My dear heart, seems like a year
Since you’ve been out of my sight
Semisal hari itu adalah lima tahun
yang lalu, Bastian adalah serupa dengan pagi yang masih terlalu muda untuk
mengenal matahari yang menemani lebih unggul di terang hari. Ketermudaannya masih
betapa merindukan kehangatan sebuah pelukan, jari jemari yang saling berdekap
lekat, dan candaan manja yang beradu dengan keterdewasaan yang ia kenal bernama
kasih. Lima tahun lalu, Bastian genap berusia diakhir kepala sepuluhnya, 19
tahun. Dan itu kali pertama dia bertemu lelaki itu. Si kambing gunung dengan
tanduknya yang kokoh berkelamin jantan.
Sekiranya hari itu adalah lima tahun
sesudahnya, usianya kini sudah menginjak di urutan keempat dalam jajaran angka
dua puluh. Dua puluh empat. Bastian masih laki-laki yang sama, namun ada
beberapa sedikit keterubahan yang ia tekan dan pendam sendiri untuk hanya
disimpan di relung hatinya. Menyimpannya mirip dengan sebuah koleksi lampau
benda-benda klasik seperti yang ia suka. Hari itu juga, dia sengaja memberanikan
dirinya untuk sedikit menengok kembali apa yang ia simpan itu.
Bastian memasuki sebuah ruangan dengan arsitektur kental berciri khas
Belanda. Disana akan diadakan pertunjukan teater. Di dalam ruangannya ramai,
lampu-lampu penerang berdecak riuh membentuk gugusan cahaya berwarna kuning
pucat terang, kepala-kepala berambut berhamburan terduduk lesehan di lantai
kayu berlapis karpet hijau yang di gelar diatasnya, dalam keramaian itu dia
melihat lelaki yang untuk kali pertama ia temui lima tahun silam. Bastian hanya
melihat, menahan dirinya untuk tidak melekatkan pandang yang terlalu pada sosok
itu, lima tahun sudah membuatnya terbiasa dengan penahanan diri. Dia segera
saja berhambur masuk mengikuti seorang teman yang berjalan di depannya. Bastian
berjalan masuk, dan si kambing gunung jantan berjalan keluar. Dan pada satu
titik, saat pandangannya tak ingin terlalu memandang, kini bibirnya yang
mengenal terlalu itu. Dia menyapa lelaki itu. Sebuah nama terbang mengalir
keluar kembali dari bibirnya setelah lima tahun hanya sesekali ia tiupkan.
Suara yang masih sama saling tersembul keluar dari keduanya. Pandang keduanya
masih sama, namun dalam gejolak yang berbeda yang mungkin serupa dengan rindu
dan kaget. Awal pertemuan itu tak berlangsung lama, yang Bastian ingat hanya
sebuah kecupan dan tatapan mata keduanya yang saling bertanding mengurai
kembali apa yang terajut lima tahun lalu.
Dan yang tak pernah Bastian mengira, awal pertemuan itu berlanjut hingga
dini hari dengan dingin yang tak menusuk kulit dari kota Surabaya. Ia benar tak
mengira, yang terbersit dalam pikir sebelumnya hanyalah menengok sebentar apa
yang tersimpan di bilik hatinya. Sama seperti yang ia lakukan saat umur
perkenalannya dengan si kambing gunung masih menginjak satu tahun, saat itu ia juga
hanya menengoknya saja karena memang waktu itu pikirannya masih membentang
tentang perkara kasih itu bukan sebuah susunan cerita yang rumit. Apa yang tak
pernah ia kira sebelumnya, di hari itu perlahan terajut kembali walau segalanya
sudah serba mengenal keterubahan. Keduanya saling mendekap kembali, diluar
perkiraan Bastian sebelumnya.
“Cara menyetirmu masih tetap sama, ya,” celetuk suara seorang pria
beradu dengan suara angin menderu yang dilawan oleh kecepatan kendaraan yang
ditumpangi Bastian dan pria itu.
Bastian mengernyitkan dahinya, pencampuran antara dirinya sedang dibuat
sedikit bingung oleh ucapan pria tersebut dengan decak tiba-tiba yang mulai
bergerumul di dasar hatinya. “Dia masih ingat?” ucap Bastian dalam hati. “Aku
malah sudah lupa, sejujurnya aku berusaha untuk tidak mengingat dimana lima
tahun lalu kita juga pernah satu kendara,” tambahnya dalam hati lagi.
“Tetap sama bagaimana?” Bastian melontarkan tanya kepada pria itu.
Bentuk dari akumulasi kekagetan bilik hati dan bingung akan menimpali ucapan
pria itu dengan apa.
Tak ada jawaban.
“Maksudku memang cara menyetirku seperti apa?” dia mencoba memperjelas
pertanyaan yang ia lontarkan sebelumnya. Namun, hingga kendaraannya mulai
berbelok arah dari jalan lurus yang panjang, pria itu tak kunjung menjelaskan
maksud ucapannya. Bastian menarik nafasnya dalam, sembari masih menerka
diantara bingung dan kaget. Sejujurnya, dia tak tau harus merasa gembira
ataukah sedih ketika mengetahui pria itu masih ingat bagian kecil-yang mungkin
bagi Bastian tak penting-di benak otaknya yang kini mulai sedikit demi sedikit
termakan usia.
“Sekarang sudah balik ke Surabaya?” bibir pria itu yang sedari tadi tak
menjawab malah berbalik melontarkan pertanyaan dalam topik yang berbeda.
Bastian berdeham. “Maksudku sudah permanen balik ke Surabaya?” tambah pria itu.
“Belum bisa dibilang seperti itu,” Jawab Bastian mengambang. Konsentrasi
menyetirnya sedikit terpecah. Hari itu malam minggu, ruas-ruas jalanan riuh
oleh kepadatan. Menyetir sambil mengobrol tentu membutuhkan kesempatan sedikit
dari jalanan padat yang mengalir bebas dari kemacetan yang tercipta.
“Lalu?”
“Ya..lalu…” Bastian menekan klakson kendaraannya dua kali. Mobil di
depannya tak kunjung tancap gas padahal kendaraan di depan mobil tersebut sudah
perlahan melesat maju menyisakan space
jalan yang cukup lebar untuk mobil tersebut melaju ke depan. Sementara di
belakang Bastian, bertubi-tubi riuh klakson kendaraan berteriak tanpa padam
menyuarakan emosi tak sabarnya. Bastian mengikuti gerakan tersebut, karena
memang mobil di depannya cenderung kebangetan. “Maunya gimana, sih, ini orang?”
Bastian mulai menggerutu.
Genap delapan kali klakson dari kendaraan Bastian berbunyi, mobil di
depannya baru mulai melaju ke arah depan. Kontan saja kendaran-kendaraan di
belakangnya segera berebut behamburan melaju ke depan secara tak sabar.
“Macetttt…Surabaya sekarang malesin banget, ya..jalanannya. Apa bedanya
sama Jakarta,” gerutu si pria tiba-tiba. Sedikit terbilang seperti menyindir
memang. Di dalam benak Bastian, bilik terdalamnya kembali berbisik perlahan
sembari dia masih menancapkan titik fokusnya pada kendaraannya. Pria itu masih
gemar menyindir.
Selepas jalanan mulai lancar dan keriuhan mulai padam, Bastian berbelok
lagi sehabis jalan yang seharusnya pendek tercipta menjadi jalan panjang karena
kemacetan tadi. Kendaraannya menuju ke sebuah kedai makan. Pria itu ingin
menyesap makanan khas kota ini. Katanya ia rindu masakan Jawa Timur, disamping
dia juga rindu dengan teman-temannya di kota ini-yang juga teman dari Bastian.
Setelah dua kelokan Bastian jelajahi, dia berhenti dan memuntahkan diri dari
kendaraannya.
“Oh, ya..tadi sampai dimana ngobrolnya?” celetuk Bastian.
Pria itu memberengut. Menampakan mimik wajahnya itu ke arah Bastian tanpa
sepatah katapun.
Menanggapi reaksi pria tersebut, sejujurnya memang membuat semangat
Bastian untuk mengobrol dengannya menjadi padam. Berurusan dengan pria itu
memang tak pernah tuntas. Terbilang sering menggantung. Tetapi, lebih dari lima
tahun ini, sudah bukan hal asing baginya untuk memakluminya sebagai kebiasaan
yang tak berubah dari si kambing gunung.
Memasuki kedai, dari kejauahan di titik pintu masuk, keduanya melihat
segerombol lelaki dan perempuan yang kesemuanya mereka kenali duduk pada sebuah
meja kayu hitam persegi panjang. Gerombolan itu adalah kelompok besar-kalau
saja memang tak ingin disebut kelompok kecil dari teman-teman si kambing gunung
dan Bastian. Lingkaran perteman mereka di kota ini masih dalam satu sirkulasi
memutar yang sama. Bastian merasa beruntung setidaknya, karena pertemuannya
kembali dengan si kambing jantan tak membuat hanya mereka berdua duduk bersama
dalam satu meja. Karena Bastian hanya ingin mengintip sebentar bilik hatinya,
hanya sebentar, dan tak lebih.
Seorang perempuan melambaikan tangan dari satu titik di meja persegi
panjang hitam itu. Si Pria tersenyum simpul dan segera berhambur berjalan
menuju ke arahnya. Bastian mengikutinya di belakang. Berjalan santai sembari
menelisik sosok si kambing gunung dari belakang. Pria itu tak berubah fisiknya,
meskipun usianya kian renta, hanya beberapa lemak di bagian-bagian tubuhnya
tertentu menyembul di balik kaos warna merah yang ia kenakan. Dan Bastian hanya
menghembuskan nafasnya seketika.
Di meja panjang itu, riuh seketika menyergap. Ada celotehan-celotehan
jenaka yang saling terbang dari mulut-mulut lelaki dan perempuan. Beradu dengan
asap-asap rokok hasil sesapan batang-batang tembakau yang juga datang dari
mulut-mulut lelaki dan perempuan yang sama. Gemericik tawa cekikikan sering
juga mengisi diantara keduanya. Bastian maupun si kambang gunung melebur
diantara kesemuanya. Namun ada salah satu sisi terdalam yang serasa ingin
mengasingkan diri. Di bilik itu, mungkin ada sebuah rindu yang kembali
berdentang karena telah dicoba-coba untuk disentuh. Mereka terbang, bergerilya
membentuk gugusan keinginan lampau yang entah sebenarnya tak ditahu bisa
meraihnya atau tidak. Mereka meluap, dan dibalik senyum, kata-kata, dan cekik
tawa Bastian dia menatapi lama menelanjangi si kambing gunung. Bagaimana tidak,
dia adalah sosok yang datang sebelum Bastian bertemu dengan Centaurus, manusia
berbadan kuda yang ia temui empat tahun lalu. Mereka, Bastian dan Centaurus,
saling mencinta. Dia sempat melupakan si kambing gunung karena memang ia ingin
melepaskan diri dari segala yang tidak pernah tuntas. Tapi perihal kasih,
perihal yang katanya cinta memang tidak akan pernah tuntas ataupun musnah.
Bastian menganggapnya tuntas, tapi tahun-tahun belakangan ia tersadar jika
cinta tertelan hidup-hidup di alam bawah sadarnya.
“Hei...Hallooo!!” sembur si kambing gunung ke arah Bastian. “Ngelamun
aja, nih lacur satu ini. Haha,” sambung candanya.
“Oh…hei,” kesadaran Bastian kembali ke tubuhnya. “Kok lacur, sih?.
Haha.”
“Haha..udah ikut dia ke Jakarta aja, sih. Hidup sama dia. Pekerjaan di
sana lebih banyak, lho,” salah satu perempuan yang duduk di dekat Bastian dan
si kambing gunung ikut menyambung obrolan.
“Haha. Enggak kuat bayar tarifnya dia aku. Pasti mahal,” si kambing
gunung kembali cekikan. Tetiba dia mendekatkan tubuhnya ke arah Bastian,
menyodorkan tangan kanannya hingga menyentuh pundak kanan Bastian. Lalu menarik
tubuh Bastian ke arah tubuhnya, hingga bersentuhan dengan lengan dan dada pria
tersebut.
Mata Bastian membelalak. Namun hanya sebentar, karena ia tak ingin
teman-temannya dan si kambing gunung tau kalau dia terperosok dalam kaget.
“Balik, yuk!” si kambing gunung kembali berkata, masih mendekap Bastian
dengan tangan kanannya. “Aku baliknya sama kamu lagi, ya?” dia menggoyang-goyangkan
tubuh Bastian, tapi ia tak menjawabnya.
Baginya, bagi Bastian ini mungkin sedikit terbilang konyol. Dia ingin
segera tersadar karena ini memang bukan mimpi. Kalaupun memang mimpi, dia tak
ingin mimpinya digerayangi oleh pria itu. Setidaknya itu yang diinginkan akal
budinya dan rasionalitasnya. Bukan apa yang terselip di dalam bilik hati dan
alam awah sadarnya. “Iya,” jawab Bastian pendek. Tak kuasa menolak.
***
“Kamu sekarang pacarnya siapa?” dini hari ruas-ruas jalanan kota sudah
cukup lengang. Pria itu kembali memecah keheningan perjalanannya dengan
Bastian. “Masih jalan sama si Sagitarius?”
Bastian menggeleng. Jalanan sudah sepi, konsentrasinya tak perlu terlalu
ia bagi antara fokus menyetir dengan mengobrol. “Sudah enggak sejak dua tahun
lalu.”
“Lalu?”
Bastian kembali menggeleng.
“Enggak jalan sama siapa-siapa, tapi ngelacur jalan terus?. Haha” sindir
si kambing jantan.
“Haha..” timpal Bastian dengan tawa. “Daritadi nyindiri lacur melacur
terus, sih,” sergahnya.
“You’re grown up, now. Aku
beruntung bisa ketemu kamu lagi di Surabaya.”
“Maksudnya?. Apa hubungannya lacur sama tumbuh?”
“Memang tak ada hubungannya, Sayang. But,
I just feels so lucky today.”
Batin Bastian kembali terpengarah. Panggilan itu tersembul kembali sejak
terakhir, lima tahun lalu ia dengar dari bibir pria itu. “Aku juga merasa
beruntung sebenarnya,” ucapanya. Namun, hanya dalam hati. Tak ingin ia ucapakn
begitu saja.
“Cinta itu eksistensialis*, Sayang. You’re
grown up now, and I think you already know it,” tambahnya lagi.
Sebuah tanda tanya besar kembali menghunjam di benak Bastian. “Darimana
kamu tau aku tahu itu?”
“Tak perlu tahu darimana-mana. Waktu selalu punya banyak cara untuk
membuat kita tahu akan sesuatu,” ucap si kambing gunung datar. “Nanti, aku
turun di luar aja, yah.”
“Enggak masuk sekalian aja?” timpal Bastian.
“Tak usah. Kemarin aku diantar pulang seseorang juga cuma di depan,
kok,” terang si kambing gunung pendek.
“Oh…” Bastian.
Kendaraan Bastian menerobos jalanan menembus angin dini hari kota
Surabaya yang tak seberapa dingin. Jalanan tak seriuh malam tadi, lengang sudah
menggerayangi kota ini. Menerobos masuk di sisi terdalam bilik hatinya, tak ia
jumpai keriuhan lengang yang menggema disana. Di dalamnya memang terasa riuh,
tapi justru hangat ia rasakan di bilik kecil yang bisa menampung jutaan
partikel yang mampu menyergap ke dalamnya. Hangat yang tak pernah ia mengira
sebelumnya. Sebelumnya, yang hanya ingin ia menengoknya sebentar. Sebentar
saja. Hingga, sepanjang perjalanan kembali dari kedai, salah satu tangan
Bastian tak pernah terlepas dari genggaman erat pria itu, si kambing jantan.
“Benar, mau turun di depan saja?. Tak perlu masuk kedalam?” kendaraannya
sudah berhenti di sebuah bangunan tempat pria itu tinggal menginap.
“Yeah, no problem,” pria itu
bergegas menata tasnya. Meraih sesuatu yang sedari tadi ia genggam erat, dan
mengecupnya perlahan dengan hangat. “Terima kasih, Sayang,” si kambing gunung
tersenyum simpul. “Hati-hati,” Bastian beku tanpa kata-kata.
“Hati-hati juga besok pulang ke Jakarta,” tatap Bastian kosong. Si
kambing gunung tersenyum simpul kembali dengan hangat, lalu segera bergegas
menuju ke dalam.
Bastian menatap pria itu hingga wujud bayangnya hilang. Dan segera saja
bergegas menarik gas kendaraanya melaju. Angin dini hari dengan segera menyapu
wajahnya, walau dingin tak seberapa menusuki kulit di julur-julur tubuhnya.
Bilik hatinya masih saja bergejolak, barangkali apa yang ia simpan selama lima
tahun ini ingin dimuntahkan keluar. Dia ingin terbang bebas, dia tak ingin
terbelenggu lagi di dalam bilik sempit itu, bergerumul dengan kawan-kawannya
yang lain yang kian lama semakin banyak terjejal masuk di dalam bilik itu.
Namun, sepertinya itu semua mustahil. Kasih, cinta mungkin terbilang memang
eksistensialis. Kebebasan hidup di sisi terdalam bilik hati, mungkin saja sudah
menjadi bagian kebebasannya. Dan…selama lima tahun dan setelahnya, Bastian
hanya membiarkannya terdiam disana. Hanya bergeming.
And dear heart, I want you to know
I’ll leave your arms never more
*) eksistensialisme : aliran
filsafat yang pahamnya berpusat pada manusia individu yang bertanggung jawab
atas kemauannya yang bebas tanpa memikirkan secara mendalam mana yang benar dan
mana yang tidak benar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar