLO!!

It's been a long long day and month i don't write anything in this my doll house ehe :P.

So, Hello everyone!!.
Maybe its gonna be a massive flooding bla-bla-bla posting for the next couple days, because me feelin' too hungry about everything now (especially food, of course).


HELLO AGAIN! :D

Senin, 04 Juni 2012

Bein' Blue, Without Feelin' Blue

Last week, i goes to some new Pastry Cafe with my friend.
Craving for macaroon, red velvet, and one slice of rainbow cake.

And this is my outfit when i goes there :).




Hello, again Mate!. It's been a longtime i'm not visit my blog :).
Enjoy your days :). Have a beautiful day.

Kamis, 29 Maret 2012

Twinkle Twinkle Little...

Kalau saja memang benar,
Kita berpijak di bumi di bawah langit yang sama
Apakah kau melihat,
Malam ini semburat hitam pekat terpatri indah di atas sana
Bulan membentuk tubuhnya menjadi bibir yang ujung-ujungnya tersungging ke atas
Sementara hamparan bintang membentuk gugusan rasi-rasi bintang yang aku tak tahu,
yang kutahu segalanya di atas sana indah
Picasso pasti kalah telak
Ki Joko Pekik sama halnya, Beliau tanpa segan mengangkat tangannya dengan sebilah kuas lukis yang terbuang dari salah satu sisi tangannya
Segala di atas sana seolah bergerak, 
Aku juga bergerak dari bawah dengan posisi kepala yang menengadah ke atas
Keindahan di atas sana mungkin saja juga meniupkan angin yang kemudian terbang ke bawah
Pergerakan ini membuatku berjalan ke arah maju
Pergerakan awan dengan sempurna bisa bersentuhan dengan ragaku yang bergerak maju
Kalau saja aku bisa meminta sesuatu hal yang begitu kecil,
Akankah zat seringan dan sekecil angin bisa meniup habis apa-apa saja yang ada di ragaku?
Hingga raga yang ditampilkan bulan malam ini,
Tak mustahil untuk diijinkan terpatri indah di bawah indera penciumanku. 

Sabtu, 24 Maret 2012

Back to the Basic...?!

Tribal is the "it" texture

BRITISHHHHHH

When everything new that you did, feel sooo boring. Are this is the time for us to pull back our "wheel-of-life"to the basic..?!?

Jumat, 23 Maret 2012

British..?!


Twiggy. Anna Wintour. Vivienne Westwood. Alexander Mcqueen. Mary Katranzou. Margaret Thatcher. Florence Welch. John Lennon. Paul Mcartney. Ringo Star. George Harrison. Harvey Williams. Queen Elizabeth. Kate Middleton. Lady Diana. Harry Potter. Harrods. Double Decker. Big Ben. Gigantic Ferris Wheel. 2012 Olympic.Union Jack. BRITISH INVASION !!.

Minggu, 04 Maret 2012

Pyjama's Morning

Wake up in the morning feelin' so blue, red, and white. Grab a chocolate bread and a bottle of milk, but also call my friend to sharing about my sadness... 

And suddenly he shoot me with his camera :)...




And i post this look of my gloomy morning on my lookbook, too >.<. Hope you enjoy it, fellas :).






Rabu, 29 Februari 2012

HyperBallad Part Une


  Bi. Dirinya berada pada ketinggian beratus-ratus meter jauhnya dari permukaan air laut, namun letaknya bukan di atas awan. Berpijak di salah satu perbukitan teduh, terbentang luas di sekitarnya perbukitan-perbukitan lain yang tak nampak karena langit sudah membentuk lautan hitam pekat diatas sana. Embun tanpa bingkai terpahat bagai asap rokok yang disulut seseorang yang berada di depannya beberapa waktu lalu, ketika dirinya baru saja menginjakkan kedua kaki yang tak pernah lelah untuk perjalanan yang katanya mengikuti kata hati. Entah hati yang mana yang ia maksud, hati yang berada di bagian perut sebelah kanan, ataukah hati lain yang tak pernah teridentifikasi dimana letaknya.  Hanya untuk sebuah janji, bukan sekedar mengikuti kata hati. Curamnya sebuah logika yang menganga lebar, bersanding penuh seram dengan sebuah kata hati yang juga sama-sama menganga lebar. Dia seharusnya sudah terbilang cukup piawai untuk menghadapi hal seperti ini. Tapi mungkin ini terbilang sebuah perkecualian, dia manusia yang sama halnya seperti jembatan. Dengan sebegitu kokoh dibuat agar jembatan itu tak mudah roboh, toh pada akhirnya tanpa ada yang mengetahui dengan serba kemendadakan jembatan itu bisa begitu saja runtuh, menjadi kepingan-kepingan asimetris yang bergumul dengan permukaan air di bawahnya.
  

 Bi. Dirinya masih berada pada ketinggian beratus-ratus meter jauhnya dari permukaan laut, namun letaknya juga masih bukan di atas awan. Berpijak di salah satu perbukitan teduh, yang kali ini banyak rumput-rumput hijau gelap karena malam, terhampar luas di sekitarnya. Perasaan di hatinya yang tak bisa teridentifikasi letaknya itu masih saja bergejolak hebat. Bergejolak hebat dan sangat terang beradu dengan gemerlap terangnya lampu-lampu jingga keemasan terang yang disangga hamparan rerumputan hijau yang ia pijak. Embun di malam pekat sudah banyak turun, namun embun lain berwujujd asap rokok menggantikan perannya. Seseorang di depannya menghisap tanpa ampun sebatang rokok berwarna putih.

  Berkaca duduk berseberangan dengan seseorang, hal ini sudah kali kedua dia jumpai dengan hari yang berurutan. Kemarin dia bertemu untuk pertama kalinya, dan kali ini tentu saja menjadi kali kedua dia bertemu seseorang yang entah seharusnya dia sebut sebagai apa. Kebingungannya meraja seiring dengan semakin banyaknya asap rokok yang mengepul dari sulutan rokok seseorang di depannya dan sebatang rokok yang ia hisap, berharap kecamukan keraguan dan perasaan buruknya ikut pergi keluar melalui asap putih penuh racun berbahaya tersebut.

  Sebuah cerita tentang sesuatu hal yang klise. Mungkin saja angin malam perbukitan yang sejatinya melebihi angin normal di daerah normal, sudah membuatnya meradang, membeku, dan terpahat dengan terpaksa. Dia hanya butuh sesuatu untuk menghancurkan itu semua. Dia hanya butuh sesuatu untuk menghancurkan keberharapaan yang lama kelamaan dia rasa hanyalah sebuah semu. Semu yang nyata, semu yang sebenarnya bisa digapai, namun dia terlalu naïf untuk sekedar menganggap bahwa semu yang nyata itu ada. Dia hanya butuh sesorang di depannya, sebagai orang yang ia rasa mampu menghancurkan segala komplikasi antologi rasa yang sedang menggumuli batinnya. Miris, tragis, dilematis, ketika sebuah ketidak tahuan untuk berbuat apa menghampiri diri tanpa ampun. Menangis, tanpa air mata. Sejujurnya ia malu melihat dirinya sendiri, mendesis tanpa otak seperti hewan melata.

  Bi. Dia sudah bisa mengira sebelumnya, jikalau semua yang ia lakukan hanya mendatangkan ketersia-siaan yang semakin melancarkan aksinya. Dia merasa ling lung, tembok-tembok pembatas yang dibuatnya selama ini telah runtuh. Dua belas tembok pembatas kokoh yang mengelilingi dirinya, hancur seketika ketika tembok pembatas ketiga belas ingin ia tambahkan di celah yang masih kosong setelah tembok ke dua belas. Mungkin saja sudah terlalu lama. Mungkin saja dia sudah terlalu letih. Energinya sudah terkuras habis membuat kedua belas tembok. Lelah, ketakberdayaan, dan kekosongan dengan sempurna melumuri semua bagian tubuhnya.

  “Tiga belas yang sial. Tiga belas yang benar-benar sial. Tiga belas ternyata memang benar angka sial” Gumamnya dalam hati.

    Bi. Dirinya masih berada pada ketinggian beratus-ratus meter jauhnya dari permukaan laut, namun letaknya juga masih bukan di atas awan. Dia mengistirahatkan pijakan kedua kakinya yang telah menghabiskan beberapa jam yang telah berlalu untuk mengikuti kata hatinya. Hati yang tak terdefinisi dimana letaknya, yang juga telah tumbuh menjadi makna yang melebur dengan kesukaran untuk menerjemahkannya. Siluet seseorang yang sama masih bisa ditangkap oleh indera penglihatannya, persis di depan.  Pundak yang bagai seorang bermata silindris menggambar sebuah garis horizontal lurus dari kiri ke kanan, suatu hal kecil yang di awal, dia sangat ragu untuk mampu benar-benar melihat sosok tiga atau bahkan empat dimensinya. Tanpa kacamata khusus berwarna hitam pada lensa dan framenya, dia bisa melihatnya, menyentuhnya, mecium aroma tubuh yang dikirim angin dingin yang sendu dan semu di perbukitan itu.

  “Anggap saja sebuah liburan kecil” Gumamnya dalam hati untuk meyakinkan dirinya sendiri. “Walau sebenarnya aku tak ingin menyebutnya sebuah liburan kecil. Bagaimana bisa aku menyebutnya liburan, jikalau partikel kecil kebahagiaan tak merasuki tubuhku yang masih saja tak tau harus berbuat apa dan bagaimana”

  Malam pekat semakin meninggi. Bau sisa hujan masih dititup dengan kencang oleh deru angin malam pekat yang juga semakin meninggi. Menarik sebuah selimut tebal yang ternyata untuk berdua. Dua selimut, memakai salah satunya, dan menendang sisanya hingga mencium permukaan lantai keramik putih yang baru pertama kali ia pijak di tempatnya sekarang. Seseorang yang tadi di depannya, kini telah berpindah posisi berada di sisi sebelah kiri ia di tempat tidur kecil tersebut.

 “Tidurlah disini” Tanpa suara. Badannya seakan berbicara seperti itu, dengan merentangkan tangan kanannya di belakang punggung Bi.

   “Sudahlah” Gumamnya lagi dalam hati.

  Bi. Dirinya masih berada pada ketinggian beratus-ratus meter jauhnya dari permukaan laut, namun letaknya juga masih bukan di atas awan. Dia mengistirahatkan tubuhnya. Bersembunyi dibalik selimut untuk berdua. Letih, lelah, tak ingin semakin berpikir panjang. Didekap dan mendekap seseorang yang berada di depannya. Entahlah, dia sudah lelah. Terlepas dari palsu atau tidak palsu ini semua. Terlepas untuk apakah sebenarnya dia berpijak di tempat ini. Tak ingin menyesal, ingin menyesal. Barangkali mau tidak mau dia harus menganggapnya sebagai sebuah liburan kecil saja, karena sampai di akhir pergumulan badan, segalanya masih sama. Tak ada apa-apa, hanya sebuah kelegaan dua buah penis yang meregang tegang dengan muntahan sperma di mulut dan badan.
  
 Bi. Dirinya sudah tidak berada pada posisi yang cukup tinggi beratus-ratus meter jauhnya dari permukaan laut. Sebuah kecupan yang entah berarti atau tidak. Dia pergi meninggalkan siluet pria berpundak seperti seseorang bermata silindris yang menggambar sebuah garis horizontal lurus dari kiri ke kanan, yang setengah hari sudah saling bertarung dengan indera penglihatnya, bertarung dengan kata-kata klise dari mulut masing-masing, bertarung dengan selimut kecil untuk dua orang, bertarung dengan perbukitan-perbukitan gelap dengan gemerlap lampu jingga kuning emas yang berpendar bagai keraguannya yang semakin meninggi dan akhirnya meletup dengan sebuah tangis yang tak pernah diketahui oleh kedua belah pihak. Mungkin memang seharusnya saling tak tahu, karena dia sudah terlanjur yakin, sampai kapanpun dia tak akan pernah tahu. Karena tak dijumpainya partikel-partikel penyusun lawan dari ketidak tahuan, sedikitpun, secuilpun, mungkin saja sampai kapan pun…
***

Rabu, 22 Februari 2012

Oh, I Never Know...







  Aku mungkin bukan seperti orang kebanyakan, tak seberapa mencintai hujan yang katanya selalu memberikan ketentraman teduh duniawi di setiap tetesan air yang jatuh berpelukan dengan tanah. Mungkin, kali ini berbeda. Aku menjelma menjadi kebanyakan orang yang begitu mencintai hujan, lebih tepatnya saat dua bulan lalu dirimu membuka kedua belah tanganmu, sama persis dengan imajinasiku jika suatu saat nanti kita juga akan menjelma, menjadi sepasang kekasih yang pertama kali bercinta di luar angkasa.
  Aku tidak akan pernah tahu, yang pada akhirnya aku memutuskan untuk bertanya, untuk sekedar menjawab segala rupa yang mungkin telah sedikit mengikis diriku sendiri, benar-benar diriku sendiri. Aku berpura-pura untuk tidak akan pernah tahu, sebelumnya mungkin aku sudah sedikit menebak, apa kira-kira yang diinginkan oleh hati, hati yang dalam pengertianmu merupakan anggota badan di daerah perut sisi sebelah kanan. Namun, karena aku terlalu takut untuk meyakini yang aku mau, aku lebih memilih untuk demikian, berpura-pura tidak akan pernah tahu. Tentu saja, segala hal palsu penuh kepura-kepuraan sesungguhnya sudah menggerogoti tanpa ampun hingga tersisa sebuah kebimbangan.
  Aku tidak akan pernah tahu, dan aku tidak akan pernah peduli jika dirimu tak menginginkan sedikitpun tentang apa semua ini. Aku mungkin sudah terlalu letih, waktu mungkin juga demikian hingga dia berhenti sejenak untuk menjawab segalanya yang terjadi.
  Terhempas bebas kembali tanpa oksigen, bebas, hingga memoriku dengan otomatis memainkan sebuah cerita masa lalu tentang suatu cerita klise yang pada akhirnya mampu aku rampungkan dengan menyisakan noda kecil bulat di dalam organ tubuh di perut sisi sebelah kanan. Mungkin saja sebuah media pengingat, yang aku sendiri tak tahu seperti apa wujudnya. Berbisik lirih, karena sesungguhnya apa yang terjadi sekarang hanyalah sebuah flat shoes karet, yang mampu tergilas habis dengan sepatu armadillo melegenda dari cerita masa lalu. Terhempas bebas dengan air mata menggenang terbang yang juga dengan bebas, sepatu bersol tebal itu menendangku tepat di kepala bagian belakang. Sakit, cukup sakit. Namun, dengan segera mampu membuatku tersadar. Tak seharusnya seperti ini.
  Aku tidak akan pernah tahu, sedikit yang aku tahu, kau masih begitu menikmati hamparan rerumputan hijau, dengan dua cangkir teh bercampur sari lemon. Dua cangkir, satu cangkir untukmu. Dan cangkir yang satunya, yang mampu kutebak hanyalah sosok hologram dengan gaun pengantin yang sangat cantik, berwarna putih, yang sangat begitu kau banggakan di setiap perbincangan tentang pernikahan, namun aku tak suka. Kenapa harus putih, kalau saja kita bisa benar-benar menjadi sepasang kekasih yang pertama kali bercinta di luar angkasa, aku akan membuat warna itu menjadi seperti pelangi. Lebih indah bukan?, kesucian warna putih dari sebuah pernikahan (katamu), bukankah sudah menyatu di dalamnya hingga bersatu menjadi warna yang cantik. Putih menjadi pelangi, tak sadarkah apa yang terjadi sangat berbeda dengan apa yang terjadi kebanyakan?.
  Aku tidak akan pernah tahu, bagaimana hujan bisa berhenti seketika kali ini. Mendung masih menghujani belantara awan di atas sana. Aku tidak akan pernah tahu, kemanakah arus ini akan membawaku kelak. Aku tidak akan pernah tahu, akan menjadi seperti apa kelak. Katamu dilalui saja, katamu mengikuti arus saja. Baiklah, mungkin saja itu jawabannya. Mungkin. Dan aku lebih memilih untuk kembali berjalan di arus diriku sendiri. 

Rabu, 08 Februari 2012

Hi, February!

Long time no see you, bluggy.

And, i will start my post in this lovely month with my new looks from my lookbook.
Taken on the same place as my previous post. And also stil taken by my friend Danastri Rizqi Nabilah.





And this is another freaky-goofy another picture during the photo-shoot :P



Happy February, Guys :)

Senin, 30 Januari 2012

Exploring Kotagede part 1

My first post on my lookbook and of course in my blog. Taken by my friend Danastri Rizqi Nabillah (@anamoelya). This is our first time to did this things. Hope you enjoy it. Maybe, i would post about my fashion journal day by day in this my lovely blog. Enjoy it :)


Vest, Parachute Travel-Tote-Bag, Shoes, and V-neck tshirt, Badger Invaders Bottom, Unbranded vintage glasses, DIY GaGa Necklace

And this is with Danastri :))

Senin, 23 Januari 2012

Rainy Day


  Langit memuntahkan  titik-titik air. Membuatnya bersentuhan langsung dengan permukaan bumi yang ku pijak. Aku menebak-nebak dalam hati, mereka pasti adalah dua sosok yang sedang jatuh cinta yang juga saling mencinta. Air yang jatuh membuat sebuah genangan pada bumi yang mereka pijak. Bumi yang dijadikan tempat pijakan dengan setia dan membuka lebar-lebar bagian tubuh mereka untuk disinggahi air yang mulai deras menghujani bumi tanpa ampun. Bumi seakan tak pernah marah tertusuk duri-duri tajam air yang jatuh menyerupai jarum panjang yang siap menusuknya dengan penuh kasih. Tentunya penuh kasih, karena bumi tak pernah merasa marah dan kesakitan karenanya. Malahan mereka terlihat sedang asyik berkolaborasi membentuk sebuah drama dan tarian penuh cinta di bawah hujan deras. Sungguh romantis. Membuatku miris. Teriris. Mengingatkan akan sebuah cinta yang terjadi padaku. Yang tak pernah bisa disamakan dengan kisah cinta tak nyata mereka berdua. Cintaku lebih nyata, namun tak bisa kuraih bahagia seperti cinta tak nyata bumi dan air hujan. Yang kurasa hanyalah kesedihan, keterpurukan, harapan-harapan palsu yang berlebihan.
  
  Aku terduduk diam  berlatar drama dan tarian cinta dibawah hujan. Hanya terdiam. Hanya melihat mereka sedang asyik bergumul. Terduduk pada sebuah tempat untuk menunggu serupa halte bis. Berpayung sebuah besi yang dirangkai bersama seng berlipit bagai tekstur makanan ringan yang terbuat dari kentang. Dua benda itu berkolaborasi melindungi siapa saja yang sedang menunggu di tempat yang sama seperti diriku yang tak menahu menunggu apa. Aku tak mau menyebut diriku menunggu cinta. Karena cinta, yang kutahu justru membuatu menjadi manusia yang lemah. Menyedihkan. Aku benci cinta. Namun, aku juga menginginkkanya hingga membuatku terduduk diam disini.
  
 Aku tak akan pernah mengingkari diriku sendiri jika aku masih mengharapkan dirimu datang kembali. Namun, aku juga tak mengingkari aku akan menerima sosok lain yang muncul disini-yang sesuai dengan apa yang aku inginkan ketika aku menunggu di tempat ini. Di tempat aku menunggu di bawah hujan yang menggila. Hujan menggila yang merupakan episode demi episode drama dan tarian persetubuhan cinta air dan bumi.
  
 Sudah berjam-jam aku terdiam di tempat yang sama. Aku sudah lupa berapa jam aku duduk disini. Jadi, alangkah lebih baik jika aku menyebutnya berjam-jam saja. Aku akan bercerita, sudah beberapa sosok yang datang menghampiriku. Beberapa yang kumaksud juga memiliki nasib pengertian yang sama dengan berjam-jam yang aku bilang barusan. Aku tak bisa menemukan apapun dari sosok mereka yang menemukan keberadaanku  berlindung di bawah hujan di tempat ini. Mungkin sebenarnya mereka memilikinya. Dengan  kadar yang berbeda-beda. Dengan bentuk yang berbeda-beda pula. Perbedaan itu seharusnya merupakan sebuah keunikan. Namun keunikan dari perbedaan itu tak ada satupun yang mampu menggetarkan.
  
  Aku mulai sedikit latah mengikuti apa yang dilakukan oleh awan. Awan menjatuhkan air ke bumi. Awan yang kupunya menjatuhkan air mata. Tak terbendung. Aku begitu kesal. Aku begitu lelah. Aku begitu marah. Aku begitu terpuruk. Tubuhku lemas. Angin sudah terlalu banyak meraja merasuki ragaku. Salahku sendiri memakai baju berbahan kain sheer saat hujan lebat seperti ini. Semua hal terjadi tanpa  bantuan akal pikirku, hanya demi sebuah kata yang aku lakukan, menunggu. Menunggu sesuatu yang entahlah, kini aku tak bisa mengidentifikasi aku sedang menunggu apa. Badanku semakin lemas. Terjerembab dalam sebuah kepiluan yang begitu menggila. Lemas, hingga aku tak kuat menahan tubuhku sendiri. Bersujud sambil berusaha untuk berdiri di tempat yang masih sama. Aku menyerah. Badanku sudah menolak untuk diajak menunggu. Dengan susah payah aku berusaha berdiri dari badanku yang semakin lama semakin lemah. Aku berusaha meyakinkan diriku agar aku kuat untuk berdiri. Berjalan pelan dengan bertumpu memegang tiang  yang tepahat di tempatku menunggu. Aku sudah akan meninggalkan tempat ini. Aku sudah lelah. Bahkan, kau sendiri pun tak muncul di hadapanku.

 Sebuah cahaya berpendar dari belakang tempatku berdiri yang sudah bersiap meninggalkan tempat ini. Aku tak akan menoleh, mengintipnya tidak akan pernah sudi aku lakukan. Tahukah, kalau aku sudah lelah?. Biarkan saja cahaya itu yang menepuk pundak-ku. Biarkan saja cahaya itu yang menyapaku. Cahaya yang datang bersamaan dengan kepuasan orgasme persetubuhan air hujan dan bumi, Matahari terbit dengan terang seterang cahaya itu. Biarkan saja cahaya itu yang memberikan cinta. Karena lebih baik cinta itu tidak untuk ditunggu. Cinta bukan bis yang kita tunggu untuk mengantar kita ke suatu tempat. Cintu itu apa ?. DAMN. FUCK. Suci.

This short-story inspired by this video..
Rainy Day - Ayumi Hamasaki


Selasa, 17 Januari 2012

Hebii Rooteeshon

Ok, i want to make some little noise...
i want to post some little fun and cute things XP..

Here we goo~.. :DD








And, thank's lord god halleluya i don't live in Japan. So, i can "hear" their song without any "bad comment". Haha, just kidding. Have fun with Heavy Rotation from Japan to Jakarta :P.

Ciao! :).


Sabtu, 14 Januari 2012

Kamis, 12 Januari 2012

Tarara Macaron from One Day in Surabaya


Saya lagi suka bikin photo empat petak seperti ini :P
Thank's to Aditia Aryo for the photos

