Langit memuntahkan titik-titik
air. Membuatnya bersentuhan langsung dengan permukaan bumi yang ku pijak. Aku
menebak-nebak dalam hati, mereka pasti adalah dua sosok yang sedang jatuh cinta
yang juga saling mencinta. Air yang jatuh membuat sebuah genangan pada bumi
yang mereka pijak. Bumi yang dijadikan tempat pijakan dengan setia dan membuka
lebar-lebar bagian tubuh mereka untuk disinggahi air yang mulai deras
menghujani bumi tanpa ampun. Bumi seakan tak pernah marah tertusuk duri-duri
tajam air yang jatuh menyerupai jarum panjang yang siap menusuknya dengan penuh
kasih. Tentunya penuh kasih, karena bumi tak pernah merasa marah dan kesakitan
karenanya. Malahan mereka terlihat sedang asyik berkolaborasi membentuk sebuah
drama dan tarian penuh cinta di bawah hujan deras. Sungguh romantis. Membuatku
miris. Teriris. Mengingatkan akan sebuah cinta yang terjadi padaku. Yang tak
pernah bisa disamakan dengan kisah cinta tak nyata mereka berdua. Cintaku lebih
nyata, namun tak bisa kuraih bahagia seperti cinta tak nyata bumi dan air
hujan. Yang kurasa hanyalah kesedihan, keterpurukan, harapan-harapan palsu yang
berlebihan.
Aku terduduk diam berlatar drama
dan tarian cinta dibawah hujan. Hanya terdiam. Hanya melihat mereka sedang
asyik bergumul. Terduduk pada sebuah tempat untuk menunggu serupa halte bis.
Berpayung sebuah besi yang dirangkai bersama seng berlipit bagai tekstur
makanan ringan yang terbuat dari kentang. Dua benda itu berkolaborasi
melindungi siapa saja yang sedang menunggu di tempat yang sama seperti diriku
yang tak menahu menunggu apa. Aku tak mau menyebut diriku menunggu cinta.
Karena cinta, yang kutahu justru membuatu menjadi manusia yang lemah.
Menyedihkan. Aku benci cinta. Namun, aku juga menginginkkanya hingga membuatku
terduduk diam disini.
Aku tak akan pernah mengingkari diriku sendiri jika aku masih mengharapkan
dirimu datang kembali. Namun, aku juga tak mengingkari aku akan menerima sosok
lain yang muncul disini-yang sesuai dengan apa yang aku inginkan ketika aku
menunggu di tempat ini. Di tempat aku menunggu di bawah hujan yang menggila.
Hujan menggila yang merupakan episode demi episode drama dan tarian
persetubuhan cinta air dan bumi.
Sudah berjam-jam aku terdiam di tempat yang sama. Aku sudah lupa berapa
jam aku duduk disini. Jadi, alangkah lebih baik jika aku menyebutnya berjam-jam
saja. Aku akan bercerita, sudah beberapa sosok yang datang menghampiriku.
Beberapa yang kumaksud juga memiliki nasib pengertian yang sama dengan
berjam-jam yang aku bilang barusan. Aku tak bisa menemukan apapun dari sosok
mereka yang menemukan keberadaanku berlindung
di bawah hujan di tempat ini. Mungkin sebenarnya mereka memilikinya.
Dengan kadar yang berbeda-beda. Dengan
bentuk yang berbeda-beda pula. Perbedaan itu seharusnya merupakan sebuah keunikan.
Namun keunikan dari perbedaan itu tak ada satupun yang mampu menggetarkan.
Aku mulai sedikit latah mengikuti apa yang dilakukan oleh awan. Awan
menjatuhkan air ke bumi. Awan yang kupunya menjatuhkan air mata. Tak
terbendung. Aku begitu kesal. Aku begitu lelah. Aku begitu marah. Aku begitu
terpuruk. Tubuhku lemas. Angin sudah terlalu banyak meraja merasuki ragaku.
Salahku sendiri memakai baju berbahan kain sheer
saat hujan lebat seperti ini. Semua hal terjadi tanpa bantuan akal pikirku, hanya demi sebuah kata
yang aku lakukan, menunggu. Menunggu sesuatu yang entahlah, kini aku tak bisa
mengidentifikasi aku sedang menunggu apa. Badanku semakin lemas. Terjerembab
dalam sebuah kepiluan yang begitu menggila. Lemas, hingga aku tak kuat menahan
tubuhku sendiri. Bersujud sambil berusaha untuk berdiri di tempat yang masih
sama. Aku menyerah. Badanku sudah menolak untuk diajak menunggu. Dengan susah
payah aku berusaha berdiri dari badanku yang semakin lama semakin lemah. Aku
berusaha meyakinkan diriku agar aku kuat untuk berdiri. Berjalan pelan dengan
bertumpu memegang tiang yang tepahat di
tempatku menunggu. Aku sudah akan meninggalkan tempat ini. Aku sudah lelah.
Bahkan, kau sendiri pun tak muncul di hadapanku.
Sebuah cahaya berpendar dari belakang tempatku berdiri yang sudah
bersiap meninggalkan tempat ini. Aku tak akan menoleh, mengintipnya tidak akan
pernah sudi aku lakukan. Tahukah, kalau aku sudah lelah?. Biarkan saja cahaya
itu yang menepuk pundak-ku. Biarkan saja cahaya itu yang menyapaku. Cahaya yang
datang bersamaan dengan kepuasan orgasme persetubuhan air hujan dan bumi,
Matahari terbit dengan terang seterang cahaya itu. Biarkan saja cahaya itu yang
memberikan cinta. Karena lebih baik cinta itu tidak untuk ditunggu. Cinta bukan
bis yang kita tunggu untuk mengantar kita ke suatu tempat. Cintu itu apa ?. DAMN. FUCK. Suci.
This short-story inspired by this video..
Rainy Day - Ayumi Hamasaki
Tidak ada komentar:
Posting Komentar