Ayumi Hamasaki - You were...
Buku Harian Ken
Aku dan Pria. Bulan depan kami
sempurna menuju usia dua tahun untuk hubungan kami. Bukan waktu yang cukup
mudah. Tak cukup mudah untuk kami. Namun, untuk memperoleh kemudahan itu, kami
memilih untuk menjalaninya. Mungkin hanya itu jalan satu-satunya. Tanpa pernah
mengeluh apalagi menyerah atas hubungan kami berdua. Yang memang cukup
kompleks, cukup beresiko, diluar kendali dari sebuah kebiasaan yang sudah
tercipta seperti demikian di awal. Pria mencintaiku dengan apa adanya. Dengan
apa adanya selama dia bisa. Juga termasuk ketidak-bisaan dia dengan sebuah
komitmen. Barangkali, cinta yang mampu membuatku melupakan ketakmampuan dia
akan sebuah komitmen ada pada dirinya. Sama halnya dengan Pria, aku mencintai
dia dengan apa adanya. Mencintai dengan harapan dia adalah sosok terakhir dari
apa yang kucari akan cinta. Aku tau itu terdengar mustahil dan cukup egois.
Tapi cobalah melihat dari sudut pandangku. Sudut pandang hubungan kami berdua.
Sosok terakhir. Aku sudah lelah jika harus mencari sosok terakhir. Usia dua
tahun yang akan menjelang, akan membuktikan kalau dia memang benar-benar sosok
terakhir untukku.
Satu bulan menjelang usia dua
tahun. Sebagaimana Pria. Pria dengan ketidakmampuan dirinya untuk menerima
sebuah komitmen. Dengan kata lain, dia bisa memutuskan apapun kehendaknya tanpa
ada apapun yang menghalanginya. Sebuah perubahan dari perputaran bumi-pun
terjadi. Kami menyerah. Pria yang lebih menguasai menyerah. Aku berkeluh kesah.
Sedih. Terhantam sebuah batu besar keras yang dilempar Pria menuju ke arahku. Satu
bulan aku berkawan erat dengan tempat tidur. Dua bulan aku masih saja singgah
di tempat tidur yang sama, yang kini juga selalu berteman dengan tangisan. Tiga
bulan. Empat bulan. Lima Bulan. Aku ingin berjalan-jalan kembali. Aku berusaha
bangkit. Aku sudah lelah tertidur selama berbulan-bulan.
Berandai engkau kembali disini.
Berandai kami kembali bercakap di dekat jendela di sore hari. Berandai kami
terlelap di bawah selimut hitam berbintang di atas sana. Aku hanya bisa
berandai tanpa bisa sempurna menghapus sampai habis sosok Pria. Berkawan dengan
air mata, di bawah malam yang sunyi. Pria menyerah. Pria ingin kembali ke
perjalanan hidupnya sendiri. Katanya dia ingin mencoba jalan yang kata banyak
orang lebih benar. Kami berdua ternyata sudah benar-benar berakhir. Menyerah
untuk mengeratkan hubungan sesama jenis kami yang terbina karena cinta.
Menjelang dua tahun itu terlepas begitu saja. Kelemahan dan ketidak berdayaanku
kini dengan sempurna menguasai jiwaku. Barangkali memang benar apa yang dikata
banyak orang, cinta itu penjahat brutal yang siap menghabisi kita sampai tak
berdaya. Luluh lantah tak berdaya. Hingga kekasih baruku digantikan dengan
alkohol dan kemunculan sosok lain yang tak biasa untukku, Wanita. Mencobanya
detik demi detik. Menit demi menit. Jam demi jam. Ketidak berdayaanku membuat
jalan pikiranku terbang bebas tak berujung dan tak berstruktur runtun. Jikalau,
banyak orang bilang. Wanita itu sejatinya sosok yang paling benar bagi seorang
Pria. Bukan Pria dengan Pria. Wanita bukan wanita. Persetan dengan semua orang
bilang. Aku hanya Pria homoseksual yang mulai menjadi pria hidung belang dengan
mencoba bercinta dengan Wanita jalang. Persetan saja dengan segalanya. Cinta
memang busuk untuk segala macam hubungan. Segalanya dari yang normal, sampai
yang tidak normal dipandang orang seperti pecinta sesama jenis. Tak berguna
jika memilih mana yang lebih benar. Manusia bukanlah Tuhan.
***
Kenti Sugandhi *). Ibuku seorang
waria. Ayahku seorang pengusaha kaya raya, pecinta wanita, wanita-wanita yang
katanya bukan wanita yang yang sesungguhnya. Ada pepatah berkata, buah yang
jatuh tak akan jauh jatuhnya dari pohonnya berasal kemungkinan ada benarnya.
Aku diadopsi oleh mereka sejak aku belum sempurna berjalan, berucap, dan mampu
berdiri dengan kedua kakiku sendiri. Dengan ibu seorang waria dan Ayah pecinta
waria. Aku pada akhirnya memutuskan menjadi pecinta sesama. Bukan, bukan
berdasar pepatah buah yang jatuh. Disinilah mungkin mengapa aku bisa berkata
kemungkinan ada benarnya pepatah itu. Segalanya hanya kembali kepada si buah.
Pohon hanya menuntun dari belakang. Pohon bukan membentuk buah agar menjadi
matang. Karena pohon hanya sama-sama manusia. Sejatinya, sama-sama tak
sempurna. Hanya mengajarkan beberapa hal. Hingga buah mengerti apa itu hidup.
Sehingga dirinya mampu menjalani hidup itu seperti apa. Pohon memberikan
kebebasan si buah untuk memilih. Berani bertanggung jawab atas apa yang sudah
dipilih. Tanpa mengajarkan untuk meraung-raung menangis kembali ke hadapan
pohon, saat buah tak mampu bahkan tak berani menghadapi tanggung jawabnya.
Orang tua dan anak hanyalah sama-sama manusia. Hanyalah sebuah strkutur
hierarki yang dibuat manusia yang membedakan mereka. Aku mencintai mereka sebagaimana
aku mencintai diriku sebagai pecinta sesama jenis. Walau segalanya berakhir
demikian jadinya.
Dua butir peluru terlepas bebas
dari pelatuknya berasal. Berhasil menembus dengan sempurna. Ada sebuah sebab
materi dari terlepasnya kejadian itu. Hingga meninggalkan sebuah kepergian dan
ada sesuatu yang masih berupa. Kepergian yang hanya meninggakan aku sebuah
nama. Yang tak pernah kutahu apa arti sebenarnya dari nama terkait. Terselip
sebuah makna dari bahasa yang tak banyak orang tau. Ibu sejatinya seorang pria.
Pria yang gemar bermain mainan anak perempuan bernama Barbie. Katanya sedikit
konyol ketika usiaku sudah memperkenalkanku dengan makna sebenarnya sebuah
nama. Nama itu indah. Bisa dikatakan indah dalam pengertian lain, karena
manusia sejatinya tidak hanya memiliki bagian indah, ada bagian lain dari
sebuah indah. Kekasih boneka Barbie, yang bersatu sejajar dengan kelamin pria
dalam bahasa ibuku. Bahasa waria yang dipelajarinya secara otodidak. Tanpa
penjara kencang sebuah institusi untuk mempelajarinya. Dia hanya
meninggalkannya saat mulai pergi menjauh mengikuti sebuah cahaya terang bersama
kekasihnya, Ayahku.
Sebuah kebebasan. Kebebasan untuk
memilih atas apa yang ingin dipilih. Kesedihan yang sudah menjelma menjadi
ketidak-mampuanku untuk melakukan apapun. Terpenjara dalam sebuah botol rapat
berwarna hijau bertuliskan Bir Bintang. Katanya, bir paling nikmat daripada bir
buatan luar negeri. Bercinta sepanjang waktu dengan wanita jalang yang tak
pernah terencana dalam imajinasi sebelumnya. Barangkali memang waktu untuk
kembali ke jalan yang benar. Jalan benar yang lain seperti makna indah dari
namaku. Bukan sebuah perbuatan balas dendam. Aku hanya ingin menuruti apa yang
aku inginkan. Aku sudah lelah merencanakan hal yang indah dalam menjalani.
***
Buku Harian Ken dan Indah
Kami berdua malaikat yang
diciptakan Tuhan. Dua malaikat yang
diciptakan dengan kemampuan yang tidak sempurna seperti malaikat lain. Malaikat
tak memiliki masa lalu yang kelam. Dia tak pernah bersentuhan dengan bir. Tak
pernah bercinta dengan wanita jalang. Tak pernah bercinta dengan wanita yang
belum bisa dikatakan sebagai istri. Dan malaikat tak pernah dan tak memilki
rasa sakit dan penyakit. Malaikatpun tak memiliki sosok yang bodoh. Namun, kami
bahagia. Kami bahagia, Tuhan.
***
Buku Harian Ken dan...... Ibu, Ayah,
dan Indah
Tuhan, ijinkan aku menangis
kepadamu. Aku tak pernah merasa sedih
seperti saat ini. Kehampaan yang memang kosong. Ketika segala hal disampingku telah
pergi. Sesuatu yang pergi yang tak pernah bisa kugilas habis pada pikiranku.
Tuhan, ijinkan aku menjadi bodoh.
Aku melihat sayup-sayup siluet
mereka dari kejauhan. Pada sebuah hamparan luas taman yang indah dimana aku
berdiri saat ini. Tiga siluet yang seharusnya empat. Namun sudahlah, aku tak
menginginkan hal yang menggenapi menjadi empat untuk saat ini. Lamat-lamat,
siluet itu menjadi bercahaya terang. Hingga aku mampu melihat wujud ketiganya
dengan sempurna.
Tuhan, terima kasih telah
mengijinkan aku menangis dan menjadi bodoh.
Kembali. Saat semuanya masih
disini. Suatu kemustahilan untuk menginginkan waktu yang telah pergi. Mendekat.
Semakin dekat. Hingga hanya berjarak sejengkal tangan. Semuanya pun masih ada
disini. Suatu kemustahilan yang diijinkan untuk terjadi. Ada sosok ibuku, ayahku,
dan gadisku di depan posisi berdiriku yang tak berubah dari semula. Meraih
ketiganya. Erat. Erat yang abadi. Karena di tempat ini segala sesuatu diijinkan
untuk terjadi secara abadi.
Terima kasih, Tuhan.
*) Inspired by cerpen “Namanya..” karya Djenar Maesa Ayu. “Memek tidak tahu, kenapa orangtuanya
menamainya begitu. Padahal dari awala me saja, banyak nama-nama lain bisa
dibuat semisal, Medy, Melly, Merry, mengapa harus Memek? Apalagi nama Memek
disandingkan langsung dengan nama bapaknya, Memek Sumarno”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar