Last Chapter of [MEDLEY: Endless Sorrow, Dearest, CAROLS, Together when, HEAVEN, You Were, SEVEN DAYS WAR]
Aku bersyukur, Tuhan pernah
menginjinkan dan memberiku kesempatan untuk menikmati tujuh hari dalam satu
minggu. Yang kemudian, dari ketujuh hari dalam seminggu itu bagai menenun kain
tenun dengan menghasilkan hasil akhir yang terbilang sempurna, merangkai hari
demi hari hingga terjalin suatu kesatuan dimana aku menyebutnya kehidupan.
Sampai pada akhirnya pemberhentian terakhirku berakhir disini bersama Ayah dan
Ibuku, serta kekasihku. Ada berbagai kisah tentang segala yang terjadi dan
perubahan yang kesemuanya telah ku tulis dalam buku harianku. Kaleidoskop hidup
yang bagai perang selama tujuh hari tanpa tahu berakhir seperti apa. Perang
yang tak pernah berakhir untuk dibayangkan. Perang yang telah berakhir disaat
kehidupan telah berhenti. Yang pada akhirnya saat ini aku mengerti, hidup
adalah sebuah pertempuran yang indah.
Ada sebuah kisah, dimana Ibu di
usir dari rumah. Dia diam-diam melakukan operasi penumbuhan payudara tanpa sepengetahuan orang tua-nya. Betapa
tidak membuat orang tuanya naik darah, mereka berdua termasuk orang terpandang
yang cukup disegani banyak orang. Ibu hanya ingin menjadi dirinya sendiri.
Menjadi dirinya sendiri yang dipandang orang lain sebagai lelucon kampungan
yang murahan. Ditendang dengan paksa dari rumah. Meninggalkan semua yang serba mewah
dari semua yang pernah dimiliki. Mewah yang di dapatnya saat ini hanyalah tidur
beralaskan koran kusam yang sudah robek disana-sini. Di tengah malam yang
lengang, ibu pernah menangis meronta kepada Tuhan. Apakah Tuhan menghukumnya
karena melawan orang tua?. Apakah Tuhan menghukumnya karena mencoba untuk
menjadi diri sendiri?. Menjadi diri sendiri perihal yang cukup sukar untuk
dijalani. Ibupun menyadarinya. Namun, ibu tak mau menyerah begitu saja
merengkuh sedih atas apa yang didapat dari keputusan besarnya. Ibu tak pernah
menyerah. Ibu selalu berperang. Tanpa pernah menyerah dan selalu berperang
untuk meraih impiannya menjadi penyanyi. Seorang penyanyi musik dangdut. Hanya
dunia hiburan yang bisa mengijinkan orang-orang seperti Ibu mengenyam dan menikmati
kehidupan yang serupa dengan orang-orang yang katanya lebih normal daripada
dirinya. Apapun yang terjadi, ibu tak pernah menyesal pernah dilahirkan di
dunia dengan keadaan seperti adanya saat ini. Pertempurannya dengan kehidupan
berakhir dengan tragis ketika usiaku mulai beranjak pada batas sebuah ke
dewasaan. Aku bisa belajar bertempur dengan hidup dari Ibu. Menjadi diri
sendiri, walau segalanya terkadang sukar untuk mengijinkannya.
Mulutku pernah terkunci rapat.
Lebih tepatnya dikunci dengan rapat. Sebuah kesukaran lain ketika menjadi diri
sendiri. Aku tak pernah sekalipun melawan mereka dengan suara dari mulutku. Aku
tak pernah mencemooh mereka atas apa-apa saja yang pernah mereka keluarkan dari
mulut-mulut mereka sendiri. Aku hanya ingin bebas bicara tanpa batas, sama
halnya seperti mereka. Aku hanya ingin bercerita tentang diri sendiri seperti
mereka yang dengan lantang dan bangga menceritakan tentang diri mereka di depan
kelas. Namun, kini mulutku di kunci rapat. Aku dianggap terlalu dini untuk mengenal
tentang semua ini. Saat itu aku tak mengerti, bukankah seharusnya hal seperti
ini sangat wajar terjadi. Mereka bisa dengan bebas berkespresi ketika bermain
putri dan raja saat istirahat sekolah menjelang. Mereka bisa dengan lantang
bercanda gurau tentang siapa sedang jatuh cinta dengan siapa. Namun, ketika
giliranku bercerita, aku hanya mendapat cemoohan, bahkan pernah kudapatkan sebuah
bogem penuh energi dari Haris, teman
sekelasku yang berlagak sok jagoan. Ketika aku bercerita tentang ketertarikanku
dengan lagak sok jagoannya yang membuatku terpana. Sejak saat itu, aku mulai
merasa mengerti menjadi Ibu. Mulai merasa mengerti betapa susahnya harus
menjadi diri sendiri. Selama satu minggu aku terpenjara dalam ketakutan dan
kebingungan. Hingga kemudian merasa, seharusnya tak ada yang salah dengan
semuanya. Mungkin hanya sebuah kepolosan diri yang belum mengerti bagaimana
menjadi diri sendiri yang baik. Atau mungkin saja memang mereka merasa lebih
baik, merasa lebih baik dengan membuang dengan begitu saja segalanya yang
dirasa buruk karena mereka merasa lebih baik. Kata sebagian orang, lelaki
seharusnya melawan ketika dilawan. Namun, kata sebagian orang juga musuh
terbesar adalah diri sendiri. Lalu untuk apa melawan orang lain, kalau saja
melawan atau lebih mengerti diri sendiri belum bisa dilakukan. Menyampaikan
apa-apa saja tentang diri sendiri kepada diri sendiri.
Suatu ketika, saat mengalami
sebuah kekalahan. Sebuah kompetisi atau pertempuran memang terbilang kejam
ketika berakhir dengan sebuah kemenangan dan kekalahan. Namun, tak bisa
dipungkiri, kemenangan dan kekalahan dalam sebuah pertempuran sudah mulai tumbuh
di dunia sejak aku belum bisa bernafas untuk merasakan kehidupan. Dari
kekalahan terkadang muncul sebuah pertempuran kembali. Sebilah pedang dan
tameng besi sudah terjejal menutupi diri. Aku bertarung tanpa habis dengan
segala yang kutemui di depan. Secara detail, tanpa habis tak bisa ku deteksi
karena pertempuran begitu menggelitik untuk dinikmati. Mengesampingkan hal-hal
lain hasil proyeksi negatif dari sebuah pertempuran. Hingga pada
akhirnya,tenaga yang ku punya sudah habis terkuras. Pemberhentian terakhir
hanyalah sebuah kelelahan. Sebilah pedang dari lawan sudah membabat habis
setengah tubuhku. Hampir tanpa menyisakan sisa. Pertempuran menjadi hancur,
setengah tubuhku mengikuti alurnya menjadi sama hancurnya. Sempat ku tersentak
diam tanpa berkata menyadari sisi tubuhku yang telah terbunuh. Namun, diamlah
yang dengan segera memecah diriku untuk tersadar. Aku masih memiliki bagian
tubuh lain untuk hidup. Segera tersadar, sudah cukup dimana masa lalu terlalu
sering bercengkrama terlalu lama dalam otak ku yang beku karena ketidaksadaran
diri. Perubahan dari hasil sebuah pertempuran imajiner dengan diri sendiri.
Tanpa pernah membuang diri sendiri, menemukan kembali hal-hal lain untuk diri
sendiri.
Saat ini, aku mungkin bisa
sedikit mengerti dengan banyak orang berkata tentang “Hidup adalah sebuah
proses”. Berkenalan secara rutin dengan Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jum’at,
Sabtu, dan Minggu. Secara berulang selama kita hidup. Menjalani tujuh hari
selama masih bisa bernafas dan melihat matahari yang ikut berperan serta dalam
pergumulan dengan para hari. Merasakan beberapa musim yang ikut menggetarkan
hidup dengan para hari. Sekomplotan tujuh hari yang dengan siap sedia bagai
ksatria berpedang tangguh yang siap menghadapi. Sebuah makhluk imajiner yang
ternyata juga mengambil peran, bahkan mendapat tempat untuk hidup menjalani
kehidupan. Tanpa pernah merasa lelah, sampai pada akhirnya lelah itu pada
saatnya akan datang dijemput oleh waktu untuk mengakhiri semuanya. Pertempuran
tanpa mencoba menjadi hal yang lain, sudah cukup untuk menjadi apa yang sudah
diberi. Sudah cukup untuk menjadi diri sendiri saja. Segalanya seperti itu,
sudah berhasil membuat diriku bisa tersenyum bahagia di tempat diriku masih
bisa bercerita walau buku harianku mungkin sudah menjadi abu di bumi. Sudah
cukup bahagia bisa tersenyum dan hidup bahagia bersama Ayah, Ibu, dan kekasihku
dalam sebuah rumah kecil di perbukitan indah yang Tuhan beri untuk kami. Disini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar