CLICK HERE FOR FREE BLOGGER TEMPLATES, LINK BUTTONS AND MORE! »

Rabu, 29 Februari 2012

HyperBallad Part Une


  Bi. Dirinya berada pada ketinggian beratus-ratus meter jauhnya dari permukaan air laut, namun letaknya bukan di atas awan. Berpijak di salah satu perbukitan teduh, terbentang luas di sekitarnya perbukitan-perbukitan lain yang tak nampak karena langit sudah membentuk lautan hitam pekat diatas sana. Embun tanpa bingkai terpahat bagai asap rokok yang disulut seseorang yang berada di depannya beberapa waktu lalu, ketika dirinya baru saja menginjakkan kedua kaki yang tak pernah lelah untuk perjalanan yang katanya mengikuti kata hati. Entah hati yang mana yang ia maksud, hati yang berada di bagian perut sebelah kanan, ataukah hati lain yang tak pernah teridentifikasi dimana letaknya.  Hanya untuk sebuah janji, bukan sekedar mengikuti kata hati. Curamnya sebuah logika yang menganga lebar, bersanding penuh seram dengan sebuah kata hati yang juga sama-sama menganga lebar. Dia seharusnya sudah terbilang cukup piawai untuk menghadapi hal seperti ini. Tapi mungkin ini terbilang sebuah perkecualian, dia manusia yang sama halnya seperti jembatan. Dengan sebegitu kokoh dibuat agar jembatan itu tak mudah roboh, toh pada akhirnya tanpa ada yang mengetahui dengan serba kemendadakan jembatan itu bisa begitu saja runtuh, menjadi kepingan-kepingan asimetris yang bergumul dengan permukaan air di bawahnya.
  

 Bi. Dirinya masih berada pada ketinggian beratus-ratus meter jauhnya dari permukaan laut, namun letaknya juga masih bukan di atas awan. Berpijak di salah satu perbukitan teduh, yang kali ini banyak rumput-rumput hijau gelap karena malam, terhampar luas di sekitarnya. Perasaan di hatinya yang tak bisa teridentifikasi letaknya itu masih saja bergejolak hebat. Bergejolak hebat dan sangat terang beradu dengan gemerlap terangnya lampu-lampu jingga keemasan terang yang disangga hamparan rerumputan hijau yang ia pijak. Embun di malam pekat sudah banyak turun, namun embun lain berwujujd asap rokok menggantikan perannya. Seseorang di depannya menghisap tanpa ampun sebatang rokok berwarna putih.

  Berkaca duduk berseberangan dengan seseorang, hal ini sudah kali kedua dia jumpai dengan hari yang berurutan. Kemarin dia bertemu untuk pertama kalinya, dan kali ini tentu saja menjadi kali kedua dia bertemu seseorang yang entah seharusnya dia sebut sebagai apa. Kebingungannya meraja seiring dengan semakin banyaknya asap rokok yang mengepul dari sulutan rokok seseorang di depannya dan sebatang rokok yang ia hisap, berharap kecamukan keraguan dan perasaan buruknya ikut pergi keluar melalui asap putih penuh racun berbahaya tersebut.

  Sebuah cerita tentang sesuatu hal yang klise. Mungkin saja angin malam perbukitan yang sejatinya melebihi angin normal di daerah normal, sudah membuatnya meradang, membeku, dan terpahat dengan terpaksa. Dia hanya butuh sesuatu untuk menghancurkan itu semua. Dia hanya butuh sesuatu untuk menghancurkan keberharapaan yang lama kelamaan dia rasa hanyalah sebuah semu. Semu yang nyata, semu yang sebenarnya bisa digapai, namun dia terlalu naïf untuk sekedar menganggap bahwa semu yang nyata itu ada. Dia hanya butuh sesorang di depannya, sebagai orang yang ia rasa mampu menghancurkan segala komplikasi antologi rasa yang sedang menggumuli batinnya. Miris, tragis, dilematis, ketika sebuah ketidak tahuan untuk berbuat apa menghampiri diri tanpa ampun. Menangis, tanpa air mata. Sejujurnya ia malu melihat dirinya sendiri, mendesis tanpa otak seperti hewan melata.

  Bi. Dia sudah bisa mengira sebelumnya, jikalau semua yang ia lakukan hanya mendatangkan ketersia-siaan yang semakin melancarkan aksinya. Dia merasa ling lung, tembok-tembok pembatas yang dibuatnya selama ini telah runtuh. Dua belas tembok pembatas kokoh yang mengelilingi dirinya, hancur seketika ketika tembok pembatas ketiga belas ingin ia tambahkan di celah yang masih kosong setelah tembok ke dua belas. Mungkin saja sudah terlalu lama. Mungkin saja dia sudah terlalu letih. Energinya sudah terkuras habis membuat kedua belas tembok. Lelah, ketakberdayaan, dan kekosongan dengan sempurna melumuri semua bagian tubuhnya.

  “Tiga belas yang sial. Tiga belas yang benar-benar sial. Tiga belas ternyata memang benar angka sial” Gumamnya dalam hati.

    Bi. Dirinya masih berada pada ketinggian beratus-ratus meter jauhnya dari permukaan laut, namun letaknya juga masih bukan di atas awan. Dia mengistirahatkan pijakan kedua kakinya yang telah menghabiskan beberapa jam yang telah berlalu untuk mengikuti kata hatinya. Hati yang tak terdefinisi dimana letaknya, yang juga telah tumbuh menjadi makna yang melebur dengan kesukaran untuk menerjemahkannya. Siluet seseorang yang sama masih bisa ditangkap oleh indera penglihatannya, persis di depan.  Pundak yang bagai seorang bermata silindris menggambar sebuah garis horizontal lurus dari kiri ke kanan, suatu hal kecil yang di awal, dia sangat ragu untuk mampu benar-benar melihat sosok tiga atau bahkan empat dimensinya. Tanpa kacamata khusus berwarna hitam pada lensa dan framenya, dia bisa melihatnya, menyentuhnya, mecium aroma tubuh yang dikirim angin dingin yang sendu dan semu di perbukitan itu.

  “Anggap saja sebuah liburan kecil” Gumamnya dalam hati untuk meyakinkan dirinya sendiri. “Walau sebenarnya aku tak ingin menyebutnya sebuah liburan kecil. Bagaimana bisa aku menyebutnya liburan, jikalau partikel kecil kebahagiaan tak merasuki tubuhku yang masih saja tak tau harus berbuat apa dan bagaimana”

  Malam pekat semakin meninggi. Bau sisa hujan masih dititup dengan kencang oleh deru angin malam pekat yang juga semakin meninggi. Menarik sebuah selimut tebal yang ternyata untuk berdua. Dua selimut, memakai salah satunya, dan menendang sisanya hingga mencium permukaan lantai keramik putih yang baru pertama kali ia pijak di tempatnya sekarang. Seseorang yang tadi di depannya, kini telah berpindah posisi berada di sisi sebelah kiri ia di tempat tidur kecil tersebut.

 “Tidurlah disini” Tanpa suara. Badannya seakan berbicara seperti itu, dengan merentangkan tangan kanannya di belakang punggung Bi.

   “Sudahlah” Gumamnya lagi dalam hati.

  Bi. Dirinya masih berada pada ketinggian beratus-ratus meter jauhnya dari permukaan laut, namun letaknya juga masih bukan di atas awan. Dia mengistirahatkan tubuhnya. Bersembunyi dibalik selimut untuk berdua. Letih, lelah, tak ingin semakin berpikir panjang. Didekap dan mendekap seseorang yang berada di depannya. Entahlah, dia sudah lelah. Terlepas dari palsu atau tidak palsu ini semua. Terlepas untuk apakah sebenarnya dia berpijak di tempat ini. Tak ingin menyesal, ingin menyesal. Barangkali mau tidak mau dia harus menganggapnya sebagai sebuah liburan kecil saja, karena sampai di akhir pergumulan badan, segalanya masih sama. Tak ada apa-apa, hanya sebuah kelegaan dua buah penis yang meregang tegang dengan muntahan sperma di mulut dan badan.
  
 Bi. Dirinya sudah tidak berada pada posisi yang cukup tinggi beratus-ratus meter jauhnya dari permukaan laut. Sebuah kecupan yang entah berarti atau tidak. Dia pergi meninggalkan siluet pria berpundak seperti seseorang bermata silindris yang menggambar sebuah garis horizontal lurus dari kiri ke kanan, yang setengah hari sudah saling bertarung dengan indera penglihatnya, bertarung dengan kata-kata klise dari mulut masing-masing, bertarung dengan selimut kecil untuk dua orang, bertarung dengan perbukitan-perbukitan gelap dengan gemerlap lampu jingga kuning emas yang berpendar bagai keraguannya yang semakin meninggi dan akhirnya meletup dengan sebuah tangis yang tak pernah diketahui oleh kedua belah pihak. Mungkin memang seharusnya saling tak tahu, karena dia sudah terlanjur yakin, sampai kapanpun dia tak akan pernah tahu. Karena tak dijumpainya partikel-partikel penyusun lawan dari ketidak tahuan, sedikitpun, secuilpun, mungkin saja sampai kapan pun…
***

Rabu, 22 Februari 2012

Oh, I Never Know...







  Aku mungkin bukan seperti orang kebanyakan, tak seberapa mencintai hujan yang katanya selalu memberikan ketentraman teduh duniawi di setiap tetesan air yang jatuh berpelukan dengan tanah. Mungkin, kali ini berbeda. Aku menjelma menjadi kebanyakan orang yang begitu mencintai hujan, lebih tepatnya saat dua bulan lalu dirimu membuka kedua belah tanganmu, sama persis dengan imajinasiku jika suatu saat nanti kita juga akan menjelma, menjadi sepasang kekasih yang pertama kali bercinta di luar angkasa.
  Aku tidak akan pernah tahu, yang pada akhirnya aku memutuskan untuk bertanya, untuk sekedar menjawab segala rupa yang mungkin telah sedikit mengikis diriku sendiri, benar-benar diriku sendiri. Aku berpura-pura untuk tidak akan pernah tahu, sebelumnya mungkin aku sudah sedikit menebak, apa kira-kira yang diinginkan oleh hati, hati yang dalam pengertianmu merupakan anggota badan di daerah perut sisi sebelah kanan. Namun, karena aku terlalu takut untuk meyakini yang aku mau, aku lebih memilih untuk demikian, berpura-pura tidak akan pernah tahu. Tentu saja, segala hal palsu penuh kepura-kepuraan sesungguhnya sudah menggerogoti tanpa ampun hingga tersisa sebuah kebimbangan.
  Aku tidak akan pernah tahu, dan aku tidak akan pernah peduli jika dirimu tak menginginkan sedikitpun tentang apa semua ini. Aku mungkin sudah terlalu letih, waktu mungkin juga demikian hingga dia berhenti sejenak untuk menjawab segalanya yang terjadi.
  Terhempas bebas kembali tanpa oksigen, bebas, hingga memoriku dengan otomatis memainkan sebuah cerita masa lalu tentang suatu cerita klise yang pada akhirnya mampu aku rampungkan dengan menyisakan noda kecil bulat di dalam organ tubuh di perut sisi sebelah kanan. Mungkin saja sebuah media pengingat, yang aku sendiri tak tahu seperti apa wujudnya. Berbisik lirih, karena sesungguhnya apa yang terjadi sekarang hanyalah sebuah flat shoes karet, yang mampu tergilas habis dengan sepatu armadillo melegenda dari cerita masa lalu. Terhempas bebas dengan air mata menggenang terbang yang juga dengan bebas, sepatu bersol tebal itu menendangku tepat di kepala bagian belakang. Sakit, cukup sakit. Namun, dengan segera mampu membuatku tersadar. Tak seharusnya seperti ini.
  Aku tidak akan pernah tahu, sedikit yang aku tahu, kau masih begitu menikmati hamparan rerumputan hijau, dengan dua cangkir teh bercampur sari lemon. Dua cangkir, satu cangkir untukmu. Dan cangkir yang satunya, yang mampu kutebak hanyalah sosok hologram dengan gaun pengantin yang sangat cantik, berwarna putih, yang sangat begitu kau banggakan di setiap perbincangan tentang pernikahan, namun aku tak suka. Kenapa harus putih, kalau saja kita bisa benar-benar menjadi sepasang kekasih yang pertama kali bercinta di luar angkasa, aku akan membuat warna itu menjadi seperti pelangi. Lebih indah bukan?, kesucian warna putih dari sebuah pernikahan (katamu), bukankah sudah menyatu di dalamnya hingga bersatu menjadi warna yang cantik. Putih menjadi pelangi, tak sadarkah apa yang terjadi sangat berbeda dengan apa yang terjadi kebanyakan?.
  Aku tidak akan pernah tahu, bagaimana hujan bisa berhenti seketika kali ini. Mendung masih menghujani belantara awan di atas sana. Aku tidak akan pernah tahu, kemanakah arus ini akan membawaku kelak. Aku tidak akan pernah tahu, akan menjadi seperti apa kelak. Katamu dilalui saja, katamu mengikuti arus saja. Baiklah, mungkin saja itu jawabannya. Mungkin. Dan aku lebih memilih untuk kembali berjalan di arus diriku sendiri. 

Rabu, 08 Februari 2012

Hi, February!

Long time no see you, bluggy.

And, i will start my post in this lovely month with my new looks from my lookbook.
Taken on the same place as my previous post. And also stil taken by my friend Danastri Rizqi Nabilah.





And this is another freaky-goofy another picture during the photo-shoot :P



Happy February, Guys :)