CLICK HERE FOR FREE BLOGGER TEMPLATES, LINK BUTTONS AND MORE! »

Minggu, 14 November 2010

Short Story : Gee... (Part : Une)

Gee. Aku bukan wanita, karena memang aku tak berpayudara, meskipun aku memiliki vagina. Aku bukan pria, karena memang aku tak berpenis, dan tak memiliki payudara. Aku juga bukan transseksual, karena aku tidak pernah mengalami operasi ganti kelamin. Gee, aku hanya seorang berumur 21 tahun yang berusaha mempelajari hidup, hanya seorang mahasiswa/i seni, hanya rajin ditemui berwujud alfabet setiap bulan-nya di lembaran majalah fashion.
Gedung-gedung pencakar langit Jakarta dan gemerlap lampu-lampu dari dalamnya waktu itu membuatku terpaku sejenak. Pikiranku masih penuh. Tubuhku masih lemah. Berharap sekali aku seperti pandangan yang aku lihat di depan mataku. Kokoh, terang, dan tinggi. Semakin padat merayap dijalan, karena memang ini malam minggu. Aku hanya duduk terdiam di dalam taxi, berharap cepat sampai tujuan. Sementara disampingku, seorang pria duduk terdiam dengan berkaca Blackberry yang digenggamnya. Ra, kekasih atau mantan kekasih atau abang-ku atau klien-ku. Dia memang setangguh dewa matahri buatku, sehingga sepertinya tak salah nama Ra dimilikinya.
Tanganku seakan tak segan menghampiri tangannya, walaupun perlu beberapa detik berpikir hanya untuk menyentuh tangan Ra. Dia menatapku sebentar ketika tanganku sudah mendarat di tangan-nya dan seketika itu juga pandangannya kembali ke layar blackberry-nya.
"Aku ingin menggambar hati di telapak tanganmu, bang".
"Hati bukan digambar di telapak tangan. Tetapi digambar disini" Ucapnya sambil menunjuk tangannya ke dada, dengan masih menggenggam Blackberry-nya.
Perjalanan malam itu hanya diisi keheningan, hanya arahan Ra ke pengemudi taksi saja yang ku dengar. Sampai akhirnya...
"Pak, kok lewat sini?. Mustinya kita ngambil jalur yang sebelah kiri" Ra berseru kepada pengemudi taksi yang salah mengambil jalur menuju tujuan kita. Dan dengan seketika pengemudi taksi itu langsung banting stir kearah kiri dengan terpaksa dan berusaha mati-matian. Karena seperti pada umum-nya jalanan di Jakarta, ada sebuah garis pembatas yang dibuat sedikit lebih tinggi sebagai pembatas dua jalan yang masing-masing menuju ke arah yang berbeda.
Perjalanan-pun hening seketika-lagi ketika ku rasa jalan yang diambil sudah benar.
"Pak, saya bilang khan nggak lewat sini!. Ini mah sama aja saya musti muter-muter keliling Jakarta dulu baru bisa nyampe Rumah!. Udahlah berhenti di sini aja!" Seru Ra lagi, yang kali ini emosi-nya mulai meledak. Mengambil dompet dalam tas-nya dan memberikan secarik uang kertas kepada si pengemudi taksi itu.
"Lain kali, kalo nyetir yang bener dong!" Ucap Ra geram, setelah itu langsung keluar dari taksi, aku mengikuti di belakangnya.
Kami berhenti di pinggir jalan yang untung-nya tidak seberapa jauh dari rumah Ra. Dia berjalan di depanku, aku memilih untuk berjalan di belakangnya. Dia memang orang yang cukup mudah naik darah, dan ketika seperti ini aku cuma akan melakukan hal yang biasa aku lakukan, diam dan membiarkan dia sejenak. Karena apapun yang aku perbuat dan aku katakan hanya akan menambah emosi-nya naik.
Dan benar saja...
"Hey, kamu jangan jalang dibelakangku !. Kesrempet mobil tau rasa kamu !" Ucapnya masih geram. Dan aku menurutinya berlari kecil kesamping Ra.
Ra memutuskan untuk berjalan kaki saja untuk melanjutkan perjalanan. Aku hanya memandang-nya, masih wajah yang sama ketika dia sedang emosi. Dan saat ini hanya wajah itu yang sering aku lihat.
"Bego banget sih si supir taksi itu" Ra masih menggerutu tentang perkara itu.
"Sudahlah" Ucapku bermaksud untuk menenangkan.
"Maaf yah, sempat marah-marah ke kamu juga"
"Hehe sudah biasa bukan?. Setahun ini bukannya itu makananku sehari-hari yah" Candaku sambil menepuk bahu Ra.
"Kau benar-benar berubah yah, bang" tanyaku
"Berubah gimana ?"
"Yah..semakin lebih cepat naik darah. Dua bulan sejak putus ternyata banyak membuat-mu berubah"
Ra tak menjawab apapun, hanya sebuah senyuman simpul kecil yang kudapat.
---
Ra sudah terlelap tidur. Sementara aku masih terjaga dengan berjuta-juta pikiran. Aku hanya menatap wajahnya. Tanganku mendarat di pipinya dengan kulit-nya yang ku rasa semakin kasar. Layaknya orang bodoh, aku mulai mengobrol sendiri di depan wajah terlelap itu.
"Kenapa kau tak membiarkan aku pergi saja, bang"
"Kenapa ketika kau sudah memutuskan untuk putus waktu itu. Kau malah akhirnya kembali ke aku, bang"
"Hah ?" Dia ternyata belum sepenuh-nya terlelap. Malah seakan mau menjawab perkataann-ku.
"Tidur sajalah, bang. Tak usah mendengar obrolan tolol-ku ini" Dan dia kembali terlelap. Aku masih mengobrol gila sendiri,masih menatap pandangan yang sama dan posisi tangan yang sama.
"Aku tak tau harus merasa senang,sedih,atau apalah itu"
"Kau masih minta untuk bertemu, bang. Kau masih berucap kangen kepada-ku, bang. Dan... Kau masih menginginkan bercinta dengan-ku, bang"
Ini yang aku takutkan. Aku bingung. Dan mungkin bodoh-nya kenapa justru cinta yang membuat aku bodoh. Aku benar-benar pengen lari tak bertujuan. Tapi kenapa ada sesuatu yang membuat-ku tertahan untuk tetap disini.
Tangan-ku mulai turun dari pipi Ra. Menuju kelamin Ra. Awalnya dia sempat berontak. Tapi entah kenapa aku masih nekat melakukan-nya lagi. Untuk kedua kali-nya Ra seperti menyerah. Aku mulai membuka celana-nya. Aku tak tau kenapa pikiranku menjadi sedangkal ini.
"Maaf, bang. Silahkan menyebutku pelacur setelah aku melakukan ini. Sepertinya aku sudah tak bisa lagi menggambar hati di hatimu. Dan mungkin hanya bercinta lah yang saat ini yang kau dan aku bisa lakukan"
Dan dengan seketika Ra terbangun. Ketika aku sudah sempat memasukkan kelamin-nya ke mulutku.
"Hey, apaan sih kamu !" Geramnya sambil membanting tubuhku yang saat itu langsung terjatuh di sampingnya.
"Aku capek, dan kamu pasti juga capek !. Jalan satu-satunya itu tidur !. Mau sampai kapan kamu mikir masalah yang sama terus !"
"Jangan dikiranya kamu aja yang banyak pikiran !. Aku juga !. Tangisan-ku tadi pagi belum ada apa-apanya dengan pikiran di otakku !" Ra benar-benar marah. Lalu melanjutkan tidurnya, aku membalik-kan badanku membelakangi dirinya. Tetapi Ra, memelukku dari belakang.
"Oh tuhan, ada apalagi dibalik ini semua. Haruskah aku bertanya terus-menerus padamu agar mengerti ada apa dibalik ini semua, ya tuhan". Ucapku dalam hati.
Aku membalikkan tubuhku. Dan saat ini wajahku hanya berjarak beberapa senti dengan wajah Ra.
"Ra, aku hanya tak tau apa yang sebenarnya kau minta. Dan sepertinya aku tak akan pernah tau apa yang kau minta. Aku kehilangan arah. Aku bingung harus berbuat apa, Ra" Ucapku masih dalam hati.
" Orang sekuat kamu saja bisa lemah, Ra. Apalagi aku, yang baru mengalami hal ini untuk pertama kalinya. Mungkin aku tahu alasan-mu mencintai gedung-gedung pencakar langit. Karena kau ingin sekokoh dan setinggi mereka bukan?. Kain tar-tan ku sudah robek. Mesin jahitku tak jelas keadaan-nya, terkadang bisa digunakan,terkadang macet. Tangan-ku sudah mulai gatal sebenarnya untuk menjahit-nya kembali. Aku bingung, Ra" Ucap terakhirku dalam hati lagi untuk mengakhiri dini hari itu.
Bersambung....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar