CLICK HERE FOR FREE BLOGGER TEMPLATES, LINK BUTTONS AND MORE! »

Rabu, 22 Februari 2012

Oh, I Never Know...







  Aku mungkin bukan seperti orang kebanyakan, tak seberapa mencintai hujan yang katanya selalu memberikan ketentraman teduh duniawi di setiap tetesan air yang jatuh berpelukan dengan tanah. Mungkin, kali ini berbeda. Aku menjelma menjadi kebanyakan orang yang begitu mencintai hujan, lebih tepatnya saat dua bulan lalu dirimu membuka kedua belah tanganmu, sama persis dengan imajinasiku jika suatu saat nanti kita juga akan menjelma, menjadi sepasang kekasih yang pertama kali bercinta di luar angkasa.
  Aku tidak akan pernah tahu, yang pada akhirnya aku memutuskan untuk bertanya, untuk sekedar menjawab segala rupa yang mungkin telah sedikit mengikis diriku sendiri, benar-benar diriku sendiri. Aku berpura-pura untuk tidak akan pernah tahu, sebelumnya mungkin aku sudah sedikit menebak, apa kira-kira yang diinginkan oleh hati, hati yang dalam pengertianmu merupakan anggota badan di daerah perut sisi sebelah kanan. Namun, karena aku terlalu takut untuk meyakini yang aku mau, aku lebih memilih untuk demikian, berpura-pura tidak akan pernah tahu. Tentu saja, segala hal palsu penuh kepura-kepuraan sesungguhnya sudah menggerogoti tanpa ampun hingga tersisa sebuah kebimbangan.
  Aku tidak akan pernah tahu, dan aku tidak akan pernah peduli jika dirimu tak menginginkan sedikitpun tentang apa semua ini. Aku mungkin sudah terlalu letih, waktu mungkin juga demikian hingga dia berhenti sejenak untuk menjawab segalanya yang terjadi.
  Terhempas bebas kembali tanpa oksigen, bebas, hingga memoriku dengan otomatis memainkan sebuah cerita masa lalu tentang suatu cerita klise yang pada akhirnya mampu aku rampungkan dengan menyisakan noda kecil bulat di dalam organ tubuh di perut sisi sebelah kanan. Mungkin saja sebuah media pengingat, yang aku sendiri tak tahu seperti apa wujudnya. Berbisik lirih, karena sesungguhnya apa yang terjadi sekarang hanyalah sebuah flat shoes karet, yang mampu tergilas habis dengan sepatu armadillo melegenda dari cerita masa lalu. Terhempas bebas dengan air mata menggenang terbang yang juga dengan bebas, sepatu bersol tebal itu menendangku tepat di kepala bagian belakang. Sakit, cukup sakit. Namun, dengan segera mampu membuatku tersadar. Tak seharusnya seperti ini.
  Aku tidak akan pernah tahu, sedikit yang aku tahu, kau masih begitu menikmati hamparan rerumputan hijau, dengan dua cangkir teh bercampur sari lemon. Dua cangkir, satu cangkir untukmu. Dan cangkir yang satunya, yang mampu kutebak hanyalah sosok hologram dengan gaun pengantin yang sangat cantik, berwarna putih, yang sangat begitu kau banggakan di setiap perbincangan tentang pernikahan, namun aku tak suka. Kenapa harus putih, kalau saja kita bisa benar-benar menjadi sepasang kekasih yang pertama kali bercinta di luar angkasa, aku akan membuat warna itu menjadi seperti pelangi. Lebih indah bukan?, kesucian warna putih dari sebuah pernikahan (katamu), bukankah sudah menyatu di dalamnya hingga bersatu menjadi warna yang cantik. Putih menjadi pelangi, tak sadarkah apa yang terjadi sangat berbeda dengan apa yang terjadi kebanyakan?.
  Aku tidak akan pernah tahu, bagaimana hujan bisa berhenti seketika kali ini. Mendung masih menghujani belantara awan di atas sana. Aku tidak akan pernah tahu, kemanakah arus ini akan membawaku kelak. Aku tidak akan pernah tahu, akan menjadi seperti apa kelak. Katamu dilalui saja, katamu mengikuti arus saja. Baiklah, mungkin saja itu jawabannya. Mungkin. Dan aku lebih memilih untuk kembali berjalan di arus diriku sendiri. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar