CLICK HERE FOR FREE BLOGGER TEMPLATES, LINK BUTTONS AND MORE! »

Kamis, 03 November 2011

You Were...


Ayumi Hamasaki - You were...

Buku Harian Ken

Aku dan Pria. Bulan depan kami sempurna menuju usia dua tahun untuk hubungan kami. Bukan waktu yang cukup mudah. Tak cukup mudah untuk kami. Namun, untuk memperoleh kemudahan itu, kami memilih untuk menjalaninya. Mungkin hanya itu jalan satu-satunya. Tanpa pernah mengeluh apalagi menyerah atas hubungan kami berdua. Yang memang cukup kompleks, cukup beresiko, diluar kendali dari sebuah kebiasaan yang sudah tercipta seperti demikian di awal. Pria mencintaiku dengan apa adanya. Dengan apa adanya selama dia bisa. Juga termasuk ketidak-bisaan dia dengan sebuah komitmen. Barangkali, cinta yang mampu membuatku melupakan ketakmampuan dia akan sebuah komitmen ada pada dirinya. Sama halnya dengan Pria, aku mencintai dia dengan apa adanya. Mencintai dengan harapan dia adalah sosok terakhir dari apa yang kucari akan cinta. Aku tau itu terdengar mustahil dan cukup egois. Tapi cobalah melihat dari sudut pandangku. Sudut pandang hubungan kami berdua. Sosok terakhir. Aku sudah lelah jika harus mencari sosok terakhir. Usia dua tahun yang akan menjelang, akan membuktikan kalau dia memang benar-benar sosok terakhir untukku.

Satu bulan menjelang usia dua tahun. Sebagaimana Pria. Pria dengan ketidakmampuan dirinya untuk menerima sebuah komitmen. Dengan kata lain, dia bisa memutuskan apapun kehendaknya tanpa ada apapun yang menghalanginya. Sebuah perubahan dari perputaran bumi-pun terjadi. Kami menyerah. Pria yang lebih menguasai menyerah. Aku berkeluh kesah. Sedih. Terhantam sebuah batu besar keras yang dilempar Pria menuju ke arahku. Satu bulan aku berkawan erat dengan tempat tidur. Dua bulan aku masih saja singgah di tempat tidur yang sama, yang kini juga selalu berteman dengan tangisan. Tiga bulan. Empat bulan. Lima Bulan. Aku ingin berjalan-jalan kembali. Aku berusaha bangkit. Aku sudah lelah tertidur selama berbulan-bulan.

Berandai engkau kembali disini. Berandai kami kembali bercakap di dekat jendela di sore hari. Berandai kami terlelap di bawah selimut hitam berbintang di atas sana. Aku hanya bisa berandai tanpa bisa sempurna menghapus sampai habis sosok Pria. Berkawan dengan air mata, di bawah malam yang sunyi. Pria menyerah. Pria ingin kembali ke perjalanan hidupnya sendiri. Katanya dia ingin mencoba jalan yang kata banyak orang lebih benar. Kami berdua ternyata sudah benar-benar berakhir. Menyerah untuk mengeratkan hubungan sesama jenis kami yang terbina karena cinta. Menjelang dua tahun itu terlepas begitu saja. Kelemahan dan ketidak berdayaanku kini dengan sempurna menguasai jiwaku. Barangkali memang benar apa yang dikata banyak orang, cinta itu penjahat brutal yang siap menghabisi kita sampai tak berdaya. Luluh lantah tak berdaya. Hingga kekasih baruku digantikan dengan alkohol dan kemunculan sosok lain yang tak biasa untukku, Wanita. Mencobanya detik demi detik. Menit demi menit. Jam demi jam. Ketidak berdayaanku membuat jalan pikiranku terbang bebas tak berujung dan tak berstruktur runtun. Jikalau, banyak orang bilang. Wanita itu sejatinya sosok yang paling benar bagi seorang Pria. Bukan Pria dengan Pria. Wanita bukan wanita. Persetan dengan semua orang bilang. Aku hanya Pria homoseksual yang mulai menjadi pria hidung belang dengan mencoba bercinta dengan Wanita jalang. Persetan saja dengan segalanya. Cinta memang busuk untuk segala macam hubungan. Segalanya dari yang normal, sampai yang tidak normal dipandang orang seperti pecinta sesama jenis. Tak berguna jika memilih mana yang lebih benar. Manusia bukanlah Tuhan.
***

Kenti Sugandhi *). Ibuku seorang waria. Ayahku seorang pengusaha kaya raya, pecinta wanita, wanita-wanita yang katanya bukan wanita yang yang sesungguhnya. Ada pepatah berkata, buah yang jatuh tak akan jauh jatuhnya dari pohonnya berasal kemungkinan ada benarnya. Aku diadopsi oleh mereka sejak aku belum sempurna berjalan, berucap, dan mampu berdiri dengan kedua kakiku sendiri. Dengan ibu seorang waria dan Ayah pecinta waria. Aku pada akhirnya memutuskan menjadi pecinta sesama. Bukan, bukan berdasar pepatah buah yang jatuh. Disinilah mungkin mengapa aku bisa berkata kemungkinan ada benarnya pepatah itu. Segalanya hanya kembali kepada si buah. Pohon hanya menuntun dari belakang. Pohon bukan membentuk buah agar menjadi matang. Karena pohon hanya sama-sama manusia. Sejatinya, sama-sama tak sempurna. Hanya mengajarkan beberapa hal. Hingga buah mengerti apa itu hidup. Sehingga dirinya mampu menjalani hidup itu seperti apa. Pohon memberikan kebebasan si buah untuk memilih. Berani bertanggung jawab atas apa yang sudah dipilih. Tanpa mengajarkan untuk meraung-raung menangis kembali ke hadapan pohon, saat buah tak mampu bahkan tak berani menghadapi tanggung jawabnya. Orang tua dan anak hanyalah sama-sama manusia. Hanyalah sebuah strkutur hierarki yang dibuat manusia yang membedakan mereka. Aku mencintai mereka sebagaimana aku mencintai diriku sebagai pecinta sesama jenis. Walau segalanya berakhir demikian jadinya.

Dua butir peluru terlepas bebas dari pelatuknya berasal. Berhasil menembus dengan sempurna. Ada sebuah sebab materi dari terlepasnya kejadian itu. Hingga meninggalkan sebuah kepergian dan ada sesuatu yang masih berupa. Kepergian yang hanya meninggakan aku sebuah nama. Yang tak pernah kutahu apa arti sebenarnya dari nama terkait. Terselip sebuah makna dari bahasa yang tak banyak orang tau. Ibu sejatinya seorang pria. Pria yang gemar bermain mainan anak perempuan bernama Barbie. Katanya sedikit konyol ketika usiaku sudah memperkenalkanku dengan makna sebenarnya sebuah nama. Nama itu indah. Bisa dikatakan indah dalam pengertian lain, karena manusia sejatinya tidak hanya memiliki bagian indah, ada bagian lain dari sebuah indah. Kekasih boneka Barbie, yang bersatu sejajar dengan kelamin pria dalam bahasa ibuku. Bahasa waria yang dipelajarinya secara otodidak. Tanpa penjara kencang sebuah institusi untuk mempelajarinya. Dia hanya meninggalkannya saat mulai pergi menjauh mengikuti sebuah cahaya terang bersama kekasihnya, Ayahku.

Sebuah kebebasan. Kebebasan untuk memilih atas apa yang ingin dipilih. Kesedihan yang sudah menjelma menjadi ketidak-mampuanku untuk melakukan apapun. Terpenjara dalam sebuah botol rapat berwarna hijau bertuliskan Bir Bintang. Katanya, bir paling nikmat daripada bir buatan luar negeri. Bercinta sepanjang waktu dengan wanita jalang yang tak pernah terencana dalam imajinasi sebelumnya. Barangkali memang waktu untuk kembali ke jalan yang benar. Jalan benar yang lain seperti makna indah dari namaku. Bukan sebuah perbuatan balas dendam. Aku hanya ingin menuruti apa yang aku inginkan. Aku sudah lelah merencanakan hal yang indah dalam menjalani.
***

Buku Harian Ken dan Indah

Kami berdua malaikat yang diciptakan Tuhan. Dua malaikat  yang diciptakan dengan kemampuan yang tidak sempurna seperti malaikat lain. Malaikat tak memiliki masa lalu yang kelam. Dia tak pernah bersentuhan dengan bir. Tak pernah bercinta dengan wanita jalang. Tak pernah bercinta dengan wanita yang belum bisa dikatakan sebagai istri. Dan malaikat tak pernah dan tak memilki rasa sakit dan penyakit. Malaikatpun tak memiliki sosok yang bodoh. Namun, kami bahagia. Kami bahagia, Tuhan.
***

Buku Harian Ken dan...... Ibu, Ayah, dan Indah

Tuhan, ijinkan aku menangis kepadamu.  Aku tak pernah merasa sedih seperti saat ini. Kehampaan yang memang kosong. Ketika segala hal disampingku telah pergi. Sesuatu yang pergi yang tak pernah bisa kugilas habis pada pikiranku.

Tuhan, ijinkan aku menjadi bodoh.

Aku melihat sayup-sayup siluet mereka dari kejauhan. Pada sebuah hamparan luas taman yang indah dimana aku berdiri saat ini. Tiga siluet yang seharusnya empat. Namun sudahlah, aku tak menginginkan hal yang menggenapi menjadi empat untuk saat ini. Lamat-lamat, siluet itu menjadi bercahaya terang. Hingga aku mampu melihat wujud ketiganya dengan sempurna.

Tuhan, terima kasih telah mengijinkan aku menangis dan menjadi bodoh.

Kembali. Saat semuanya masih disini. Suatu kemustahilan untuk menginginkan waktu yang telah pergi. Mendekat. Semakin dekat. Hingga hanya berjarak sejengkal tangan. Semuanya pun masih ada disini. Suatu kemustahilan yang diijinkan untuk terjadi. Ada sosok ibuku, ayahku, dan gadisku di depan posisi berdiriku yang tak berubah dari semula. Meraih ketiganya. Erat. Erat yang abadi. Karena di tempat ini segala sesuatu diijinkan untuk terjadi secara abadi.

Terima kasih, Tuhan.

*) Inspired by cerpen “Namanya..” karya Djenar Maesa Ayu. “Memek tidak tahu, kenapa orangtuanya menamainya begitu. Padahal dari awala me saja, banyak nama-nama lain bisa dibuat semisal, Medy, Melly, Merry, mengapa harus Memek? Apalagi nama Memek disandingkan langsung dengan nama bapaknya, Memek Sumarno”. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar