Bi. Dirinya berada pada ketinggian beratus-ratus meter jauhnya dari
permukaan air laut, namun letaknya bukan di atas awan. Berpijak di salah satu
perbukitan teduh, terbentang luas di sekitarnya perbukitan-perbukitan lain yang
tak nampak karena langit sudah membentuk lautan hitam pekat diatas sana. Embun
tanpa bingkai terpahat bagai asap rokok yang disulut seseorang yang berada di
depannya beberapa waktu lalu, ketika dirinya baru saja menginjakkan kedua kaki
yang tak pernah lelah untuk perjalanan yang katanya mengikuti kata hati. Entah
hati yang mana yang ia maksud, hati yang berada di bagian perut sebelah kanan,
ataukah hati lain yang tak pernah teridentifikasi dimana letaknya. Hanya untuk sebuah janji, bukan sekedar
mengikuti kata hati. Curamnya sebuah logika yang menganga lebar, bersanding
penuh seram dengan sebuah kata hati yang juga sama-sama menganga lebar. Dia
seharusnya sudah terbilang cukup piawai untuk menghadapi hal seperti ini. Tapi
mungkin ini terbilang sebuah perkecualian, dia manusia yang sama halnya seperti
jembatan. Dengan sebegitu kokoh dibuat agar jembatan itu tak mudah roboh, toh
pada akhirnya tanpa ada yang mengetahui dengan serba kemendadakan jembatan itu
bisa begitu saja runtuh, menjadi kepingan-kepingan asimetris yang bergumul
dengan permukaan air di bawahnya.
Bi. Dirinya masih berada pada ketinggian beratus-ratus meter jauhnya
dari permukaan laut, namun letaknya juga masih bukan di atas awan. Berpijak di
salah satu perbukitan teduh, yang kali ini banyak rumput-rumput hijau gelap karena
malam, terhampar luas di sekitarnya. Perasaan di hatinya yang tak bisa
teridentifikasi letaknya itu masih saja bergejolak hebat. Bergejolak hebat dan
sangat terang beradu dengan gemerlap terangnya lampu-lampu jingga keemasan
terang yang disangga hamparan rerumputan hijau yang ia pijak. Embun di malam
pekat sudah banyak turun, namun embun lain berwujujd asap rokok menggantikan
perannya. Seseorang di depannya menghisap tanpa ampun sebatang rokok berwarna
putih.
Berkaca duduk berseberangan dengan seseorang, hal ini sudah kali kedua
dia jumpai dengan hari yang berurutan. Kemarin dia bertemu untuk pertama
kalinya, dan kali ini tentu saja menjadi kali kedua dia bertemu seseorang yang
entah seharusnya dia sebut sebagai apa. Kebingungannya meraja seiring dengan
semakin banyaknya asap rokok yang mengepul dari sulutan rokok seseorang di
depannya dan sebatang rokok yang ia hisap, berharap kecamukan keraguan dan
perasaan buruknya ikut pergi keluar melalui asap putih penuh racun berbahaya
tersebut.
Sebuah cerita tentang sesuatu hal yang klise. Mungkin saja angin malam
perbukitan yang sejatinya melebihi angin normal di daerah normal, sudah
membuatnya meradang, membeku, dan terpahat dengan terpaksa. Dia hanya butuh
sesuatu untuk menghancurkan itu semua. Dia hanya butuh sesuatu untuk
menghancurkan keberharapaan yang lama kelamaan dia rasa hanyalah sebuah semu.
Semu yang nyata, semu yang sebenarnya bisa digapai, namun dia terlalu naïf
untuk sekedar menganggap bahwa semu yang nyata itu ada. Dia hanya butuh
sesorang di depannya, sebagai orang yang ia rasa mampu menghancurkan segala
komplikasi antologi rasa yang sedang menggumuli batinnya. Miris, tragis,
dilematis, ketika sebuah ketidak tahuan untuk berbuat apa menghampiri diri
tanpa ampun. Menangis, tanpa air mata. Sejujurnya ia malu melihat dirinya
sendiri, mendesis tanpa otak seperti hewan melata.
Bi. Dia sudah bisa mengira sebelumnya, jikalau semua yang ia lakukan
hanya mendatangkan ketersia-siaan yang semakin melancarkan aksinya. Dia merasa
ling lung, tembok-tembok pembatas yang dibuatnya selama ini telah runtuh. Dua
belas tembok pembatas kokoh yang mengelilingi dirinya, hancur seketika ketika
tembok pembatas ketiga belas ingin ia tambahkan di celah yang masih kosong
setelah tembok ke dua belas. Mungkin saja sudah terlalu lama. Mungkin saja dia
sudah terlalu letih. Energinya sudah terkuras habis membuat kedua belas tembok.
Lelah, ketakberdayaan, dan kekosongan dengan sempurna melumuri semua bagian
tubuhnya.
“Tiga belas yang sial. Tiga belas yang benar-benar sial. