CLICK HERE FOR FREE BLOGGER TEMPLATES, LINK BUTTONS AND MORE! »

Kamis, 30 Mei 2013

Skeptis*

Petang. Balkon rumah sebenarnya menjadi tempat favorit Saya untuk sekedar pergi dari keriuhan. Beberapa keriuhan yang bisa saja menjadi beberapa hal yang tidak Saya sukai. Kalau saja Saya suka, kenapa harus pergi?. Namun, daripada memilih untuk pergi, sejatinya bukankah lebih baik menikmati dan beberapa detik untuk singgah dalam keriuhan. Tapi, itu dulu. Itu lima tahun lalu. Saat Saya belum memutuskan untuk merantau ke Yogyakarta.

Di Yogyakarta, Saya tak butuh balkon untuk sekedar lari. Di Kota itu, di setiap sudutnya justru memberikan kehangatan bagi batin. Tapi tentu saja kehangatan itu berbaur dengan kedinginan damai orang-orangnya yang tercipta dalam perilaku blangkon* untuk mencipta sirkulasi konstan yin dan yang. Tak ada yang salah dengan itu, kalaupun memang salah, kenapa harus ada kajian Psikologi Budaya dalam ranah studi tentang kejiwaan manusia?.

Lima tahun kemudian, Saya kembali ke rumah. Bukankah sejatinya pergi itu untuk pulang?. Awalnya Saya ragu dengan kalimat tersebut, tapi rotasi bumi membuat Saya mengerti bahwa juga tidak ada salahnya dengan kalimat itu. Saya kembali terduduk pada sebuah kursi di balkon rumah. Langit gelap, karena memang sudah saatnya jam dinding bergerak pada angka dua belas gelap. Di kejauhan, produk tata surya sebagai aji-aji keberuntungan hanya nampak separuh, bulan separuh. Bapak dan Ibu Saya sudah pergi tidur. Selama pergi ke Yogya, rumah memiliki personil pengganti untuk menggantikan Saya. Seorang perempuan renta yang kini sudah tak bisa melihat, namun beliau masih piawai untuk berjalan. Perempuan milik Ibu Saya. Sosok perempuan dimana ia dulu menyimpan orang terkasih Saya di alat reproduksinya. Nenek.

Di balkon itu, Saya seperti enggan untuk sekedar melempar pandangan ke arah kiri. Saya merasa skeptis, hanya berani mencoba-coba untuk menerka apa yang ada disana. Padahal Saya sebenarnya tahu, disana tersembul sebuah sosok yang besar, perkasa, tapi kosong. Tak mau memungkiri, keengananan Saya sebenernya bersumber dari perasaan cinta atau mungkin menyertakan sebuah benci didalamnya. Pokoknya, malam itu saya tak mau menoleh ke kiri. Toh, disana pasti sudah gelap. Karena jiwa sosok besar, perkasa, serta kosong itu sedang melakukan sebuah perjalanan pergi (yang juga untuk pulang). Disana hanya sebuah kemasan kosong, sudah kosong ditambah lagi dengan kekosongan tanpa jiwa.

Saya suka melempar pandangan ke arah kanan. Itu ke arah pusat kota. Salah satu alasan Saya rindu untuk pulang. Tak jarang, angin-angin malam menerpa wajah, dan Saya menyukai hal kecil itu. Malam itu-pun juga sama halnya. Lampu-lampu diseberang semakin riuh. Berbeda dengan lima tahun lalu saat Saya terduduk di tempat yang sama. Mereka seolah-olah ingin berbicara pada Saya. Tapi mereka-mereka itu segera terdiam. Terkalahkan oleh sesuatu. Firasat.

"Selamat datang kembali. Ujung yang merupakan sebuah titik akhir dalam setiap pergi dan perjalanan yang kau jalani. Tak perlu berbicara dengan mereka, dengan para lampu-lampu itu. Mereka hanya ingin merayakan euforia kedatangan pada setiap seseorang yang bergabung di kota ini kembali. Seperti layaknya, Kau," ada sebuah percakapan.

"Segalanya sudah tercipta sedemikan baru sekarang. Sudah, percaya sajalah bahwa Kau akan membuat sebuah cerita baru disini. Tak perlu ragu, ini dirimu yang berbicara sendiri. Alam bawah sadar, yang selama ini kau ciptakan sendiri dalam sebuah paket keisengan dan penuh keingintahuan. Percaya saja," percakapan itu terhenti.

Dengan sesegera Saya hembuskan nafas. Bintang hanya tiga titik diatas. Saya terpikirkan sosok besar, perkasa, tapi kosong itu. Saya terpikirkan diri Saya yang berbicara dalam diam. Saya hanya terpikirkan dalam diam yang bermula dari perasaan Skeptis. Namun, Saya mencintai malam itu. Saya mencintai balkon rumah, sebuah tempat kecil. Namun, memiliki keleluasaan fikir dan tanpa batas mengawang-awang lautan atas.

***

*Skeptis : Sikap sedia meragukan segala sesuatu.
*Blangkon : Analogi untuk perilaku orang Jawa (bagian tengah?). Ibarat blangkon yang sisi permukaan depannya rata, namun sisi belakangnya ada sebuah ikatan benjolan. Di depan manis, tapi di belakang menyimpan sebuah ketidaksukaan.

Sabtu, 25 Mei 2013

Namanya Mr. Perfect

Menjadi lelaki itu, katanya harus berperawakan tinggi, besar, dengan otot-otot menyembul bagai aktor-aktor Hollywod yang kerap bertandang di bioskop ternama. Entah berasal darimana konseptual itu, Saya hanya ingin bercerita sedikit tentang pertemuan dengan berjuta-juta lelaki kembar yang Saya namai "Mr. Perfect".

Pria pertama yang Saya temui, dia berkulit cokelat dengan otot diilengannya yang menyembul keluar dari T-Shirt tanpa lengan berwarna hitam. T-Shirt-nya basah, akibat dari memompa fisik untuk tampilan perfect di hadapan Saya tersebut. Kami mengobrol sejenak, berbicara tentang buku dan seni. Karena dia hanya menanggapi seadanya saja, Saya menjadi sedikit mengurangi berbicara tentang apresiasi buku dan seni yang menjadi hobi Saya. Kemudian makanan datang, Saya memesan sepotong cake bertaburan keju diatasnya. Pemandangan ini tentu saja membuat Saya tak sabar untuk segera melahapnya.

"Gila, berapa kalorinya, tuh?" Tiba-tiba saja dia menyeletuk sembari mulai menyendok sepiring salad yang bertengger dimejanya.

"Kira-kira lebih banyak daripada salad yang dimakan, mas, lah" ujar Saya kemudian. Makanan itu anugerah. Daripada sekedar menghitung berapa kandungan gizi-nya, bukannya lebih asyik jika kita langsung melahapnya. Bukannya dengan menghitung kandungan gizinya, lantas tidak akan membuat diri kita menjadi orang paling higienis dan sehat di dunia ini?. Hanya itu yang ada di pikiran Saya waktu itu.

Kami menyudahi pertemuan itu ketika dia berpamitan untuk melakukan sesi kedua dari kegiatannya membasahi Tshirt hitam tanpa lengan yang dipakainya. Au revoir, Mr. Perfect.

***

Pria kedua yang Saya temui awalnya hanya mampu membuat Saya kagum melalui isyarat saja. Kami sudah lama berkenalan, melalui social media lintas batas tentunya. Saya menganggumi sense of fashion yang ia miliki (yang waktu itu hanya bisa lihat dan nikmati melalui social media miliknya). Singkat cerita, keberuntungan mungkin mendatangi Saya. Seorang teman tiba-tiba memberi secarik undangan. Invitation Fashion Show. Tentunya Saya girang setengah mati, karena acara tersebut terbilang private, hanya untuk kalangan tertentu yang disebut, Fashion People. Saya pribadi memang tergila-gila dengan dunia fashion. Tapi, untuk melabeli diri sendiri dengan label Fashion People, butuh keberanian ekstra untuk merengkuhnya. Skeptis mungkin kata yang tepat untuk perkara keberanian melabeli diri dengan label itu. Hehe.

Di dalam fashion tent, lebih tepatnya diperjalanan menuju kursi undangan. Saya sedikit tersihir dengan pemandangan seorang Pria yang berjalan di depan Saya. Perawakannya tinggi, dari belakang, rambutnya menjulang ke atas sekitar satu senti. Ya, cuman helai-helai rambut itu saja yang terlihat di kepalanya, dia membabat skinny rambut dibagian kanan kiri dan belakang kepala rambutnya. SWAG.

Mata Saya benar-benar menelanjangi sosoknya dari belakang. Otot di lengannya menyembul dari kemeja bermotif quirky yang berteriak. Muscle fit, kalau saja kemeja itu bisa berbicara, mungkin dia sudah berteriak lantaran sekujur tubuhnya ditarik dengan terpaksa untuk menutupi tubuh kekar pria tersebut. Short chino pants yang juga samar-samar menyembunyikan otot kakinya yang kencang. Serta sepasang flip on shoes beralas merah yang seakan berbicara bahwa dia adalah rentetan koleksi "men in sole" dari Christian Loubuitton. STYLISH.

Pria itu adalah Pria kedua. Yang pada akhirnya bisa Saya telanjangi dengan mata, wujud tiga dimensinya.

Entah bagaimana kronologi detailnya, atau mungkin karena Saya lupa. Dua hari berselang setelah kali pertama Saya melihat sosoknya di fashion show tersebut, kami janjian untuk bertemu. Di hari bertemunya kami, Saya tersihir kembali. Sosok itu kini menjelma menjadi Young American Swagger. Mirip tanpa cela seperti kebanyakan pria-pria yang Saya lihat di social media tempat kami pertama berkenalan. Topi hip-hop yang merupakan modifikasi modern dari topi casual yang kita pakai waktu duduk di Sekolah Dasar, T-shirt tanpa lengan berwarna putih yang ia bungkus dalam varsity jacket berwarna biru. Saya tersenyum, dan membatin pasti akan tercipta obrolan asyik dengan-nya, terlebih pasti asyik ketika bertukar pikir tentang wacana fashion.

"Kemarin seru, yah, Fashion Show-nya?" Saya mencoba membuka obrolan.

"Seru banget. Bisa jadi trendsetter buat fashion 2013, tuh" Pria itu menimpali. "Apalagi bisa ketemu desainer-desainernya"

"Iya, Saya suka sama show terakhir. Cutting-nya rapi dan pas banget. Agak Quirky memang, tapi mungkin itu yang bikin karya-karya si desainer berbeda. Hehe."

"Oh, yah?" Dia balik bertanya. Mungkin Saya tidak puas dengan reaksinya, Saya hanya mampu mengerutkan dahi dan alis. Baiklah, mungkin Saya yang salah menciptakan sebuah obrolan.

"Kalau soal hoolahop-bag nya Chanel?. Sumpah, itu diluar ekspektasi banget. Karl Lagerfeld emang jenius dan enggak main-main buat ngebikin suatu karya," Dengan susah payah, Saya akhirnya mencetuskan sebuah obrolan yang lebih umum. Iya, sebuah obrolan umum yang sudah kerap sekali dibahas di majalah-majalah fashion kala itu.

"Oh, yah?" Jawabnya pendek. Entahlah, apakah itu sebuah jawaban, ataukah balik bertanya. Saat itu dia tak memandang wajah Saya, kedua matanya hanya menelanjangi smartphone di genggamannya.

"Eh, ZARA lagi diskon gede-gede'an, lho. Gila banget, nih. Sumpah, apalagi Guess juga bikin diskon gede-gede'an. Bisa shopping gila-gila'an nih.." Beberapa detik kemudian, tanpa di duga Pria didepan Saya itu meletup seketika dalam keheningan yang tercipta sebelumnya. Saya terlonjak dalam hati.

Dan kali ini, mungkin benar-benar giliran Saya yang mengatakan ucapan tersebut...

"Oh, yah?" Ujar Saya setelah itu. Demikian, kata terakhir yang Saya ucapkan di pertemuan kami kala itu. Dengan perasaan sumringah juga, Saya mempersilahkan Pria tersebut ketika Dia berpamitan untuk segera memborong di butik yang sedang mengadakan Sale gila-gila'an tersebut.

Sekitar dua jam kemudian, Saya masih terduduk di tempat Saya semula bertemu Pria itu. Dari kejauhan, Saya melihat dua sosok Pria Stylish sedang menggotong beberapa shopping bag dari label asal Spanyol dan Amerika yang membuka butik di mall itu. Entah apa saja isinya, yang bisa Saya lihat kedua Pria itu sama-sama Stylist. Sama-sama putih. Sama-sama proyeksi sempurna dari aktor-aktor Hollywod bertubuh "Oh, La..La..". Si Pria kedua bersama seorang kerabatnya.

---

Masih berbicara tentang si Pria kedua. Kala itu Saya dan seorang sahabat sedang pergi menonton. Sembari menunggu film diputar, kami berdua berjalan menuju salah satu departement store di mall tersebut.

"Hei!" Tiba-tiba saja sahabat Saya tersebut menyapa seseorang. Saya segera menoleh ke seseorang yang disapanya. Si Pria kedua dengan setelan baju kerjanya. Kebetulan, karena circle pergaulan di dunia ini makin sempit, sahabat Saya tersebut juga kenal dengan si Pria kedua.

"Berdua aja?" Tanya balik si Pria kedua. "Mau ngapain?"

"Iya, ini mau nonton" Jawab sahabat Saya.

"Wah..nonton apa?. Star trek?" Si Pria kedua.

"Nonton Gatsby" Lagi-lagi sahabat Saya kembali menjawabnya. Saya memang sengaja mengunci mulut.

"Itu film tentang apa, sih?" Si Pria kedua kembali mencanangkan atas rasa ingin tahunya.

"Film tentang...." Sahabat saya didera skeptis seketika atas pertanyaan tersebut. Dia melirik ke Saya.

"Yah, film tentang gitu, deh. Hehe." Dengan terpaksa Saya menjebol gembok yang telah Saya kunci di mulut sendiri.

Sepulang dari nonton. Saya masih dalam keadaan Euphoria atas film tersebut. Keisengan Saya mencuat yang pada akhirnya membuat Saya kembali pada kebiasaan. Mengapresiasi apapun yang habis Saya lihat. Apresiasi Saya jatuh pada Carey Mulligan yang mengambil peran menjadi peran utama di film tersebut. Saya kurang puas dengan perannya sebagai Daisy Buchanan.

Bias tipis antara perasaan apresiasi dan terkekeh lantaran si Pria Perfect kedua. Saya menguploadnya di social media bersamaan dengan cover sebuah majalah fashion yang memperlihatkan sosok Carrey Mulligan berdandan ala Daisy untuk ajang publikasi film tersebut. Si Pria kedua juga berada dalam list teman Saya. Rasa ingin tahunya akan film ini mungkin sudah terbayar. Zaman sekarang, bukankah mencari apapun lebih mudah melalui Internet.

Dan kemudian, Si Pria kedua itu ditembak mati serupa Jay Gatsby di akhir cerita. Setidaknya, dia ditembak mati dengan terpaksa dari pikiran Saya...

***

Si Pria ketiga. Ini cerita Sahabat Saya, dia sedang terlibat pergulatan batin dengan sahabat (lama)-nya. Singkat cerita-nya, sahabat dari sahabat Saya tersebut baru saja terbebas dari kungkungan masa lalu yang menurut dia menyebalkan dan menghambat hidupnya?. Setelah terbebas, lalu mampu meng-aktualisasikan diri sendiri hingga pada akhirnya mendapat pengakuan positif yang bertubi-tubi dari sosial, sahabat dari sahabat Saya tersebut mirip sekali dengan balita yang baru pertama kali dilepas orangtuanya lantaran sudah piawai berjalan. Balas dendam-nya akan masa lalu satu persatu dia lancarkan dan untungnya berhasil, tanpa Saya pernah tahu bagaiaman cara dia melancarkan serangannya tersebut.

Keterlalu bebasannya akan keberhasilan meraih apa yang tak bisa ia raih di masa lalu, jatuh pada satu titik dimana tingkah dan obrolannya kepada sahabat Saya sedikit berbeda dari yang dulu. Sahabat Saya yang memang orangnya sedikit iseng, menerima perlakuan sedikit berbedanya tersebut dengan lapang dada. Malahan sahabat Saya tersebut kerap membuat obrolan tentang seks dan pergumulan dengan sahabatnya itu setelah kejadian itu. Hingga waktu berjalan, sahabat dari sahabat Saya tersebut sampai mengalami pergumulam seks dengan sahabat Saya di mimpi. Bias sekali, antara nafsu dan perasaan sayang.

Dibalik T-Shirt tanpa lengan berwarna maroon yang menyembulkan otot-otot di lengannya, si Pria ketiga ini masih sibuk dengan kegiatan-kegiatan aktualisasi untuk dirinya sendiri yang kerap ia bagikan ke social media. Sahabat Saya ini untung kepribadiannya santai, meskipun masih di dera pergumulatam batin antara hanya nafsu ataukah benar-benar sayang, dia masih setia mendengar setiap keluh kesah sahabatnya tersebut.

"Saya enggak pernah habis pikir deh, sama sahabat Saya itu" Ujar sahabat Saya saat kami bertemu dan mengobrol tentang sahabatnya itu.

"Lah, kenapa?. Dia khan Mr. perfect. Haha" Saya terkekeh.

"Enggak habis pikir, aja. Dulu pas masih belum sekeren sekarang, suka ngedumel soal hubungannya dia yang sering banget dikecewain," Beber sahabat Saya. "Nah, sekarang, udah suka ganti-ganti pasangan seks yang kebanyakan dengan sesama Mr. perfect juga, dia masih aja ngedumel. Katanya capek lama-lama ngeseks mulu."

"Lhoh, dengan bentukannya yang udah perfect sekarang. Dia masih suka dikecewain toh?" Saya balik bertanya.

"Ya, enggak bisa dibilang gitu juga. Menurut Saya dan menurut cerita dari dia justru malah banyak yang dateng buat berusaha deket sama dia," Sambung sahabat Saya itu lagi.

"Terus kenapa dia masih aja ngedumel?. Kok udah perfect masih aja aneh gitu, toh?" Saya.

"Masalahnya itu. Dari banyakanya orang yang dateng buat berusaha deket sama dia, kebanyakan cuman minta seks. Ada sih, sebagian yang ngasih cinta. Tapi dia enggak mau. Katanya kurang perfect. Haha," Tawa sahabat Saya tersebut meledak. Saya menyambung tawanya kemudian. Di pertemuan Saya dengan Sahabat Saya itu, Saya memasukkan sahabat-nya dalam list si Pria ketiga.

Dada bubye, Pria Ketiga.

***

Saya sudah malas mengumpulkan berjuta-juta. Toh, bukankah dari ketiganya sudah mampu menyimpulkan berjuta-juta Pria dengan T-Shirt berwarna yang menyembulkan otot lengan mereka? (Silahkan cek dan berhitunglah, pasti kesepuluh jari kita masih kurang untuk menghitung pria-pria ini). Atau bisa juga karena rasa malas Saya untuk mengumpulkan berjuta-juta, justru sebenarnya masih ada pria yang tak terjamah dengan patriarki dan hegemoni diluar tiga orang tersebut?. Entahlah, bisa jadi mungkin ada.

Saya dan sahabat Saya sengaja menamai mereka Mr. Perfect. Bayangkan, massa komersial pasti mampu melihatnya sebagai tatanan yang sempurna. Dan Saya juga mengamini hal tersebut, karena memang yang mereka lakukan tidak salah. Ditilik dari segu Budaya, mungkin zaman sekarang memang lagi heboh-hebohnya budaya kebarat-kebarat'an. Dan Saya juga melihat hal ini bukan hal yang sepenuhnya salah, karena Saya sendiri juga memuja budaya barat. Dengan senantiasa berjelaga di modernitas, dan seiring semakin berkurangnya keekslusifan di dunia ini (yah, bisa jadi ini juga efek dari budaya kebarat-baratan tersebut) para Pria semakin berlomba-lomba untuk mendapatkan perawakan bak artis-artis barat. Didukung dengan hierarki bahwa status Pria lebih tinggi daripada wanita, maka semakin riuh pula pertandingan ini. Tapi, karena semakin berkurangnya keesklusifan yang didukung dengan semakin naik menjamurnya pusat-pusat kebugaran dengan harga terjangkau, mungkin sirkulasinya menjadi tidak terkondisikan. Pria-pria itu bagai militan dengan seragam yang sama tanpa beda dan cela, menghambut maju untuk mendapatkan apa yang mereka cari. Dan lagi-lagi itu memang tidak salah.

Sampai tulisan ini Saya tulis, masih ada satu pertanyaan mengganjal di benak Saya. Apa sih kira-kira yang mereka inginkan?, bukankah mereka sudah perfect?. Yah, dibalik pertanyaan itu, sebenarnya Saya kurang setuju dengan konseptual perfect pada manusia. Apa pertanyaan itu muncul lantaran saya terlalu kritis dan terlalu meng-apresiasi segala hal?. Atau, pertanyaan itu muncul karena mungkin Saya pernah ditolak salah satu Pria tersebut?. Atau mungkin, sebenarnya pertanyaan itu misteri yang bukan teka teki, sehingga tak perlu dicari jawabannya?. Entahlah, segala kemungkinan bisa terjadi. Yang terpenting, Saya sudah terlalu capek jika harus menemui berjuta-juta Pria itu lagi.

*Tulisan ini bukan sebagai ajang Saya men-Judge secara sembarangan akan suatu hal. Hanya sekedar menyalurkan hobi baru Saya untuk mencoba sedikit bersikap kritis akan suatu hal, namun sambil tetap berada dalam lingkup kehidupan (hal) tersebut dan menikmatinya.