CLICK HERE FOR FREE BLOGGER TEMPLATES, LINK BUTTONS AND MORE! »

Rabu, 24 November 2010

Ta.Ku.Mi

Takumi.
Aku.
Seorang anjing kecil berwarna coklat. Aku dulu ditemukan Papa-ku diantara tumpukan variasi anjing-anjing lain. Akhirnya aku dinamai Takumi. Dia berharap aku anjing yang pintar dan cerdas.

Aku menemani hari-hari Papaku yang kebanyakan melakukan apapun dengan dirinya sendiri. Aku disambut-nya hanya ketika Papa akan tidur atau ketika dia hanya berbaring ditempat tidur. Yah, hanya tempat tidur yang menjembatani antara aku dan Papa.

Ketika 3 kali sudah aku merasakan siklus musim yang sama. Aku akhirnya ditemukan dengan Mama. Papa sendiri yang membawa-nya untuk-ku. Aku hanya bisa menyambut Papa Mama ketika mereka berbaring di tempat tidur. Mama suka sekali memeluk-ku. Yah, hanya tempat tidur yang menjembatani antara aku dan Papa dan Mama.

4 musim yang sama berlalu. Aku tak pernah tahu apalagi membayangkan Papa akan pergi. Kala itu dia benar-benar pergi, katanya untuk sementara dan berjanji tak akan meninggalkan aku.Memang benar janjinya ditepati.

Tetapi suatu ketika..
Ketika di perjalanan terakhir musim gugur datang.

Aku melihat Mama terisak tiap malam. Dia selalu melihat-ku ketika matanya mulai berair. Dan waktu itu yang bisa menjembatani aku dengan Mama hanya airmata-nya saja. Papa sudah mengingkari janji-nya untuk tidak meninggalkan aku.

Waktu itu Mama membawa-ku pergi. Kesebuah tempat penuh gedung-gedung tinggi. Disana Mama menemukan-ku dengan Papa, yang sulit kami cari keberadaannya karena tertutup oleh banyak-nya gedung-gedung tinggi itu. Papa memeluk-ku lagi diantara gedung-gedung tinggi itu. Dan aku tak bisa menerka lagi jembatan apa yang bisa menjembatani aku dengan Papa.

Saat ini
Aku mengalami hal awal yang terjadi padaku ketika baru menemukan orang tuaku. Aku menemani hari-hari Mama yang saat ini kebanyakan melakukan apapun dengan dirinya sendiri. Dan aku sudah benar-benar tak bisa menerka jembatan apa lagi yang bisa menjembatani aku dengan Mama.

Ini mungkin alasan Tuhan menciptakan aku dengan wajah yang murung dan memelas
Ini mungkin alasan Tuhan menciptakan aku dari kumpulan kapas bukan daging
Ini mungkin alasan Tuhan menciptakan aku hanya sebagai simbolisasi...

Selasa, 23 November 2010

Short Story : Gee... (Part Quatre)

Menjelang malam, Taxi membawaku pulang ke rumah. Di teras depan rumah, banyak mobil berjajar seperti biasa. Rupa-rupanya ini waktunya Papa, Mama, dan teman-teman-nya berkumpul tiap minggu-nya. Entah mereka sudah membuat kesepakatan atau tidak sebelumnya. Ketika mereka berkumpul, mereka serasa menjadi satu dengan rumah-ku. Pakaian-Pakaian yang mereka kenakan berwarna merah terang senada dengan wallpapaer merah di dinding rumah. Entah itu berupa Dress, Cocktail Dress, Kemeja panjang maupun pendek, Jas atau-pun blazer, semua-nya melebur menjadi satu dalam warna merah menyala. Aku segera turun dari Taxi dan memasuki rumah merah-ku. Mereka berkumpul di ruang tamu, sedang berbincang sesuatu, jumlah-nya sepertinya bertambah, dan ada seorang pria berambut botak satu senti melihat kedatangan-ku dari kerumunan itu. Aku segera menuju ke kamarku di lantai atas, ingin segera membasuh badanku.
Aku segera menyalakan kran air untuk memenuhi bathtub berwarna putih berbentuk segitiga. Berbaring sebentar di tempat tidur sembari menunggu air-nya penuh.
"Tok! Tok! Tok!"Pintu kamar-ku bersuara. Ada yang mengetuk-nya dari luar. Aku beranjak sejenak dari tempat tidur. Dan segera menyambut orang dibalik pintu kamar-ku.
"Nak.."Sapa Mama dari balik pintu ketika aku membuka-nya.
"Iya, Ma. Ada apa?. Gee baru pulang. Capek. Mau mandi. Istirahat"Jawabku.
"Ada yang ingin berkenalan dengan-mu, Nak"Dan tangan Mama segera mempersilahkan seorang lelaki disebelah-nya untuk menampilkan jati dirinya. Dia Pria berambut botak satu centi yang pandangan-nya menyambut-ku dirumah. Tak segan dia segera mengulurkan tangan dibalik Vest Tartan warna merah yang menutupi kemeja warna hitam dibagian dada-nya..
"Helios. You can call my name as you want"Ujar-nya memperkenalkan diri.
"Gee. You just call me Gee"Balasku memperkenalkan diri. Menyambut uluran tangan-nya yang besar kekar sebesar badan besar kekar Pria di hadapan-ku ini.
"Biasanya dia dipanggil Leo"Sahut Mama seketika. "Ya sudah kamu mandi yah. Acara dibawah sudah mau dimulai. Selamat Istirahat, Nak"
Mama beranjak dan diikuti si Pria berambut botak satu senti di sebelahnya. Dia sempat melambaikan tangan dan tersenyum simpul kepadaku sebelum mengikuti Mama turun kebawah.
Aku segera menutup kembali pintu kamarku. Menuju kamar mandi. Dan bathtub-ku sudah penuh dengan cairan berwarna hitam. Aku melepas baju-ku dan segera menenggelamkan tubuhku di cairan hitam hangat itu. Kupejamkan mataku sejenak, untuk sekedar merasakan perginya kelelahan yang sejenak pula.
--
Saat itu aku berada di sebuah ruangan yang cukup luas. Berbentuk segitiga jika dilihat dari pandangan mata burung. Berwallpaper campuran warna merah dan hitam. Di tengah ruangan ada tiga tempat tidur yang terbuat dari batu. Di tempat tidur batu sisi sebelah kiri tertidur sesosok anak kecil laki-laki. Mata-nya ditutup kain berwarna hitam. Seluruh badan-nya dililit kabel dengan rapat. Dan banyak kabel-kabel menempel di tubuhnya. Sementara di tempat tidur sisi sebelah kanan dengan kondisi yang sama aku bisa melihat seorang gadis kecil sedang terbaring. Kedua-nya sudah tak sadar. Sementara di tempat tidur batu di antara dua tempat tidur yang lain. Terbaring sesosok robot berwarna emas. Di dadanya terukir sketsa bintang terbalik, dengan sisi tajam bukan di atas tapi dibawah. Ditengah-tengah sketsa bintang terbalik itu juga terdapat sketsa kepala rusa jantan persis seperti jendela kaca besar di ruang utama rumah-ku. Semua kabel-kabel yang menempel pada kedua bocah itu terpusat disini. Disisi bagian bawah tempat tidur batu bagian tengah terdapat beberapa kotak komponen mesin rumit. Dan belum sempat aku menyentuhnya tiba-tiba mesin itu menyala. Dan aku bisa melihat sedikit demi sedikit robot ditengah mulai berubah menjadi sesosok manusia. Entah kenapa tiba-tiba badanku terasa sakit luar biasa,perih, dan...
Aku berjingkat dari tempat tidur-ku. Mengatur nafasku. Keringatku bercucuran padahal mesin pendingin di kamar sudah aku atur di posisi suhu paling rendah. Aku beranjak dari tempat tidur-ku. Berjalan mendekati pintu kamar. Membuka-nya. Dan kemudian berjalan menyusuri lorong penuh lukisan klasik. Kulihat pintu menuju balkon terbuka. Dan aku melihat sesosok lelaki tinggi besar dari bayangan-nya di kaca. Aku melanjutkan langkah-ku turun ke bawah menuju dapur. Lampu dibawah masih menyala. Pintu utama masih terbuka dan di halaman rumah masih berjejer mobil-mobil yang sama seperti yang ku lihat tadi menjelang tiba dirumah. Dan segera ku ambil gelas, kutuang air hitam yang biasa-nya ku minum. Setelah itu aku kembali ke atas. Pintu menuju balkon masih terbuka. Dan aku sudah tak melihat bayangan pria tinggi besar dari jendela. Aku menuju keluar balkon untuk menjawab rasa penasaranku. Disana gelap, tak terlihat apa pun. Walaupun sinar bulan berusaha menyinari balkon. Aku berjalan ke tepi balkon. Memandang halamam rumah dari balkon memang cukup indah. Kudiam sejenak berusaha menenangkan pikiranku karena mimpi barusan. Menghirup napas dalam-dalam dan membuangnya.
"Hey.."Ada suara pria yang tiba-tiba menyapaku. Suara-nya serak berat. Dan sepertinya aku baru mengenal suara-nya hari ini.
"Hey juga. Siapa kamu ?"Jawabku tanpa menoleh ke seseorang yang menyapaku itu.
Dia segera mendekatiku. Berdiri di sampingku.
"Mau ?"Pria itu menawariku rokok. Aku mengambilnya satu.
"Tak menawariku benda untuk membakar-nya juga?"Dan dia mengeluarkan Zippo dari saku celananya. Menyalakannya. Dan mendekatkan api-nya ke ujung rokok yang sudah di mulutku."Makasih, Os.Tak apa khan ku memanggil-mu seperti itu?"
"Haha tak ingat-kah aku berkata apa saat berkenalan tadi?"
"Ya ya ya"
"Mau mencoba minuman-ku, Gee?"Helios mengangkat botol dengan label putih dari tangannya. Sudah tak asing lagi aku dengan minuman itu. Mama mengirimiku tiap bulan-nya.
"Eh..kau meminum-nya juga?"Tanya-ku.
"Iya, kenapa emang?"Pria itu malah menanyai-ku balik.
"Yah..baru kali ini ada orang lain selain aku meminumnya. Bolehlah"Aku menyodorkan gelas-ku yang sudah kosong dengan isi yang sama tadi-nya.
"Kutambahkan Wine di dalam-nya. Agar lebih gila. Haha"Helios menuangkan-nya pada gelasku.
"Segila apa memang?. Sudah cukup lama tak meminum minuman beginian. Rasanya saja mungkin sudah lupa"Aku mulai memiringkan gelas itu. Dan mengalirkan-nya ke tenggorakan-ku lewat mulut-ku."Apa bedanya yah?. Sepertinya sama seperti minuman yang biasa Mama kirim itu. Hanya memang ada sedikit sensasi anggur-nya"
Entah aku yang sudah lupa cara menikmati Wine atau apa. Aku memang sudah cukup lama tidak mengkonsumsi minuman seperti ini. Sudah cukup cerita lama. Sudah cukup lama aku meninggalkan dunia malam. Dengan sejuta kebingaran lampu-lampu-nya. Dengan sejuta kehebohan pesta-nya. Dan yang terbesit hanyalah. "Sampai sedetail ini-kah Ra merubah diriku?".
Aku dan Helios duduk bersila di tempat yang masih sama dengan tempat kita berdiri tadi. Kami belum beranjak. Sudah beberapa puntung rokok kami koleksi di lantai balkon.
"Kenapa kamu malah disini?.Bukannya ikut acara dibawah?.Itu rencana-mu datang kemari bukan?"
"Aku cuman mengantar orang tua-ku kemari. Bukan berarti aku harus ikut acara mereka juga bukan?".
"Yah, kukira kau bergabung. Habisnya kau berkostum berwarna senada dengan mereka".
"Memakai kostum berwarna senada juga bukan berarti harus ikut acara mereka juga bukan?".
"Yahh...by the way that's Vivienne Westwood Vest looks good to you".
"Makasih, Gee".
"Bisa menuangkan minuman itu lagi untuk-ku?"
"Sure"Dan segera dituangkannya isi botol itu digelas-ku.
Entah sudah berapa lama kami duduk bersila disana. Hanya sebotol minuman yang dicampur Wine yang akhirnya bisa memecah keheningan malam itu. Kami mengobrol cukup banyak pada akhirnya. Tentang semua. Tentang studi, tentang karir, tentang hidup, sampai tentang masalah se-sensitif cinta. Aku mungkin membutuhkan konsumsi minuman seperti ini untuk hanya sekedar mengeluarkan segala isi dipikiranku saat ini kepada seseorang. Kami mulai sedikit mabuk, semakin mabuk, dan akhirnya benar-benar mabuk. Mulai tertawa pelan, semakin tertawa keras, dan akhirnya tertawa tak terkendali tanpa henti.
"Makasih yah, Os. Sudah bisa tertawa bebarengan sejenak malam ini"Ujarku sambil menengguk gelas terakhir minuman yang dicampur Wine itu.
Dia tak menjawab. Dan aku menoleh ke dia. Pandangan-ku sudah sedikit kabur. Aku hanya bisa melihat samar-samar Pria besar kekar itu sudah tertelungkup di lantai.
"Yah..dia malah tidur"Seru-ku. Aku pun menelungkup-kan tubuhku juga dilantai balkon. Langit malam sangat gelap. Bulan terlihat samar-samar juga. Pandangku lama kelamaan sudah mulai tidak stabil. Dan sampai pada titik yang seharusnya aku tak bisa melihat lagi semua disekitarku.
--
Bersambung?

Sabtu, 20 November 2010

Short Story : Gee... (Part Trois)

"Nak, bangun sudah pagi" Ucap seorang pria berumur empat puluhan kepadaku. Kemudian dia langsung beranjak dari pinggir tempat tidur, pergi membuka korden putih penutup jendela.
Aku membuka mataku, berusaha mengembalikan nyawa-ku kembali.
"Papa, tumben belum berangkat kerja" Ucapku kepada pria yang membangunkan-ku tadi.
"Mumpung anak Papa pulang, gak ada salah-nya khan berangkat-nyaa telat" Jawab-nya sambil tersenyum. "Cepat mandi, kami tunggu di ruang makan" Sebelum akhirnya Papaku pergi keluar kamarku.
Kebetulan hari ini kuliahku masih libur. Dan rencanaku hari ini hanya pergi ke kos sebentar mengambil beberapa barang yang tertinggal untuk keperluan kerja, lalu menyelesaikan beberapa deadline fashion spread untuk Adibusana edisi bulan ini.
Ku buka kloset pakaian diseberang tempat tidurku begitu selesai mandi. Di dalam-nya masih tetap sama seperti biasanya, masih bersih dan tak kutemui seserpih debu-pun di baju-baju, tas, maupun sepatu-sepatunya. Di sisi sebelah kiri ruangan masih tertata rapi baju-baju anak lelaki, beberapa pasang sepatu fantofel dan oxford shoes anak-anak dibawahnya dan diujung-nya baru baju dan sepatu maskulin-ku. Sementara di sisi kanan ruangan masih tertata rapi juga baju-baju anak perempuan, beberapa pasang ballerina shoes dan heels pendek anak-anak dibawahnya, dan disebelah-nya ada monogram indah,anyaman indah, dan kulit-kulit indah dalam wujud sebuah tas. Diujung-nya baru tergantung baju dan sepatu feminim-ku.
Aku mengambil celana abu-abu tiga perempat dengan bawahan celana yang sempit, kaos putih deep v-neck, blazer motif tar-tan berwarna gelap,dan stiletto dengan ujung runcing yang berwarna senada. Memakaikan mereka ditubuhku setelah-nya. Baru setelah kurasa siap aku segera turun kebawah.
"Gee..gimana kabar kamu?. Lama juga gak pernah balik ke rumah" Tanya Zee, kakak perempuanku saat aku baru saja duduk di kursi ruang makan.
"Baik-baik aja, Kak. Yah, kuliah banyak tugas. Kerjaan juga sama aja banyak deadline. Kuliah lagi libur, jadi nyempetin buat pulang ke rumah" Jawabku sambil memulai sarapanku pagi itu.
"Gimana kabar si Ra ?" Zee mulai bertanya lagi.
"Yah..begitu-begitu aja sih, Kak. Damien gimana kabar juga?. Jadi kapan nih aku resmi jadi punya kakak ipar?" Jawabku sambil meledek kakak-ku. Damien, kekasih kakak perempuanku Zee. Sudah menjalin hubungan yang cukup lama. Seorang seniman muda yang sudah cukup punya nama. Mereka berdua berencana untuk segera menikah. Tapi karena kesibukan satu sama lain, jadi masih hanya bayangan saja rencana mereka itu.
"Damien baik. Dia lagi ke Prancis. Ada job bareng-bareng sama seniman asal sana. Yah, menunggu kita sama-sama nggak sibuk mungkin yah, Gee" Jawab kakak-ku.
"Gee, masih baik-baik saja khan, Nak ?" Sekarang giliran Papa yang menanyaiku. "Masih sering diminun khan minuman yang sering dikirim mama untuk kamu ?"
"Baik-baik aja, Pa. Masih kok, gak mungkin lah aku ninggalin minuman seenak itu" Jawabku sambil melirik Mama. Mama memang sering mengirimiku beberapa botol minuman berwarna hitam. Yah, entah kenapa disaat badan-ku terasa lemah. Hanya dengan mengkonsumsi-nya saja sudah bisa dengan cepat sekali kondisi-ku membaik. Aku tak tahu sebenarnya minuman apa itu.
"Syukurlah kalo masih sering diminum" Ucap Papa-ku menanggapi."Gimana kuliah-mu, Nak?.Lancar juga khan ?".
"Lancar, Pa.Yah, cuman sedikit pusing gara-gara jadwal kuliah sering bentrok sama kerja. Tapi selebih-nya lancar kok, Pa"
"Lucli lancar-lancar aja khan, Pa ?" Aku balik menanyai Papa-ku. Lucli nama perusahaan furniture Papa-ku. Sudah cukup punya nama. Banyak pelanggan. Mengusung desain gaya Eropa. Yah, kurang lebih persis tergambar seperti rumah-ku ini.
"Apa yang nggak sukses, Nak. Semua yang dipegang Papa-mu khan semuanya sukses" Mama ternyata yang menjawab. Sementara disebelahnya, Papa hanya tersenyum simpul kecil.
Papaku keturunan Prancis, tetapi sudah cukup fasih berbahasa Indonesia, apalagi bahasa Jawa. Dahulu bekerja sebagai Seniman, untuk mencoba hal baru dia mulai mencoba men-desain furniture setelah itu. Dan desain-nya mendapat sambutan yang cukup hangat, sehingga akhir-nya memutuskan untuk membuka Perusahaan Furniture sendiri. Sifat-nya sombong, temperamen, perfeksionis, dan cukup independen. Tapi entah kenapa dia terlihat seperti orang lain jika dihadapan-ku.
Sedangkan Mama-ku. Wanita asli Jawa. Pengelola galeri lukisan sampai sekarang. Karena pekerjaan-nya ini lah dulu dia sering bertemu Papa dan akhirnya memutuskan untuk menikah setelah 5 tahun berpacaran. Sifat-nya mirip sekali dengan Papa. Juga terlihat seperti orang lain jika dihadapan-ku.
--
Taxi-ku berhenti di depan kos-ku tepat jam 9 pagi.
"Tunggu bentar yah, Pak" Kemudian aku segera keluar, dan segera berlari menuju kamar kos-ku.
Di depan kamar kos, Blackberry-ku berbunyi. Kurogoh tas-ku untuk mencari-nya. Ra mengirimi pesan teks padaku.
"Hi, Gee. Have a great day yah" Tulis-nya. Aku hanya diam sejenak, langsung memasukkan Blackberry-ku ke dalam tas. Dan mencari kunci kamar kos di dalam-nya. Aku tak membalas pesan dari Ra.
--
Di perjalanan menuju Adibusana. Aku sedikit memikirkan Ra lagi. Hanya karena sebuah pesan teks. Di satu sisi ingin membalasnya, di satu sisi aku ingin mengabaikann-nya saja. Aku membuka tas-ku. Mencari sesuatu. Dan menuliskan..
"Have a great day too, Ra" ku ketik dan ku tekan tombol send di Blackberry-ku. Dan sesegera mungkin membuang-nya masuk ke dalam tas.
"Hi, Gee. You look fabulous today" Sapa receptionist Adibusana ketika Taxi sudah mengirimku kesana.
"You look fabulous too, Sis. Masuk dulu yah. Deadline deadline" Aku segera masuk ke ruang redaksi, menuju meja-ku.
Segera ku buka kitab list model-ku. Butuh sekitar dua jam untuk memilih model yang cocok untuk fashion spread. Dan dengan sesegera mungkin ku hubungi wanita-wanita berkaki jenjang yang kurasa sudah cocok itu.
Satu jam setelah itu, mereka tiba ke Adibusana. Aku langsung menyuruh-nya masuk. Dan mengantarkan mereka ke ruang make up. Sementara mereka berdandan, aku sibuk memilih baju untuk mereka bersama Remmy, pria pemegang kuasa di area Wardrobe majalah Adibusana. Dia teman terdekat-ku disini.
"Gimana kemarin di Jakarta ?" Remmy mulai membuka pembicaraan sembari membantu-ku mencari pakaian Fall/Winter yang pas.
"Yah, begitulah"
"Begitulah gimana, Gee ?. Ada kabar baik-kah untuk-ku?" Remmy masih saja mencoba-coba ingin tahu. Dan akhirnya aku menceritakan semua-nya.
"Wow, happy ending khan berarti?" Ucap-nya ketika aku mengakhiri cerita-ku.
"Yah..yah..yah.. Aku harap begitu. Tapi ternyata yah..."
"Hey, bagiku itu sudah cukup Happy Ending. He doesn't want you to leave him. He said he still love you. Yah sudah jelas semuanya khan Gee"
"Tak taulah. And please don't ever talk about him again"Aku segera menuju ke kloset bagian sepatu dan Remmy mengikuti-ku dari belakang.
"Ini bagaimana ?"Aku mengangkat sepasang boots berwarna biru gelap dengan aksen bulu di bagian atas sepatunya. Remmy mengangguk.
"Yah semua tergantung keputusanmu Gee" Remmy mengumpulkan baju-baju yang sudah kami pilih tadi. Menggantungkan-nya pada troli pakaian yang kosong.
Pemotretan di ruang studio majalah Adibusana menghabiskan hampir 4 jam. Dengan 50-an lebih frame dihabiskan. 4 orang model telah sukses mengerjakan fashion spread untuk hari itu.
Jeremy, sang fotografer segera menuju ke meja-nya. Segera meng-koneksi-kan kamera-nya ke komputer. Aku menunggu di sebelah mesin cetak foto sambil meminum segelas coklat panas untuk menghangatkan badan karena diluar sedang hujan deras ditambah dinginnya AC di dalam ruangan.
Semua foto sudah selesai tercetak. Aku menyusun-nya menjadi satu tumpukan.
"Thank's a lot yah, Jer" Seruku ke Jeremy dan aku beranjak dari area-nya menuju ke ruangan Giselle Hardiana, Editor in Chief majalah Adibusana.
Seperti biasa. Jantung terasa mau keluar jika akan menghadap wanita satu ini. Dia seakan tak mau tahu jerih payahmu untuk membuat satu buah pekerjaan yang kita pegang dari bagian majalah Adibusana. Memang terkesan seenaknya sendiri. Tapi dia memang Tuhan dari Adibusana. Bisa berbuat apa saja semau dia.
"Mba', ini buat fashion spread bulan ini" Ucapku lirih sambil memberikan setumpuk foto kepadanya.
"Ok. Duduk Gee"Jawabnya sambil menyuruhku duduk.
Dia melihat satu persatu. Sempat pula aku melihat dia mengerutkan dahi-nya. Menggoyang-goyangkan kepalanya sama seperti jika kita melihat sesuatu yang yang kita tidak suka. Aku hanya harap-harap cemas, semoga tidak seperti bulan lalu. Mba' Isel (begitu aku dan semua teman-temanku di Adibusana memanggilnya), bulan lalu dia pernah mengamuk di depanku. Fashion spread karyaku dianggap-nya kacau. Tak berkonsep dan terlihat kosong. Bulan lalu memang bulan yang cukup sulit untuk-ku. Fase mencoba untuk bertahan dan kuat hanya karena masalah keputusan Ra yang mendadak, yang cukup membuat-ku kehilangan cukup banyak ide. Tak segan-segan Mba' Isel merobek semua foto-foto yang kuberikan pada nya waktu itu. Dan aku merasa seperti orang paling bodoh ketika keluar ruangan-nya.
"Semoga tak seperti bulan lalu" Seruku dalam hati.
Setengah jam berlalu. Mba' Isel masih melihat-lihat foto-foto itu satu persatu.
"Yah..lumayan" Ucap-nya tiba-tiba. Dia tak pernah sekalipun mengucapkan kata luar biasa kepada karya anak buah-nya.
"Interesting" Tambahnya lagi sambil membalik ke foto yang lain.
"Fabulous" Membalik ke foto yang lain lagi.
"Dan...it's very Gee" Dia tiba difoto terakhir segera mengumpulkan foto-foto itu jadi satu tumpukan lagi.
"Kerja yang bagus Gee. Ini alasan-ku menerimamu kerja disini" Dia memberikan tumpukan foto-foto itu kepadaku.
"Makasih yah Mba' Isel" Ucapku lega sama lega-nya karena pekerjaan-ku untuk bulan ini cukup memuaskan-nya.
"You're welcome"
--
Aku duduk di meja yang menghadap ke jalan di coffee shop itu. Diluar masih hujan. Aku memesan secangkir coklpat panas ditambah sebatang rokok ditangan-ku untuk menghangatkan badanku.
"Kenapa aku selalu memikirkan hal ini ?. Kenapa ketika aku berusaha mencoba untuk kuat. Semakin sering aku memikirkan hal ini. Ra" Ucapku lirih, menghadap ke jendela yang membatasiku dengan hujan diluar.
Blackberry-ku berbunyi beberapa detik setelah itu. Ada nama sang dewa matahari muncul di layar.
"Halo" Sapaku setelah menekan tombol answer.
"Hi, Gee. I miss you"
Aku hanya menghembuskan nafas-ku.
"Miss you too, Ra"Jawabku tak mau membohongi diriku.
"Gee, barusan Bre menelpon-ku"
"Oh iya. So ?"Jawabku sedikit ketus. Bre mantan kekasih Ra setelah dia memutuskan aku. Hubungan mereka hanya bertahan selama sebulan. Karena Bre ternyata baru menyadari bahwa Ra ternyata anti dengan komitmen.
"Dia mengajak-ku balikan"
"Terus ?"
"Yah, kamu tau aku lah, Gee"
"Yah..yah..Do what you want, Ra"
"Hah?..kok gitu?"
"Yah..memang begitu adanya"
"Maksudnya apa, Gee ?"
"Kau memang cepat berubah. Satu detik berpikiran seperti ini. Detik berikutnya berubah lagi. Detik berikutnya-pun sudah berubah lagi"
"Hah?..ngomong apa sih Gee ?"
"Yah..Yah..just do what you want, Ra. Aku nggak akan pernah tau apa yang terjadi disana. Yang aku tahu kamu tak ingin aku pergi dan ucapan masih sayangmu ke Aku. Sudah yah, bye.."
"Gee..A.." Aku langsung menutup tombol untuk menutup telepon. Melempar Blackberry-ku ke dalam tas. Dan meminum coklat panas-ku yang mulai dingin. Hujan diluar semakin deras. Aku mengambil sebotong rokok-ku lagi dan segera menyulut api untuk membakar-nya.
--
Bersambung ?..

Senin, 15 November 2010

Mistake...

I'm still at the same spot/place
I'm weary from wandering by your side

Even today, as I was wandering
Day has passed again and again.
Now I'm here

You know...
You know that my heart is hurting
Watching you laugh/smile makes my heart ache more

It's my mistake for not making you love me more
It's my mistake for loving you more than you love me
It's my mistake for not making you love me as much as I wanted you to.

How much longer must I cry
As I'm trusting that promise/ I'm only trusting/ believing that promise

You lied to me to wait for you
Even my greedy side(for love) has grown weary/tired

You know..
You know that my heart is hurting/aching
You can't just ignore and laugh/smile like that.

It's my mistake for not making you love me more
It's my mistake for loving you more than (you love/like me? This is my assumption)
It's my mistake for not making you love me as much as I wanted you to.

I knew I couldn't have you
But my heart(my love for you) just kept growing
It's my mistake for
Waiting by myself
Regretting by myself
Loving you.

Even though my heart was hurting/aching
It's my mistake for not letting you go/forgetting you

I'm such a fool
I knew I would get hurt and couldn't let go

It's my mistake
Even though it could be all my fault/mistake
That's ok. As long as you're there…

Always…
Please forgive me for being like this.
(forgive the person) Who loved you
Sent from my BlackBerry® smartphone from Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss...!

Short Story : Gee... (Part Deux)

Aku bersiap menata barang bawaanku pagi itu. Ra sudah bangun lebih dulu. Ketika aku bangun aku sudah tak melihatnya disampingku. Aku bisa mendengar suaranya dari dalam kamar. Dia sedang berbicang dengan Mama-nya diruangan di depan kamar-nya.
"Brak!" Aku membuka pintu kamar Ra. Dan langsung menuju ke kamar mandi yang tak jauh dari situ.
"Maaf, tuhan aku menangis lagi" Ucapku lirih ketika melihat kedua mata-ku bengkak karena tadi malam.
Aku mencuci mukaku. Dan segera kembali ke kamar Ra. Kuraih sekotak susu siap saji di meja di kamar Ra, yang kuharap bisa menyegarkan tubuhku pagi itu.
"Brak!" Pintu kamar terbuka dan Ra memasuki kamar-nya dan menutup pintu-nya kembali.
"Mau kemana kamu ?" Ucap-nya memandangku dengan nada bertanya-tanya.
"Aku mau pulang, Bang" Jawabku tanpa melihat kehadapannya.
"Hey..." Ra mulai mendekatiku. Memegang pundaku dan menggoyangkannya. "Maafin aku yah tadi malam. Karena mungkin itu yang terbaik kita lakukan saat kita lelah".
Aku hanya diam, menghabiskan sekotak susu siap saji yang kugenggam.
"Aku hanya ingin pulang, Bang. Aku harap abang mau mengerti keputusan-ku. Dan bukan-nya aku juga berusaha mengerti keputusan Abang ?" Ra hanya terdiam. Dia malah memelukku setelah. Erat sekali.
"Maafin aku yah. Aku yang salah selama ini" Ucapnya sambil terisak.
"Aku juga salah, Bang. Sudahlah sampai kapan kita bermain salah dan benar"
"Makasih yah sudah mau datang ke Jakarta. Aku senang masih ketemu kamu lagi" Tangis Ra semakin menjadi. Aku hanya bisa heran melihat pemandangan ini. Biasanya aku-lah yang berada di posisinya ketika kita akan berpisah seperti ini.
"Aku masih sayang kamu. Meskipun kita udah nggak jadian lagi" Ra semakin erat memelukku. Aku masih terbeku. Entah mengapa aku tidak bisa benar-benar merasakan pelukannya. Aku juga menangis. Tapi tak bisa sederas dirinya.
"Aku juga, Bang. Tapi maaf aku hanya ingin pulang sekarang. Biarkan aku pergi sendiri.Tak usah mengantarku yah" Pelukannya semakin erat dan entah kenapa tak seberapa lama dia melepasnya, mendekati wajahku dan mencium-ku.
--
Kereta-ku masih tujuh jam lagi datang. Aku duduk di bangku antara jalur kereta api 1 dan 2. Merogoh tas kecilku, kuambil Marlboro Black Menthol sebatang dan menyulutnya. Beruntung aku tak bisa melihat gedung tinggi dan kokoh di stasiun Jatinegara. Karena aku benar-benar merasa sedikit baikan kali ini, tak ingin merasa tinggi dan kokoh seperti mereka. Entah berapa batang rokok yang sudah kusulut, aku ingin sedikit menghangatkan tubuhku karena dingin-nya air hujan.
Malam-nya, ketika jam sudah menunjuk-kan pukul 8 malam. Aba-aba masinis terdengar memberitahukan bahwa kereta-ku akan datang.
"Akhir-nya pulang juga" ucapku dalam hati.
Aku segera memasuki gerbong-gerbong ketika kereta api sudah datang. Mengambil tempat duduk-ku di samping jendela. Kereta segera berangkat. Dan tiang-tiang di stasiun mulai bergerak kulihat dari tempatku duduk. Aku masih melakukan kebiasaan-ku saat pulang dari Jakarta. Jalan menuju rumah Ra terlihat darisini. Biasanya aku menangis, dan entah kenapa kali ini aku bisa tersenyum.
"Will miss you" Ucapku ketika kereta melewati jalan menuju rumah Ra.
Blackberry-ku berbunyi. Dan ada satu pesan baru BBM di layarnya. Aku membuka-nya. Dan pesan itu dikirim oleh sang dewa matahari, Ra.
"Aku masih tetap disini yah. Di Jakarta ini" tulisnya.
Aku hanya bisa tersenyum.
"Aku juga masih di sini yah. Di Yogyakarta" balasku kepadanya.
--
Menjelang Shubuh. Yogyakarta sudah menyapaku. Masih terlihat pemandangan-pemandangn putih disana-sini. Gunung Merapi sedang bergejolak. Yah dan mengapa gejolak-nya se-waktu denganku.
Aku beranjak dari kursiku begitu kereta sudah berhenti di Stasiun Tugu. Berjalan antri keluar kereta. Dingin diluar, udara bercampur, antara embun-embun pagi dan abu vulkanik. Aku memutuskan untuk pulang ke rumah saja daripada ke kos.
Aku masih memikirkan Ra di perjalanan pulang ke rumah dengan Taxi. Masih bingung antara senang dan sedih. Tapi aku hanya berusaha meyakinkan diri. Hanya berpegang pada tumpuan "Dia masih sayang aku. Dan aku masih sayang dia" untuk urusanku dengan Ra. Setidaknya aku akan mencoba lebih mempercayai dia dengan berdasar kata-kata itu apapun yang terjadi nanti-nya.
Taxi menuju daerah utara Yogyakarta, dan 30 menit kemudian berhenti di depan sebuah bangunan bergaya arsitektur eropa. Ini rumah pasangan Luci dan Lilith, kedua orang tua-ku.
"Makasih yah, Pak" ucapku pada di pengemudi taksi dan akupun segera beranjak dari sana.
Aku melihat Mama di taman depan ketika Aku berjalan menuju masuk rumah. Dan aku yakin Mama juga melihat keberadaanku.
"Hai, Nak. Kau tampak kurus sekarang" Mama menghampiriku sambil memeluku dan mencium pipi-ku.
"Ma, Aku langsung istirahat aja yah" Ucapku sambil membalas ciumannya.
Aku segera masuk ke peneduhan itu. Rumah ini masih sama. Masih ber-wallpaper merah di dalam-nya. Masih ada jendela besar khas gereja tua klasik bergambar makhluk berkepala rusa dan bertubuh manusia yang akan menyambut ketika kita membuka pintu utama. Aku langsung menaiki tangga menuju lantai dua. Menyusuri lorong penuh dengan lukisan klasik hingga sampai di ruangan paling ujung.
Ruangan di dalam-nya masih sama. Masih paling berbeda dengan semua ruangan di rumah ini. Wallpaper-nya putih, semua serba putih. Dan aku masih melihatfoto anak lelaki di meja sisi sebelah kiri tempat tidur, dan foto anak perempuan di meja sisi sebelah kanan tempat tidur. Aku menaruh barang bawaanku di meja. Melepas jaket-ku. Dan segera membaringkan badanku ke tempat tidur.
"Semoga semua-nya baik-baik saja setelah ini" Ucapku sebelum lalu menutup mataku.
Bersambung...

Minggu, 14 November 2010

Short Story : Gee... (Part : Une)

Gee. Aku bukan wanita, karena memang aku tak berpayudara, meskipun aku memiliki vagina. Aku bukan pria, karena memang aku tak berpenis, dan tak memiliki payudara. Aku juga bukan transseksual, karena aku tidak pernah mengalami operasi ganti kelamin. Gee, aku hanya seorang berumur 21 tahun yang berusaha mempelajari hidup, hanya seorang mahasiswa/i seni, hanya rajin ditemui berwujud alfabet setiap bulan-nya di lembaran majalah fashion.
Gedung-gedung pencakar langit Jakarta dan gemerlap lampu-lampu dari dalamnya waktu itu membuatku terpaku sejenak. Pikiranku masih penuh. Tubuhku masih lemah. Berharap sekali aku seperti pandangan yang aku lihat di depan mataku. Kokoh, terang, dan tinggi. Semakin padat merayap dijalan, karena memang ini malam minggu. Aku hanya duduk terdiam di dalam taxi, berharap cepat sampai tujuan. Sementara disampingku, seorang pria duduk terdiam dengan berkaca Blackberry yang digenggamnya. Ra, kekasih atau mantan kekasih atau abang-ku atau klien-ku. Dia memang setangguh dewa matahri buatku, sehingga sepertinya tak salah nama Ra dimilikinya.
Tanganku seakan tak segan menghampiri tangannya, walaupun perlu beberapa detik berpikir hanya untuk menyentuh tangan Ra. Dia menatapku sebentar ketika tanganku sudah mendarat di tangan-nya dan seketika itu juga pandangannya kembali ke layar blackberry-nya.
"Aku ingin menggambar hati di telapak tanganmu, bang".
"Hati bukan digambar di telapak tangan. Tetapi digambar disini" Ucapnya sambil menunjuk tangannya ke dada, dengan masih menggenggam Blackberry-nya.
Perjalanan malam itu hanya diisi keheningan, hanya arahan Ra ke pengemudi taksi saja yang ku dengar. Sampai akhirnya...
"Pak, kok lewat sini?. Mustinya kita ngambil jalur yang sebelah kiri" Ra berseru kepada pengemudi taksi yang salah mengambil jalur menuju tujuan kita. Dan dengan seketika pengemudi taksi itu langsung banting stir kearah kiri dengan terpaksa dan berusaha mati-matian. Karena seperti pada umum-nya jalanan di Jakarta, ada sebuah garis pembatas yang dibuat sedikit lebih tinggi sebagai pembatas dua jalan yang masing-masing menuju ke arah yang berbeda.
Perjalanan-pun hening seketika-lagi ketika ku rasa jalan yang diambil sudah benar.
"Pak, saya bilang khan nggak lewat sini!. Ini mah sama aja saya musti muter-muter keliling Jakarta dulu baru bisa nyampe Rumah!. Udahlah berhenti di sini aja!" Seru Ra lagi, yang kali ini emosi-nya mulai meledak. Mengambil dompet dalam tas-nya dan memberikan secarik uang kertas kepada si pengemudi taksi itu.
"Lain kali, kalo nyetir yang bener dong!" Ucap Ra geram, setelah itu langsung keluar dari taksi, aku mengikuti di belakangnya.
Kami berhenti di pinggir jalan yang untung-nya tidak seberapa jauh dari rumah Ra. Dia berjalan di depanku, aku memilih untuk berjalan di belakangnya. Dia memang orang yang cukup mudah naik darah, dan ketika seperti ini aku cuma akan melakukan hal yang biasa aku lakukan, diam dan membiarkan dia sejenak. Karena apapun yang aku perbuat dan aku katakan hanya akan menambah emosi-nya naik.
Dan benar saja...
"Hey, kamu jangan jalang dibelakangku !. Kesrempet mobil tau rasa kamu !" Ucapnya masih geram. Dan aku menurutinya berlari kecil kesamping Ra.
Ra memutuskan untuk berjalan kaki saja untuk melanjutkan perjalanan. Aku hanya memandang-nya, masih wajah yang sama ketika dia sedang emosi. Dan saat ini hanya wajah itu yang sering aku lihat.
"Bego banget sih si supir taksi itu" Ra masih menggerutu tentang perkara itu.
"Sudahlah" Ucapku bermaksud untuk menenangkan.
"Maaf yah, sempat marah-marah ke kamu juga"
"Hehe sudah biasa bukan?. Setahun ini bukannya itu makananku sehari-hari yah" Candaku sambil menepuk bahu Ra.
"Kau benar-benar berubah yah, bang" tanyaku
"Berubah gimana ?"
"Yah..semakin lebih cepat naik darah. Dua bulan sejak putus ternyata banyak membuat-mu berubah"
Ra tak menjawab apapun, hanya sebuah senyuman simpul kecil yang kudapat.
---
Ra sudah terlelap tidur. Sementara aku masih terjaga dengan berjuta-juta pikiran. Aku hanya menatap wajahnya. Tanganku mendarat di pipinya dengan kulit-nya yang ku rasa semakin kasar. Layaknya orang bodoh, aku mulai mengobrol sendiri di depan wajah terlelap itu.
"Kenapa kau tak membiarkan aku pergi saja, bang"
"Kenapa ketika kau sudah memutuskan untuk putus waktu itu. Kau malah akhirnya kembali ke aku, bang"
"Hah ?" Dia ternyata belum sepenuh-nya terlelap. Malah seakan mau menjawab perkataann-ku.
"Tidur sajalah, bang. Tak usah mendengar obrolan tolol-ku ini" Dan dia kembali terlelap. Aku masih mengobrol gila sendiri,masih menatap pandangan yang sama dan posisi tangan yang sama.
"Aku tak tau harus merasa senang,sedih,atau apalah itu"
"Kau masih minta untuk bertemu, bang. Kau masih berucap kangen kepada-ku, bang. Dan... Kau masih menginginkan bercinta dengan-ku, bang"
Ini yang aku takutkan. Aku bingung. Dan mungkin bodoh-nya kenapa justru cinta yang membuat aku bodoh. Aku benar-benar pengen lari tak bertujuan. Tapi kenapa ada sesuatu yang membuat-ku tertahan untuk tetap disini.
Tangan-ku mulai turun dari pipi Ra. Menuju kelamin Ra. Awalnya dia sempat berontak. Tapi entah kenapa aku masih nekat melakukan-nya lagi. Untuk kedua kali-nya Ra seperti menyerah. Aku mulai membuka celana-nya. Aku tak tau kenapa pikiranku menjadi sedangkal ini.
"Maaf, bang. Silahkan menyebutku pelacur setelah aku melakukan ini. Sepertinya aku sudah tak bisa lagi menggambar hati di hatimu. Dan mungkin hanya bercinta lah yang saat ini yang kau dan aku bisa lakukan"
Dan dengan seketika Ra terbangun. Ketika aku sudah sempat memasukkan kelamin-nya ke mulutku.
"Hey, apaan sih kamu !" Geramnya sambil membanting tubuhku yang saat itu langsung terjatuh di sampingnya.
"Aku capek, dan kamu pasti juga capek !. Jalan satu-satunya itu tidur !. Mau sampai kapan kamu mikir masalah yang sama terus !"
"Jangan dikiranya kamu aja yang banyak pikiran !. Aku juga !. Tangisan-ku tadi pagi belum ada apa-apanya dengan pikiran di otakku !" Ra benar-benar marah. Lalu melanjutkan tidurnya, aku membalik-kan badanku membelakangi dirinya. Tetapi Ra, memelukku dari belakang.
"Oh tuhan, ada apalagi dibalik ini semua. Haruskah aku bertanya terus-menerus padamu agar mengerti ada apa dibalik ini semua, ya tuhan". Ucapku dalam hati.
Aku membalikkan tubuhku. Dan saat ini wajahku hanya berjarak beberapa senti dengan wajah Ra.
"Ra, aku hanya tak tau apa yang sebenarnya kau minta. Dan sepertinya aku tak akan pernah tau apa yang kau minta. Aku kehilangan arah. Aku bingung harus berbuat apa, Ra" Ucapku masih dalam hati.
" Orang sekuat kamu saja bisa lemah, Ra. Apalagi aku, yang baru mengalami hal ini untuk pertama kalinya. Mungkin aku tahu alasan-mu mencintai gedung-gedung pencakar langit. Karena kau ingin sekokoh dan setinggi mereka bukan?. Kain tar-tan ku sudah robek. Mesin jahitku tak jelas keadaan-nya, terkadang bisa digunakan,terkadang macet. Tangan-ku sudah mulai gatal sebenarnya untuk menjahit-nya kembali. Aku bingung, Ra" Ucap terakhirku dalam hati lagi untuk mengakhiri dini hari itu.
Bersambung....

Minggu, 07 November 2010

3 Lines for My Runway Life..

Surabaya...
It's home,tempat dua pasangan ibu bapak saya tinggal. Jalur pertama saya ketika saya baru mengenal huruf,membaca,berjalan,makan,berhitung dan perangkat awal lain seorang manusia kecil ketika baru tiba di kehidupan. Hanya sebuah rumah kecil yang menyimpan berjuta-juta bahkan bermiliar-miliar obat penenang hati. Hanya sebuah gemerlapan lampu kota dimalam hari yang menyimpan sekotak dark chocolate bersama sahabat-sahabat terdekat. Dan mungkin hanya sebuat kota yang saya cintai, tempat dimana saya benar-benar merasakan bentuk lain dari olahraga yoga yang menenangkan.


Yogyakarta...
Ketika gejolak kawula muda saya mulai memberontak untuk keluar, tak tau mengapa saya melanjutkan jalur kedua saya di kota ini. Just for my school life, saya tambatkan di perguruan tinggi seni di kota yang disebut kota budaya ini. Dan mungkin fase dewasa saya mulai menyeruak minta keluar disini. Dan yah keduanya belum mau mengalah sampai saat ini. Sepenggal kehidupan cinta-pun saya jumpai disini. Hanya sebuah kesederhanaan kotanya ,yang membuat saya mengerti hidup itu apa ada-nya. Hanya sebuah lembaran kain batik khas yogyakarta, yang membuat hidup itu ternyata indah yah. Dan mungkin hanya sebuah janji tak terduga di monumen tugu yang membuat kembali disini.


Jakarta...
Megapolitan,kota yang tak pernah tidur. Dan my loves life sudah terlanjur saya tambatkan disini. Apakah saya menyesalinya ?. Tidak, karena hati saya yang sudah terlanjur meyakininya :). Mungkin akan menjadi jalur ketiga untuk kehidupan saya mendatang. Dimana ketika sepotong Banana Republic terpasang dibadan, bawahan panjang Raoul, dan alas Bottega Veneta layaknya laga runway menswear di bilangan Sudirman. Hanya beribu-ribu gedung tinggi kokoh dengan lampu sorotnya dimalam hari yang mungkin bisa membuat kuat. Hanya sebuah rentetan mobil motor yang mungkin membuat pusing. Dan mungkin hanya tugu selamat datang dan monas yang akan menyapa pagi di jakarta dengan senyuman.

Senin, 01 November 2010

Damn !..Make me Like Your Face, Tyra !

Tyra Banks, mungkin salah satu model yang cukup saya kagumi (disamping saya menyukai acara reality show yang yang dibuat). Damn, She have soooo manyy fierce and strong face on her photograph..

Ketika mood dan emosi saya saat ini sedang tidak bisa stabil-stabilnya. Mungkin hanya kata "kuat" saja yang benar-benar ingin saya minta. How to make me strong, like your fierce and strong photos tyra ?.

Sent from my BlackBerry® smartphone from Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss...!