Dini hari menjelang makan sahur, saya kedapatan berdialog dengan seorang
asing melalui Skype. Seorang pria, kemungkinan dari negara istana-sentris,
berperawakan klimis-rapi, nada bicaranya lembut tapi penuh dengan kuasa. Orang
itu menginap pada sebuah hotel dengan lima bintang sebagai tingkatan
prestisiusnya.
“Banyak duit itu enggak boleh sombong. Nanti cepat miskin,” dengan
sangat santai pria itu berujar, nadanya masih penuh kuasa.
“Memang, sombong di mata kamu seperti apa?” saya penasaran.
“Yah…sombong itu suka belanja barang-barang branded, makan di restoran
super mahal, pokoknya yang mewah-mewah,” Ia menjelaskan.
“Oh, berarti orang kaya itu sombong-sombong, ya?. Mereka bakalan cepat
miskin juga?” saya.
“Maksdunya?”
“Ya, orang kaya khan suka belanja barang-barang branded, makan di
restoran super mahal, pokoknya yang mewah-mewah gitu,” saya menjelaskan.
“Yah…” ucapan pria itu mengambang mencari alasan. “Ya, pokoknya saya
bukan sombong,” dia terdiam. Skak mat. Apalagi saya?.
---
Bel kamarnya berbunyi, terdengar menembus dari celah speaker laptop
saya.
“Sebentar, room service lagi nganter makan sahut. Wait…,” Ia beranjak
menghampiri sumber suara. Saya diam. Lalu terdengar dialog-dialog kecil antara
si pria dan room service.
“Sorry lama. Saya lupa nyimpan uang rupiah di dompet. Jadi, saya kasih
uang dollar ke room service.”
“Hah?” saya tertegun.
“Iya, saya hampir enggak pernah nyimpan uang rupiah di dompet. Dollar
semua. Rupiah cuman ada di ATM,” Ia terkekeh.
Saya mengangguk perlahan. Memandang kosong ke arah monitor laptop.
Untungnya segera dipecah oleh jam penunjuk di angka 03.00.
“Mas, saya makan sahur dulu, ya. Takut enggak keburu. Thank you,” tentu
saja hanya sebuah alasan saya untuk kabur. Kabur dari entah apa-apa saja
celotehan pria itu yang penuh dengan nada kekuasaan.
***
Saya mengetahui kalau dia bernama Sandi. Awalnya, saya mengira Pria itu
adalah proyeksi realistis dari Sandi Yuda, tokoh sang “Iblis” dari roman-serial
Bilangan Fu yang ditulis Ayu Utami. Pria sipil-militer yang selalu haus dan
rindu akan sebuah kekuasaan, yang seakan masih menyebar luaskan isu patriarkal
dalam kelembutan nada bicaranya. Dia mungkin sama seperti Pria pada umumnya,
persetubuhan hanyalah serupa perkara melepas syahwat tanpa tendensi apapun.
Selesai.
Benar saja saya datang menuju istananya, undangan secara tiba-tiba
beberapa hari kemudian, serupa undangan Jay Gatsby untuk Daisy Buchanan seorang
perempuan yang telah lama dirindu dan tak mampu disentuhnya. Dibalik baju
lengan panjang kotak-kotak berbahan kain flannel, saya sebenarnya menyimpan
gemerincing perasaan was-was yang tak berani sepenuhnya saya yakini. Menebas
petang, istananya serupa dengan istana negara yang dijaga dan dikawal ketat
oleh pria-pria bertubuh besar dengan busana yang seragam berwarna gelap.
Atribut lengkap pertahanan itu didukung sekali dengan pemikiran khas
sipil-militer yang begitu tergila-gila akan hierarki (dalam cerita ini lebih
menjurus kepada hierarki status sosial). Sebuah pemikiran yang mengkategorikan
jenis-jenis manusia menjadi beberapa tingkatan, yang kemudian dengan begitu
saja dan mudahnya tingkatan itu berpengaruh kepada kepribadian manusia yang
seakan menihilkan beberapa konsep dan teori psikologi tentang perilaku manusia.
Buat saya, sejujurnya ini sedikit tidak adil, tapi karena doktrin ini sudah
mengakar dari zaman sebelum saya lahir, rasa tidak adil itu lebih baik saya
simpan sendiri. Toh, saya bukan bercita-cita sebagai manusia yang ingin
menciptakan sebuah revolusi. Contoh kasus nyata saat saya mendatangi istananya,
pria-pria bertubuh besar itu terbilang seperti memperlakukan saya sebagai
tertuduh yang wajib untuk di interogasi, lantaran saya kesana dengan menaiki
sebuah motor. Tapi, lagi-lagi toh saya juga bisa berbuat apa lagi. Saya
meladeni apa-apa saja yang diinginkan pria-pria itu. Kata seorang teman yang
pernah berkunjung ke beberapa negara, miris dan sedihnya hidup di Indonesia itu
ketika menghadapi kejadian seperti ini. Hierarki status sosial yang begitu
gamang, dan meninggalkan sebuah kelapangan hati karena bukan terlahir sebagai
seorang revolusioner.
Kamarnya terbuka, dan saya memasuki kamar pribadinya di lantai lima. Ada
dua single bed terdiam disana. Ranjang yang satu sudah begitu keruh dan kentara
lipatan-lipatan kainnya. Sementara ranjang disampingnya (yang hanya dipisahkan
beberapa langkah dari ranjang yang keruh) masih begitu rapi dengan sprei dan
selimut putih yang tak terjamah. Dia menawarkan minum, saya hanya menjawab
dengan sesegera mungkin memasrahkan badan di pinggir tempat tidur yang belum
terjamah itu. Kesan pertama saya akan tokoh Sandi Yuda sang “Iblis” perlahan
luntur sedikit demi sedikit dimulai detik itu. Barangkali dia memang seorang
Iblis, tapi wujud di depan saya itu adalah realisasi dari seorang Iblis yang
kehilangan jiwa, atau mungkin seorang Iblis yang kehilangan sayap keiblisannya
hingga dia tak mampu lagi terbang kemanapun ia inginkan. Jangan membayangkan
Iblis yang memiliki wajah menyeramkan, Pria di depan saya ini justru
berkebalikan sekali dengan perjumpaan pertama kami di layar monitor laptop yang
terhubung melalui teknologi Skype. Saya tak menjumpai sisi kekuasaan yang
begitu hebat seperti yang ia lontarkan beberapa hari lalu di Skype, padahal
sejujurnya saya begitu menunggu cercahan-cercahan renyah itu segera
disembulkan. Pertemuan di istananya malam itu sangat begitu kontradiktif, dia
seperti memutar balikan sebuah isu materialistis yang kemarin sangat begitu
disanjung dalam balutan nada bicaranya yang lembut penuh kuasa. Malam itu dia
memutarnya dengan cercahan isu materialistis dari segi fungsionalitas dan
timbal balik yang ia terima dari massa. Nada bicara yang lembut dan masih
sedikit terdengar berkuasa, namun dengan taburan rasa menyesal yang kadarnya
hanya setetes. Saya mendengar tiap ucapannya ketika dia bercerita tentang
hidupnya yang begitu bertahtakan istanasentris, yang secara tidak langsung
keuntungan dari fungsi material-nya yang begitu membludak, mendapatkan timbal
balik dan respon positif dari massa. Tapi, dia juga menambahkan bahwa respon
positif itu adalah serupa dengan topeng belaka. “Sebelumnya mereka sok-sok jual
mahal. Tapi begitu ketemu, dan saya ajak kerumah, mereka bisa secepat itu
berubah menjadi manis dan seperti begitu ingin memiliki saya ketika pertemuan
di rumah usai. Saya tidak pernah tahu,” ucapnya.
Saya mengangguk perlahan, menelanjangi setiap gerak-geriknya, dan yang
saya temui, dia tak pernah bisa saling bertatap mata dalam waktu yang lama.
Iblis itu terlihat begitu kesepian, entah karena ada sesuatu yang membatasi
pada dirinya. Hingga akhirnya, saya merasa ada kemiripan dengan dirinya dalam
perkara sisi buruk yang mengerat pada diri masing-masing. Kami berdua mempunyai
sisi buruk tak ingin dimiliki oleh siapapun, yang dibalik sisi itu, kami juga
menyimpan sebuah sisi dimana kami juga menginginkan perasaan untuk dimiliki
oleh sosok yang begitu sangat di rindu. Tapi, yang membedakan kami adalah
alasan dibalik sisi buruk itu. Dia bisa saja tak ingin dimiliki karena dirinya
sendiri tak bisa bebas, sementara alasan saya adalah perkara asas
ketidakpercayaan penuh kepada sosok lain selain diri saya sendiri. Entah
kenapa, perlahan saya begitu merasa miris melihat sosok yang terduduk di
ranjang yang terletak disamping ranjang tempat dimana saya mulai merebahkan
tubuh.
Dini hari semakin meninggi, dan kebekuan seakan mulai menggantikan
dingin yang begitu terjejal pada lapisan kulit terluar. Malam itu, saya seperti
memiliki dua peran. Berperan yang sejati-jatinya sebagai bentuk nyata seperti
Daisy Buchanan yang dengan begitu lapang menerima kebaikan-kebaikan seorang Jay
Gatsby, dan dibalik itu, saya seperti berperan sebagai Holly Golightly yang tak
pernah mengenal perasaan dan hanya memikirkan kesenangan saja. Dia meminta saya
merebahkan kepala di salah satu pahanya, sembari kami berbagi menyeruput satu
batang rokok yang asapnya seakan menghapuskan segala yang beku di ruangan itu.
Pada satu titik, saya menyadari matanya menelisik rupa yang saya miliki. Begitu
menyadarinya, saya segera membalas menelanjangi balik kedua matanya. “What are
you looking for?” bibirnya berucap setelah asap ia hembuskan keluar, kedua
matanya sesegera mungkin beranjak menelanjangi rupa saya. Dan dimulai detik itu
juga, seketika saya seperti memasuki lorong kesedihan, kesepian, dan
kerahasiaan melalui kedua mata yang ia miliki sebagai pintu masuknya. Saya
menjadi sedikit berfikir, Tuhan mungkin saja menciptakan kedua mata sebagai
simbol signasi atas rahasia yang disimpan dari tiap manusia yang ia cipta.
Dia memasrahkan satu nampan makanan lengkap untuk sahurnya kepada saya,
Pria itu hanya menyentuh buah-buahan yang dipotong kecil lalu disejajarkan dan
ditusukkan pada batang lidi. Dua biji sate buah. Kemudian dia begitu piawai menghidangkan
secangkir English Tea pada jam yang salah untuk saya. Tubuhnya sedikit lebih
rileks jika dibandingkan detik-detik pertama bertemu tadi. Namun, saya masih
menangkap sedikit tingkah was-was yang sebenarnya sangat begitu ingin ia
sembunyikan kepada saya. Bisa jadi, malam itu sebenarnya sebuah malam yang cukup
indah. Tapi, begitu pulang pikiran saya masih berputar-putar pada sosoknya yang
begitu misterius. Sosok misterius yang tak bisa saya lihat dari bentuk luar
Pria itu saja. Sosok misterius yang bisa ditangkap ketika mampu menerobos masuk
kedalam lorong dengan kedua mata pria itu sebagai pintu masuknya. Dan setelah
semuanya usai, beberapa hari kemudian saya seperti bertransformasi menjadi
detektif.
***
Di usia 24 tahun, saya masih berpendapat bahwa cerita-cerita dongeng
putri dan raja yang dibuat Disney itu begitu manis, jujur, dan memang sedikit
naïf. Dan sang Iblis itu, dengan usia tiga sampai empat hari setelah pertemuan,
seperti terkelupas bagian kecil dari misteri dan rahasia yang ia simpan.
Mungkin, karena saya pribadi adalah orang yang serba penasaran dan sedikit
kurang lebih gemar mengkritisi segala sesuatu yang terjadi, saya menemukan
sedikit keterungkapan bahwa sang Iblis adalah memang sosok pangeran
sejati-jatinya. Namun, sosoknya adalan
pangeran di zaman post-modern. Yang dimana sosok pangeran dan putri itu sendiri
bersifat universal dan dikompetisikan bagi siapa saja yang benar-benar yakin
akan potensi diri yang mereka miliki. Sang “Iblis” memegang tahta kerajaan di
daerahnya empat tahun yang lalu. Bibir menyunggingnya sangat kentara saat
memegang tahta kerajaan, tapi kedua matanya masih tak beranjak dari sebuah
perasaan yang ia sebut sebagai rahasia dan misteri. Masa jabatan-nya hanya
berusia satu tahun, lalu dia terbang mengepakkan sayapnya ke awan-awan. Mungkin
saja, masa-masa itu sayap Iblis-nya masih mampu bergerak dengan lincah ke arah
yang begitu ia inginkan. Perlahan, lorong gelap dari kedua matanya yang pernah
saya lihat mulai menampakkan sedikit demi sedikit cahaya dari atas bagai cahaya
surgawi. Saya menemukan sosok perempuan renta dengan jilbab yang tergantung di
kepalanya. Wajahnya begitu teduh, kerut-kerut di mukanya seakan menyembulkan
perasaan sabar yang telah ia tempa selama bertahun-tahun. Perasaan miris saya
menjadi semakin ganda. Bayangan-bayangan istanasentris yang sang “Iblis” cipta
seakan hancur lebur. Hanya menyisakan sedikit keping-keping sejati yang
merupakan bagian-bagian dari potensi dirinya yang membuahkan hasil.
Ada sebuah premis yang diambil dari sebuah teori yang berkata bahwa manusia
itu makhluk ciptaan yang paling sempurna. Disisi lain, ada juga sebuah premis
yang berkata bahwa tidak ada manusia yang sempurna. Lalu, jika diambil
kesimpulan kedua premis itu dengan memakai teori logika Alex Lanur, tentu saja
antara kedua premis tersebut tak akan bisa menghasilkan sebuah kesimpulan yang
logis. Keduanya begitu kontradiktif. Mungkin, bisa jadi saya menganggap yang logis
adalah Manusia itu kompleks. Kajian tentang manusia membuat saya bersifat
universal, meskipun moral, material, spiritual, dan prinsip hidup selalu tak
bisa lepas dan akan selalu mengikuti di belakangnya.
Pada akhirnya, saya tak ingin menghakimi sang “Iblis” dengan
semena-mena. Bisa jadi, pria itu punya alasan tersendiri untuk menyembulkan
cerita-cerita tentang megahnya hidup di ranah istana-sentris. Yang justru pada
realitasnya, dia memang dalam tahta istanasentris yang megah, namun kemegahan
itu seperti mengurungnya dalam ketidak bebasan meskipun pria itu masih bisa
terbang dengan bebas, namun tidak sesuai dengan tujuan untuk terbang seperti
yang ia inginkan. Sang pangeran Iblis, kini telah menjelma dengan setelan
jasnya yang begitu rapi, potongan rambut klimis rapi yang sempurna, sepatu
pantofel berwarna hitam mengkilat. Sejati-jatinya tokoh Jay Gatsby, yang
misterius dan ternyata menyimpan sebuah lorong hitam yang menjadikan kedua
matanya sebagai pintu masuk menuju ruang rahasianya. Malam hingga dini hari itu
sejujurnya memang seperti mimpi, barangkali itu sudah menjadi kelebihan sang
Iblis. Pria itu sudah sangat terlalu piawai menerbangkan dan melayani para
penumpang meletup bebas di ketinggian 23.000 kaki dari permukaan air laut.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar