Aku mungkin bukan seperti orang kebanyakan, tak seberapa mencintai hujan
yang katanya selalu memberikan ketentraman teduh duniawi di setiap tetesan air
yang jatuh berpelukan dengan tanah. Mungkin, kali ini berbeda. Aku menjelma
menjadi kebanyakan orang yang begitu mencintai hujan, lebih tepatnya saat dua
bulan lalu dirimu membuka kedua belah tanganmu, sama persis dengan imajinasiku
jika suatu saat nanti kita juga akan menjelma, menjadi sepasang kekasih yang
pertama kali bercinta di luar angkasa.
Aku tidak akan pernah tahu, yang pada akhirnya aku memutuskan untuk
bertanya, untuk sekedar menjawab segala rupa yang mungkin telah sedikit
mengikis diriku sendiri, benar-benar diriku sendiri. Aku berpura-pura untuk
tidak akan pernah tahu, sebelumnya mungkin aku sudah sedikit menebak, apa
kira-kira yang diinginkan oleh hati, hati yang dalam pengertianmu merupakan
anggota badan di daerah perut sisi sebelah kanan. Namun, karena aku terlalu
takut untuk meyakini yang aku mau, aku lebih memilih untuk demikian,
berpura-pura tidak akan pernah tahu. Tentu saja, segala hal palsu penuh
kepura-kepuraan sesungguhnya sudah menggerogoti tanpa ampun hingga tersisa
sebuah kebimbangan.
Aku tidak akan pernah tahu, dan aku tidak akan pernah peduli jika dirimu
tak menginginkan sedikitpun tentang apa semua ini. Aku mungkin sudah terlalu
letih, waktu mungkin juga demikian hingga dia berhenti sejenak untuk menjawab
segalanya yang terjadi.
Terhempas bebas kembali tanpa oksigen, bebas, hingga memoriku dengan
otomatis memainkan sebuah cerita masa lalu tentang suatu cerita klise yang pada
akhirnya mampu aku rampungkan dengan menyisakan noda kecil bulat di dalam organ
tubuh di perut sisi sebelah kanan. Mungkin saja sebuah media pengingat, yang
aku sendiri tak tahu seperti apa wujudnya. Berbisik lirih, karena sesungguhnya
apa yang terjadi sekarang hanyalah sebuah flat shoes karet, yang mampu tergilas
habis dengan sepatu armadillo melegenda dari cerita masa lalu. Terhempas bebas
dengan air mata menggenang terbang yang juga dengan bebas, sepatu bersol tebal
itu menendangku tepat di kepala bagian belakang. Sakit, cukup sakit. Namun,
dengan segera mampu membuatku tersadar. Tak seharusnya seperti ini.
Aku tidak akan pernah tahu, sedikit yang aku tahu, kau masih begitu
menikmati hamparan rerumputan hijau, dengan dua cangkir teh bercampur sari
lemon. Dua cangkir, satu cangkir untukmu. Dan cangkir yang satunya, yang mampu
kutebak hanyalah sosok hologram dengan gaun pengantin yang sangat cantik, berwarna
putih, yang sangat begitu kau banggakan di setiap perbincangan tentang pernikahan,
namun aku tak suka. Kenapa harus putih, kalau saja kita bisa benar-benar
menjadi sepasang kekasih yang pertama kali bercinta di luar angkasa, aku akan
membuat warna itu menjadi seperti pelangi. Lebih indah bukan?, kesucian warna
putih dari sebuah pernikahan (katamu), bukankah sudah menyatu di dalamnya
hingga bersatu menjadi warna yang cantik. Putih menjadi pelangi, tak sadarkah
apa yang terjadi sangat berbeda dengan apa yang terjadi kebanyakan?.
Aku tidak akan pernah tahu, bagaimana hujan bisa berhenti seketika kali
ini. Mendung masih menghujani belantara awan di atas sana. Aku tidak akan
pernah tahu, kemanakah arus ini akan membawaku kelak. Aku tidak akan pernah
tahu, akan menjadi seperti apa kelak. Katamu dilalui saja, katamu mengikuti
arus saja. Baiklah, mungkin saja itu jawabannya. Mungkin. Dan aku lebih memilih
untuk kembali berjalan di arus diriku sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar