CLICK HERE FOR FREE BLOGGER TEMPLATES, LINK BUTTONS AND MORE! »

Kamis, 15 Desember 2011

SEVEN DAYS WAR



Last Chapter of [MEDLEY: Endless Sorrow, Dearest, CAROLS, Together when, HEAVEN, You Were, SEVEN DAYS WAR]

Aku bersyukur, Tuhan pernah menginjinkan dan memberiku kesempatan untuk menikmati tujuh hari dalam satu minggu. Yang kemudian, dari ketujuh hari dalam seminggu itu bagai menenun kain tenun dengan menghasilkan hasil akhir yang terbilang sempurna, merangkai hari demi hari hingga terjalin suatu kesatuan dimana aku menyebutnya kehidupan. Sampai pada akhirnya pemberhentian terakhirku berakhir disini bersama Ayah dan Ibuku, serta kekasihku. Ada berbagai kisah tentang segala yang terjadi dan perubahan yang kesemuanya telah ku tulis dalam buku harianku. Kaleidoskop hidup yang bagai perang selama tujuh hari tanpa tahu berakhir seperti apa. Perang yang tak pernah berakhir untuk dibayangkan. Perang yang telah berakhir disaat kehidupan telah berhenti. Yang pada akhirnya saat ini aku mengerti, hidup adalah sebuah pertempuran yang indah.

Ada sebuah kisah, dimana Ibu di usir dari rumah. Dia diam-diam melakukan operasi penumbuhan payudara  tanpa sepengetahuan orang tua-nya. Betapa tidak membuat orang tuanya naik darah, mereka berdua termasuk orang terpandang yang cukup disegani banyak orang. Ibu hanya ingin menjadi dirinya sendiri. Menjadi dirinya sendiri yang dipandang orang lain sebagai lelucon kampungan yang murahan. Ditendang dengan paksa dari rumah. Meninggalkan semua yang serba mewah dari semua yang pernah dimiliki. Mewah yang di dapatnya saat ini hanyalah tidur beralaskan koran kusam yang sudah robek disana-sini. Di tengah malam yang lengang, ibu pernah menangis meronta kepada Tuhan. Apakah Tuhan menghukumnya karena melawan orang tua?. Apakah Tuhan menghukumnya karena mencoba untuk menjadi diri sendiri?. Menjadi diri sendiri perihal yang cukup sukar untuk dijalani. Ibupun menyadarinya. Namun, ibu tak mau menyerah begitu saja merengkuh sedih atas apa yang didapat dari keputusan besarnya. Ibu tak pernah menyerah. Ibu selalu berperang. Tanpa pernah menyerah dan selalu berperang untuk meraih impiannya menjadi penyanyi. Seorang penyanyi musik dangdut. Hanya dunia hiburan yang bisa mengijinkan orang-orang seperti Ibu mengenyam dan menikmati kehidupan yang serupa dengan orang-orang yang katanya lebih normal daripada dirinya. Apapun yang terjadi, ibu tak pernah menyesal pernah dilahirkan di dunia dengan keadaan seperti adanya saat ini. Pertempurannya dengan kehidupan berakhir dengan tragis ketika usiaku mulai beranjak pada batas sebuah ke dewasaan. Aku bisa belajar bertempur dengan hidup dari Ibu. Menjadi diri sendiri, walau segalanya terkadang sukar untuk mengijinkannya.

Mulutku pernah terkunci rapat. Lebih tepatnya dikunci dengan rapat. Sebuah kesukaran lain ketika menjadi diri sendiri. Aku tak pernah sekalipun melawan mereka dengan suara dari mulutku. Aku tak pernah mencemooh mereka atas apa-apa saja yang pernah mereka keluarkan dari mulut-mulut mereka sendiri. Aku hanya ingin bebas bicara tanpa batas, sama halnya seperti mereka. Aku hanya ingin bercerita tentang diri sendiri seperti mereka yang dengan lantang dan bangga menceritakan tentang diri mereka di depan kelas. Namun, kini mulutku di kunci rapat. Aku dianggap terlalu dini untuk mengenal tentang semua ini. Saat itu aku tak mengerti, bukankah seharusnya hal seperti ini sangat wajar terjadi. Mereka bisa dengan bebas berkespresi ketika bermain putri dan raja saat istirahat sekolah menjelang. Mereka bisa dengan lantang bercanda gurau tentang siapa sedang jatuh cinta dengan siapa. Namun, ketika giliranku bercerita, aku hanya mendapat cemoohan, bahkan pernah kudapatkan sebuah bogem penuh energi dari  Haris, teman sekelasku yang berlagak sok jagoan. Ketika aku bercerita tentang ketertarikanku dengan lagak sok jagoannya yang membuatku terpana. Sejak saat itu, aku mulai merasa mengerti menjadi Ibu. Mulai merasa mengerti betapa susahnya harus menjadi diri sendiri. Selama satu minggu aku terpenjara dalam ketakutan dan kebingungan. Hingga kemudian merasa, seharusnya tak ada yang salah dengan semuanya. Mungkin hanya sebuah kepolosan diri yang belum mengerti bagaimana menjadi diri sendiri yang baik. Atau mungkin saja memang mereka merasa lebih baik, merasa lebih baik dengan membuang dengan begitu saja segalanya yang dirasa buruk karena mereka merasa lebih baik. Kata sebagian orang, lelaki seharusnya melawan ketika dilawan. Namun, kata sebagian orang juga musuh terbesar adalah diri sendiri. Lalu untuk apa melawan orang lain, kalau saja melawan atau lebih mengerti diri sendiri belum bisa dilakukan. Menyampaikan apa-apa saja tentang diri sendiri kepada diri sendiri.

Suatu ketika, saat mengalami sebuah kekalahan. Sebuah kompetisi atau pertempuran memang terbilang kejam ketika berakhir dengan sebuah kemenangan dan kekalahan. Namun, tak bisa dipungkiri, kemenangan dan kekalahan dalam sebuah pertempuran sudah mulai tumbuh di dunia sejak aku belum bisa bernafas untuk merasakan kehidupan. Dari kekalahan terkadang muncul sebuah pertempuran kembali. Sebilah pedang dan tameng besi sudah terjejal menutupi diri. Aku bertarung tanpa habis dengan segala yang kutemui di depan. Secara detail, tanpa habis tak bisa ku deteksi karena pertempuran begitu menggelitik untuk dinikmati. Mengesampingkan hal-hal lain hasil proyeksi negatif dari sebuah pertempuran. Hingga pada akhirnya,tenaga yang ku punya sudah habis terkuras. Pemberhentian terakhir hanyalah sebuah kelelahan. Sebilah pedang dari lawan sudah membabat habis setengah tubuhku. Hampir tanpa menyisakan sisa. Pertempuran menjadi hancur, setengah tubuhku mengikuti alurnya menjadi sama hancurnya. Sempat ku tersentak diam tanpa berkata menyadari sisi tubuhku yang telah terbunuh. Namun, diamlah yang dengan segera memecah diriku untuk tersadar. Aku masih memiliki bagian tubuh lain untuk hidup. Segera tersadar, sudah cukup dimana masa lalu terlalu sering bercengkrama terlalu lama dalam otak ku yang beku karena ketidaksadaran diri. Perubahan dari hasil sebuah pertempuran imajiner dengan diri sendiri. Tanpa pernah membuang diri sendiri, menemukan kembali hal-hal lain untuk diri sendiri.

Saat ini, aku mungkin bisa sedikit mengerti dengan banyak orang berkata tentang “Hidup adalah sebuah proses”. Berkenalan secara rutin dengan Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jum’at, Sabtu, dan Minggu. Secara berulang selama kita hidup. Menjalani tujuh hari selama masih bisa bernafas dan melihat matahari yang ikut berperan serta dalam pergumulan dengan para hari. Merasakan beberapa musim yang ikut menggetarkan hidup dengan para hari. Sekomplotan tujuh hari yang dengan siap sedia bagai ksatria berpedang tangguh yang siap menghadapi. Sebuah makhluk imajiner yang ternyata juga mengambil peran, bahkan mendapat tempat untuk hidup menjalani kehidupan. Tanpa pernah merasa lelah, sampai pada akhirnya lelah itu pada saatnya akan datang dijemput oleh waktu untuk mengakhiri semuanya. Pertempuran tanpa mencoba menjadi hal yang lain, sudah cukup untuk menjadi apa yang sudah diberi. Sudah cukup untuk menjadi diri sendiri saja. Segalanya seperti itu, sudah berhasil membuat diriku bisa tersenyum bahagia di tempat diriku masih bisa bercerita walau buku harianku mungkin sudah menjadi abu di bumi. Sudah cukup bahagia bisa tersenyum dan hidup bahagia bersama Ayah, Ibu, dan kekasihku dalam sebuah rumah kecil di perbukitan indah yang Tuhan beri untuk kami. Disini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar