CLICK HERE FOR FREE BLOGGER TEMPLATES, LINK BUTTONS AND MORE! »

Minggu, 18 Agustus 2013

Dongeng dari Ketinggian 23.000 kaki dari Permukaan Air Laut

  Dini hari menjelang makan sahur, saya kedapatan berdialog dengan seorang asing melalui Skype. Seorang pria, kemungkinan dari negara istana-sentris, berperawakan klimis-rapi, nada bicaranya lembut tapi penuh dengan kuasa. Orang itu menginap pada sebuah hotel dengan lima bintang sebagai tingkatan prestisiusnya.
  “Banyak duit itu enggak boleh sombong. Nanti cepat miskin,” dengan sangat santai pria itu berujar, nadanya masih penuh kuasa.
  “Memang, sombong di mata kamu seperti apa?” saya penasaran.
  “Yah…sombong itu suka belanja barang-barang branded, makan di restoran super mahal, pokoknya yang mewah-mewah,” Ia menjelaskan.
  “Oh, berarti orang kaya itu sombong-sombong, ya?. Mereka bakalan cepat miskin juga?” saya.
  “Maksdunya?”
  “Ya, orang kaya khan suka belanja barang-barang branded, makan di restoran super mahal, pokoknya yang mewah-mewah gitu,” saya menjelaskan.
  “Yah…” ucapan pria itu mengambang mencari alasan. “Ya, pokoknya saya bukan sombong,” dia terdiam. Skak mat. Apalagi saya?.
---
  Bel kamarnya berbunyi, terdengar menembus dari celah speaker laptop saya.
  “Sebentar, room service lagi nganter makan sahut. Wait…,” Ia beranjak menghampiri sumber suara. Saya diam. Lalu terdengar dialog-dialog kecil antara si pria dan room service.
  “Sorry lama. Saya lupa nyimpan uang rupiah di dompet. Jadi, saya kasih uang dollar ke room service.”
  “Hah?” saya tertegun.
  “Iya, saya hampir enggak pernah nyimpan uang rupiah di dompet. Dollar semua. Rupiah cuman ada di ATM,” Ia terkekeh.
  Saya mengangguk perlahan. Memandang kosong ke arah monitor laptop. Untungnya segera dipecah oleh jam penunjuk di angka 03.00.
  “Mas, saya makan sahur dulu, ya. Takut enggak keburu. Thank you,” tentu saja hanya sebuah alasan saya untuk kabur. Kabur dari entah apa-apa saja celotehan pria itu yang penuh dengan nada kekuasaan.

***
  Saya mengetahui kalau dia bernama Sandi. Awalnya, saya mengira Pria itu adalah proyeksi realistis dari Sandi Yuda, tokoh sang “Iblis” dari roman-serial Bilangan Fu yang ditulis Ayu Utami. Pria sipil-militer yang selalu haus dan rindu akan sebuah kekuasaan, yang seakan masih menyebar luaskan isu patriarkal dalam kelembutan nada bicaranya. Dia mungkin sama seperti Pria pada umumnya, persetubuhan hanyalah serupa perkara melepas syahwat tanpa tendensi apapun. Selesai.
  Benar saja saya datang menuju istananya, undangan secara tiba-tiba beberapa hari kemudian, serupa undangan Jay Gatsby untuk Daisy Buchanan seorang perempuan yang telah lama dirindu dan tak mampu disentuhnya. Dibalik baju lengan panjang kotak-kotak berbahan kain flannel, saya sebenarnya menyimpan gemerincing perasaan was-was yang tak berani sepenuhnya saya yakini. Menebas petang, istananya serupa dengan istana negara yang dijaga dan dikawal ketat oleh pria-pria bertubuh besar dengan busana yang seragam berwarna gelap. Atribut lengkap pertahanan itu didukung sekali dengan pemikiran khas sipil-militer yang begitu tergila-gila akan hierarki (dalam cerita ini lebih menjurus kepada hierarki status sosial). Sebuah pemikiran yang mengkategorikan jenis-jenis manusia menjadi beberapa tingkatan, yang kemudian dengan begitu saja dan mudahnya tingkatan itu berpengaruh kepada kepribadian manusia yang seakan menihilkan beberapa konsep dan teori psikologi tentang perilaku manusia. Buat saya, sejujurnya ini sedikit tidak adil, tapi karena doktrin ini sudah mengakar dari zaman sebelum saya lahir, rasa tidak adil itu lebih baik saya simpan sendiri. Toh, saya bukan bercita-cita sebagai manusia yang ingin menciptakan sebuah revolusi. Contoh kasus nyata saat saya mendatangi istananya, pria-pria bertubuh besar itu terbilang seperti memperlakukan saya sebagai tertuduh yang wajib untuk di interogasi, lantaran saya kesana dengan menaiki sebuah motor. Tapi, lagi-lagi toh saya juga bisa berbuat apa lagi. Saya meladeni apa-apa saja yang diinginkan pria-pria itu. Kata seorang teman yang pernah berkunjung ke beberapa negara, miris dan sedihnya hidup di Indonesia itu ketika menghadapi kejadian seperti ini. Hierarki status sosial yang begitu gamang, dan meninggalkan sebuah kelapangan hati karena bukan terlahir sebagai seorang revolusioner.
  Kamarnya terbuka, dan saya memasuki kamar pribadinya di lantai lima. Ada dua single bed terdiam disana. Ranjang yang satu sudah begitu keruh dan kentara lipatan-lipatan kainnya. Sementara ranjang disampingnya (yang hanya dipisahkan beberapa langkah dari ranjang yang keruh) masih begitu rapi dengan sprei dan selimut putih yang tak terjamah. Dia menawarkan minum, saya hanya menjawab dengan sesegera mungkin memasrahkan badan di pinggir tempat tidur yang belum terjamah itu. Kesan pertama saya akan tokoh Sandi Yuda sang “Iblis” perlahan luntur sedikit demi sedikit dimulai detik itu. Barangkali dia memang seorang Iblis, tapi wujud di depan saya itu adalah realisasi dari seorang Iblis yang kehilangan jiwa, atau mungkin seorang Iblis yang kehilangan sayap keiblisannya hingga dia tak mampu lagi terbang kemanapun ia inginkan. Jangan membayangkan Iblis yang memiliki wajah menyeramkan, Pria di depan saya ini justru berkebalikan sekali dengan perjumpaan pertama kami di layar monitor laptop yang terhubung melalui teknologi Skype. Saya tak menjumpai sisi kekuasaan yang begitu hebat seperti yang ia lontarkan beberapa hari lalu di Skype, padahal sejujurnya saya begitu menunggu cercahan-cercahan renyah itu segera disembulkan. Pertemuan di istananya malam itu sangat begitu kontradiktif, dia seperti memutar balikan sebuah isu materialistis yang kemarin sangat begitu disanjung dalam balutan nada bicaranya yang lembut penuh kuasa. Malam itu dia memutarnya dengan cercahan isu materialistis dari segi fungsionalitas dan timbal balik yang ia terima dari massa. Nada bicara yang lembut dan masih sedikit terdengar berkuasa, namun dengan taburan rasa menyesal yang kadarnya hanya setetes. Saya mendengar tiap ucapannya ketika dia bercerita tentang hidupnya yang begitu bertahtakan istanasentris, yang secara tidak langsung keuntungan dari fungsi material-nya yang begitu membludak, mendapatkan timbal balik dan respon positif dari massa. Tapi, dia juga menambahkan bahwa respon positif itu adalah serupa dengan topeng belaka. “Sebelumnya mereka sok-sok jual mahal. Tapi begitu ketemu, dan saya ajak kerumah, mereka bisa secepat itu berubah menjadi manis dan seperti begitu ingin memiliki saya ketika pertemuan di rumah usai. Saya tidak pernah tahu,” ucapnya.
  Saya mengangguk perlahan, menelanjangi setiap gerak-geriknya, dan yang saya temui, dia tak pernah bisa saling bertatap mata dalam waktu yang lama. Iblis itu terlihat begitu kesepian, entah karena ada sesuatu yang membatasi pada dirinya. Hingga akhirnya, saya merasa ada kemiripan dengan dirinya dalam perkara sisi buruk yang mengerat pada diri masing-masing. Kami berdua mempunyai sisi buruk tak ingin dimiliki oleh siapapun, yang dibalik sisi itu, kami juga menyimpan sebuah sisi dimana kami juga menginginkan perasaan untuk dimiliki oleh sosok yang begitu sangat di rindu. Tapi, yang membedakan kami adalah alasan dibalik sisi buruk itu. Dia bisa saja tak ingin dimiliki karena dirinya sendiri tak bisa bebas, sementara alasan saya adalah perkara asas ketidakpercayaan penuh kepada sosok lain selain diri saya sendiri. Entah kenapa, perlahan saya begitu merasa miris melihat sosok yang terduduk di ranjang yang terletak disamping ranjang tempat dimana saya mulai merebahkan tubuh.
  Dini hari semakin meninggi, dan kebekuan seakan mulai menggantikan dingin yang begitu terjejal pada lapisan kulit terluar. Malam itu, saya seperti memiliki dua peran. Berperan yang sejati-jatinya sebagai bentuk nyata seperti Daisy Buchanan yang dengan begitu lapang menerima kebaikan-kebaikan seorang Jay Gatsby, dan dibalik itu, saya seperti berperan sebagai Holly Golightly yang tak pernah mengenal perasaan dan hanya memikirkan kesenangan saja. Dia meminta saya merebahkan kepala di salah satu pahanya, sembari kami berbagi menyeruput satu batang rokok yang asapnya seakan menghapuskan segala yang beku di ruangan itu. Pada satu titik, saya menyadari matanya menelisik rupa yang saya miliki. Begitu menyadarinya, saya segera membalas menelanjangi balik kedua matanya. “What are you looking for?” bibirnya berucap setelah asap ia hembuskan keluar, kedua matanya sesegera mungkin beranjak menelanjangi rupa saya. Dan dimulai detik itu juga, seketika saya seperti memasuki lorong kesedihan, kesepian, dan kerahasiaan melalui kedua mata yang ia miliki sebagai pintu masuknya. Saya menjadi sedikit berfikir, Tuhan mungkin saja menciptakan kedua mata sebagai simbol signasi atas rahasia yang disimpan dari tiap manusia yang ia cipta.
  Dia memasrahkan satu nampan makanan lengkap untuk sahurnya kepada saya, Pria itu hanya menyentuh buah-buahan yang dipotong kecil lalu disejajarkan dan ditusukkan pada batang lidi. Dua biji sate buah. Kemudian dia begitu piawai menghidangkan secangkir English Tea pada jam yang salah untuk saya. Tubuhnya sedikit lebih rileks jika dibandingkan detik-detik pertama bertemu tadi. Namun, saya masih menangkap sedikit tingkah was-was yang sebenarnya sangat begitu ingin ia sembunyikan kepada saya. Bisa jadi, malam itu sebenarnya sebuah malam yang cukup indah. Tapi, begitu pulang pikiran saya masih berputar-putar pada sosoknya yang begitu misterius. Sosok misterius yang tak bisa saya lihat dari bentuk luar Pria itu saja. Sosok misterius yang bisa ditangkap ketika mampu menerobos masuk kedalam lorong dengan kedua mata pria itu sebagai pintu masuknya. Dan setelah semuanya usai, beberapa hari kemudian saya seperti bertransformasi menjadi detektif.
***
  Di usia 24 tahun, saya masih berpendapat bahwa cerita-cerita dongeng putri dan raja yang dibuat Disney itu begitu manis, jujur, dan memang sedikit naïf. Dan sang Iblis itu, dengan usia tiga sampai empat hari setelah pertemuan, seperti terkelupas bagian kecil dari misteri dan rahasia yang ia simpan. Mungkin, karena saya pribadi adalah orang yang serba penasaran dan sedikit kurang lebih gemar mengkritisi segala sesuatu yang terjadi, saya menemukan sedikit keterungkapan bahwa sang Iblis adalah memang sosok pangeran sejati-jatinya.  Namun, sosoknya adalan pangeran di zaman post-modern. Yang dimana sosok pangeran dan putri itu sendiri bersifat universal dan dikompetisikan bagi siapa saja yang benar-benar yakin akan potensi diri yang mereka miliki. Sang “Iblis” memegang tahta kerajaan di daerahnya empat tahun yang lalu. Bibir menyunggingnya sangat kentara saat memegang tahta kerajaan, tapi kedua matanya masih tak beranjak dari sebuah perasaan yang ia sebut sebagai rahasia dan misteri. Masa jabatan-nya hanya berusia satu tahun, lalu dia terbang mengepakkan sayapnya ke awan-awan. Mungkin saja, masa-masa itu sayap Iblis-nya masih mampu bergerak dengan lincah ke arah yang begitu ia inginkan. Perlahan, lorong gelap dari kedua matanya yang pernah saya lihat mulai menampakkan sedikit demi sedikit cahaya dari atas bagai cahaya surgawi. Saya menemukan sosok perempuan renta dengan jilbab yang tergantung di kepalanya. Wajahnya begitu teduh, kerut-kerut di mukanya seakan menyembulkan perasaan sabar yang telah ia tempa selama bertahun-tahun. Perasaan miris saya menjadi semakin ganda. Bayangan-bayangan istanasentris yang sang “Iblis” cipta seakan hancur lebur. Hanya menyisakan sedikit keping-keping sejati yang merupakan bagian-bagian dari potensi dirinya yang membuahkan hasil.
  Ada sebuah premis yang diambil dari sebuah teori yang berkata bahwa manusia itu makhluk ciptaan yang paling sempurna. Disisi lain, ada juga sebuah premis yang berkata bahwa tidak ada manusia yang sempurna. Lalu, jika diambil kesimpulan kedua premis itu dengan memakai teori logika Alex Lanur, tentu saja antara kedua premis tersebut tak akan bisa menghasilkan sebuah kesimpulan yang logis. Keduanya begitu kontradiktif. Mungkin, bisa jadi saya menganggap yang logis adalah Manusia itu kompleks. Kajian tentang manusia membuat saya bersifat universal, meskipun moral, material, spiritual, dan prinsip hidup selalu tak bisa lepas dan akan selalu mengikuti di belakangnya.
  Pada akhirnya, saya tak ingin menghakimi sang “Iblis” dengan semena-mena. Bisa jadi, pria itu punya alasan tersendiri untuk menyembulkan cerita-cerita tentang megahnya hidup di ranah istana-sentris. Yang justru pada realitasnya, dia memang dalam tahta istanasentris yang megah, namun kemegahan itu seperti mengurungnya dalam ketidak bebasan meskipun pria itu masih bisa terbang dengan bebas, namun tidak sesuai dengan tujuan untuk terbang seperti yang ia inginkan. Sang pangeran Iblis, kini telah menjelma dengan setelan jasnya yang begitu rapi, potongan rambut klimis rapi yang sempurna, sepatu pantofel berwarna hitam mengkilat. Sejati-jatinya tokoh Jay Gatsby, yang misterius dan ternyata menyimpan sebuah lorong hitam yang menjadikan kedua matanya sebagai pintu masuk menuju ruang rahasianya. Malam hingga dini hari itu sejujurnya memang seperti mimpi, barangkali itu sudah menjadi kelebihan sang Iblis. Pria itu sudah sangat terlalu piawai menerbangkan dan melayani para penumpang meletup bebas di ketinggian 23.000 kaki dari permukaan air laut.

***