Surabaya Satu Hari


Hi, blog. Saya sepertinya sudah cukup lama tidak mengisi entri baru di blog saya ini. And, before telling you about something, I would like to say Happy New Year 2012 for you all. Semoga tahun ini bisa memberikan kebahagian, keberkahan buat kita semua. Amin. Amin. God Bless You All.
---
  Bulan Desember yang lalu. Lebih tepatnya empat hari sebelum tahun baru tiba. Saya memutuskan untuk pulang ke Surabaya. Memutuskan untuk pulang ke Surabaya hanya untuk mengunjungi kota selama satu hari. Yah, ini saya lakukan untuk membayar lebih awal atas kekecewaan saya tak bisa pulang ke kota(?) halaman untuk merayakan tahun baru, karena ada sesuatu hal yang tak bisa ditinggalkan di tempat saya bekerja part time. Daripada saya merasa sedih karena benar-benar tak bisa pulang, jadi saya mempergunakan satu hari libur yang diberikan kantor untuk pulang ke sana. Saya sudah sangat rindu dengan kota ini :’(.
  Ada satu hal yang membuat kepulangan saya ke Surabaya kali ini sedikit berbeda. Dengan berat hati saya tidak memutuskan untuk pulang ke rumah. Karena alasan kalau saya pulang ke rumah, pasti saya akan semakin cepat merasa home sick ketika balik ke Yogyakarta. Dan alasan lainnya, saya tak rela melihat wajah ibu saya hanya selama 24 jam (satu hari) saja. Jadi, dengan berat hati itu saya memutuskan untuk menginap di rumah sahabat saya, Aditia Aryo. Dia sudah berbaik hati menjemput saya di pagi buta, pukul dua dini hari di terminal yang cukup jauh dari rumahnya berada. Yaps, dengan berjanji sekuat hati sebelum sampai di Surabaya untuk benar-benar menikmati satu hari ke depan di kota ini. Saya kangen. Kepulangan saya kemari terakhir kali saat idul fitri tiba.
  Saya bisa mencium lagi angin pagi menjelang siang kota Surabya yang saya cintai. Kami memutuskan untuk keluar dari rumah pukul sebelas siang. Tujuan utama kami di tempat makan seputaran SMA Komplek yang berada di Jl. Slamet untuk bertemu sahabat saya yang lain, Praharani Elok. Pulang ke Surabaya memang seperti ajang kangen-kangenan saya ke sahabat-sahabat yang saya punya. Mengobrol banyak hal tentang apa yang terjadi selama kita tidak bertemu, suatu hal lain yang teramat sangat saya rindukan ketika pulang. Kami tak terasa menghabiskan waktu selama dua jam di tempat ini sembari menikmati cemilan ringan berupa siomay dan mie pithik.
  Dua jam berikutnya, kami hijrah untuk menemui sahabat kami yang lain. Sahabat terbaik yang pernah saya punyai, Bismaputra Jayasujana. Kami memilih tempat pada sebuah pusat perbelanjaan yang bisa dibilang masih baru di Surabaya, Grand City. Ini baru kali kedua saya kemari. Setelah memasuki tempat ini, sudah banyak sekali perubahan yang terjadi dari segi tempat-tempat yang mengisi bangunan ini. Dan , perubahan lain yang cukup membuat saya sedikit sedih namun bisa tersenyum gembira hingga bibir saya terangkat naik. Perubahan itu bisa saya bilang sebuah perubahan. Sebuah perubahan dimana saya sudah tak bisa mengenali sosok sahabat saya sendiri. Sahabat yang sudah menjalin pertemenan dengan saya sejak Sekolah Menengah. Memang, tak bisa menyalahkan waktu yang begitu cepat bergerak maju hingga menuju sebuah perubahan. Tak bisa menyalahkan juga keputusan saya untuk berkuliah di Yogyakarta sehingga saya tak bisa lagi intens berhubungan dengan sahabat saya tersebut. Sebuah ketergantungan karena intens yang menimbulkan saya takut kehilangan. Yang baru saya mengerti, perasaan seperti ini bisa terjadi juga dalam sebuah hubungan sahabat.
  Namun, di balik itu. Saya bisa tersenyum karena mungkin sahabat saya tersebut bisa menemukan sebuah dunia baru untuk mengisi hari-harinya tang sudah tanpa saya dan tanpa cinta yang masih dengan setia ia cari hingga sekarang. Kami mungkin sama-sama belajar untuk menjadi manusia dewasa. Usia sudah tak mengijinkan kamu untuk menjadi sosok kanak-kanak seperti dulu. Tapi kenangan masa kanak-kanak justru yang bisa menyatukan kami, mungkin ini yang bisa membedakan dua hubungan antara manusia pada hubungan cinta dengan kekasih dan cinta dengan sahabat. Kami memang bersahabat, tapi mungkin kami tidak bisa selalu bersama-sama untuk meraih masa depan kami masing-masing. Saya bisa berucap seperti itu, karena saya tidak tau apa yang akan terjadi dengan hidup saya mendatang. Yang terpenting, saya bahagia bisa melihat sosok sahabat saya tersebut dibalik ketidak mampuan saya (lagi) mengenal sosoknya . We’re still best friend forever, dear.
  Seperti yang pernah saya posting di entri blog saya sebelumnya. Surabaya selalu membuat saya berkenalan dengan teman baru. Kali ini sosok anak kecil (hehe) yang masih duduk di sekolah menengah bernama Alicia yang mengisi di daftar orang-orang yang pernah saya temui. Glad to see you :).
  Waktu memang tak pernah menyediakan rentang yang cukup. Saya harus kembali ke Yogyakarta. Sebelumnya, saya dan sahabat saya yang saya tumpangi rumahnya, Aditia Aryo berkeliling kota ini. Saya masih rindu. Walaupun, di perjalanan berkeliling ini pada akhirnya saya bisa mendapat macaron yang saya idam-idamkan. Semua mungkin bisa terbilang sudah lengkap. Satu hari itu bagai roller coaster yang membuat saya merasa fun. Surabaya satu hari yang membuat saya bisa tersenyum dari penatnya saya di Yogyakarta.
Terima kasih sahabat, Bismaputra Jayasujan, Aditia Aryo, dan Praharani Elok.