CLICK HERE FOR FREE BLOGGER TEMPLATES, LINK BUTTONS AND MORE! »

Rabu, 29 Agustus 2012

Notes from Eid Mubarak #1

Lebaran itu, bagi sebagian umat muslim di seantero Indonesia identik sekali dengan pulang kampung, atau jika lebih dipersempit diksinya berubah menjadi mudik. Ada juga yang memilih lebaran sebagai saat yang tepat untuk berkumpul kembali bersama seluruh keluarga, saudara, sahabat, dan teman. Namun, bagi Saya sendiri, lebaran itu berisi keduanya tanpa terlepas dari kegiatan dan esensi harfiahnya yaitu saling memaafkan lahir dan batin satu sama lain sesama manusia. 

Bagi Saya (lagi), lebaran selalu punya cerita menarik tersendiri buat Saya tiap tahunnya. Berbekal memori otak yang memang diciptakan tanpa batas ini, Saya ingin menuliskan catatan-catatan kecil di lebaran tahun 2012 ini yang begitu lebih bersemarak seperti lebaran-lebaran tahun yang lalu. Lebaran ala anak kos, lebaran ala anak perantauan, lebaran mahasiswa yang lagi pulang kampung, atau entah apapun judulnya, happy reading and Happy Eid Mubarak Peoples, Minal Aidzin Wal Faidzin Mohon Maaf Lahir & Bathin :).

Insiden Kereta Api Mogok
Finally, tepat di tanggal merah dimana negara ini sedang memperingati hari kemerdekaanya, Saya baru bisa benar-benar hengkang sejenak menjejakkan kaki dari ranah kota perantauan Yogyakarta ini. Tidak lain dan tidak bukan, kerja part-timelah yang memaksa Saya untuk singgah merasakan bulan Ramadhan di Yogyakarta, padahal liburan kuliah sudah datang sedari pertengahn bulan Juni lalu. Yah, mau tidak mau, namanya sudah resiko dari menerima dan (masih) menjalani pekerjaan paruh waktu itu, Saya benar-benar baru bisa pulang di detik-detik menjelang berakhirnya bulan Ramadhan.

Berbekal dengan banyaknya pilihan-pilihan transportasi yang ada di kepala, pada akhirnya Saya lebih memilih untuk naik kereta api sebagai kendaraan yang membawa Saya menuju kampung, Surabaya. Dengan alasan, jikalau Saya memilih naik bis seperti biasanya, kemungkinan bakal saling berebut tempat duduk dengan penumpang lain yang membludak karena hari raya, dan belum berhenti disitu saja, Saya teringat satu hal klise yang berada di jalanan ketika menjelang hari raya seperti ini, macet dimana-mana dan waktu kedatangan bis dijamin lebih lama dari waktu biasanya. Memang benar, sebenarnya dengan memilih untuk naik pesawat terbang adalah pilihan yang paling cepat dan tepat. Cepat sampai tujuan, pilihan yang tepat anti-macet dan kenyamanan. Namun, dibalik alasan karena dompet Saya enggak sampai buat beli tiket pesawat terbang,  Saya sendiri mungkin bisa dibilang orang yang sangat menikmati sekali perjalanan. Enggak papa deh, lama di perjalanan, asalkan masih bisa ditolerir sedikit masalah kenyamanan dan waktu sampai ketujuannya, tapi yang lebih penting bisa menikmati perjalanan. Dari banyaknya pertimbangan dan alasan-alasan itu, pikiran Saya mengerucut untuk memilih kereta api untuk pulang ke Surabaya.


Tepat 30 menit sebelum kereta api melaju, dengan diantarkan salah seorang teman, Saya sudah sempurna duduk di kursi tempat duduk penumpang di gerbong nomor tiga kereta api yang akan membawa Saya ke Surabaya, PT. Kereta Api Indonesia menamainya Sancaka. 



Singkat cerita, Saya banyak tertidur di awal perjalan hingga tengah perjalanan saat kereta mulai menyentuh kota Madiun, maklum sebelum berangkat ke stasiun, pagi harinya Saya masih harus berurusan dengan kerja part-time Saya selama lima jam hehe. Berhenti di kota yang dulu pernah Saya singgahi saat kecil, diikuti dengan bedug Adzan maghrib tanda waktu berbuka puasa. Mungkin karena si perut sudah meraung-meraung minta makan sedari tadi, Saya segera menyambar sebotol kecil tupperware di postman bag yang tergantung di badan Saya, meneguk air di dalamnya dan segera menyambungnya dengan dua bungkus makanan ringan yang memang sengaja Saya siapkan untuk berbuka puasa di kereta. 

Lima belas menit berhenti di Madiun, bel sebagai penanda keberangkatan kereta api diraungkan. Kursi Saya bergetar dan kereta kembali meluncur ke arah timur melanjutkan lajunya. Di detik ini, Saya mulai sedikit  merasakan terlalu banyak asupan tidur yang Saya terima. Kedua mata benar-benar melek penuh daya. Saya kembali merogoh postman-bag yang masih tergantung di badan, dan meraih sebuah benda yang ternyata insting Saya tak salah untuk membawanya di perjalanan kali ini. Sebuah buku karya Dewi Lestari yang belum sepenuhnya selesai Saya baca, Partikel. Baiklah, mungkin kali ini Saya lebih asyik menikmati bacaan daripada menikmati perjalanan yang berlangsung. Tapi, kalau boleh jujur menikmati bacaan ketika perjalanan  bisa dibilang seasyik menikmati perjalanan itu sendiri.

Tepat pukul sembilan malam, sesuai dengan penujuk waktu tibanya kereta api di tempat tujuan yang tercetak di tiket penumpang. Seharusnya, tiga puluh menit ke depan kereta benar-benar sudah sampai di kota tujuan, Surabaya. Namun, tanpa pernah Saya kira atau mungkin penumpang lain kira, tepat di pukul itu kereta api tiba-tiba diberhentikan di sebuah stasiun kecil di daerah yang sebenarnya sudah tidak seberapa jauh lagi dari stasiun kota Surabaya. Pikiran Saya waktu itu mengira, kemungkinan kereta sengaja diberhentikan karena menunggu kereta dari arah yang berlawanan melaju terlebih dahulu, dan biasanya tak memakan waktu lebih dari lima belas menit. Di detik lebih dari lima belas menit, para penumpang yang lain mulai ngedumel karena kereta tak segera dijalankan, mereka segera berhambur menuju gerbong depan tempat dimana lokomotif berada. Satu dua orang mulai kembali ke gerbong asal tak seberapa lama kemudian, mimik wajah mereka masam. Ada yang segera meraih travel bag dan segera memutuskan untuk turun di stasiun itu, dan ada pula yang kembali ke tempat duduknya dengan masih ngedumel ke kerabat di sebelahnya dengan berseru "Kereta api-nya mogok, sekarang lagi nunggu lokomotif dari Surabaya. Perkiraan jam sepuluh kurang seperempat kereta baru bisa jalan lagi". Kereta api mogok?, okay, awalnya kata kereta api mogok Saya kira hanya berada dalam kamus bercanda. Tapi, here it is, Saya benar-benar menemuinya sekarang >.<.

Kontan saja, salah seorang sahabat yang sudah berbaik hati untuk menjemput Saya juga ikutan dongkol. Dia sudah sampai di stasiun gubeng Surabaya jam sembilan tepat. Mengumpat kereta api, walau sebenarnya dia sangat-sangat menggilai dunia kereta api. Karena memang tak bisa berbuat apa-apa, mau nekat ikutan turun di stasiun ini juga dibilang terlalu nekat. Hanya bisa melayangkan kata-kata klise "sabar bentar yah" ke sahabat Saya itu (walau sebenarnya Saya sendiri udah enggak sabar menunggu terlalu lama), dan beruntunglah Saya membawa bacaan untuk meredam kebosanan selama tiga puluh menit karena kereta api mogok itu. And yeah, massive thank you for Dewi Lestari and Rahne Putri yang telah menciptakan karya yang begitu bisa meredam kebosanan seperti Partikel dan Sadgenic ini.


Mungkin karena takut tertimpa kesialan lagi, kereta api bisa menepati janjinya. Tepat sesuai dengan janjinya untuk melanjutkan perjalanan di pukul sepuluh kurang seperempat, lokomotif benar-benar menarik gerbong dengan kecepatan ekstra kencang (dari biasanya) menuju Surabaya. Hanya memakan waktu sekitar tiga puluh menit, Saya sudah bisa melihat hijaunya kubah masjid agung Surabaya dari dalam kereta api, serta disusul lima menit kemudian kereta benar-benar berhenti di ranah rel stasiun gubeng Surabaya. Tanpa menunggu lama dan karena sudah terserang wabah bosan yang terlalu meradang, Saya segera meraih satu travel bag yang saya selipkan di tempat menaruh barang persis di atas tempat duduk penumpang, menyisir lorong gerbong kereta api sancaka, dan menginjakkan kaki saya kembali di tanah kampung Saya, begitu pintu gerbong sudah Saya lalui. Huwahhhhh....i miss Surabaya sooo muchhh!!!.

Cerita lebaran tahun ini Saya mulai pada hari itu. Sempurna menginjakkan kaki di rumah pada pukul setengah satu dini hari. Setelah sempat menghabiskan beberapa jam dahulu bersama Aditya Aryo, salah seorang sahabat yang telah rela mau menjemput Saya di stasiun, walau sebenarnya letak rumahnya di ujung Surabaya. Dan sebagai simbolisasi ucapan terima kasih, kami berdua menghabiskan beberapa jam disebuah warung soto, temu kangen singkat sebelum temu kangen yang sebenarnya. Hingga akhirnya, sama seperti tiap kali ketika Saya pulang ke rumah, tak akan pernah bisa langsung pergi tidur hingga matahari muncul di kota Saya, kota Surabaya.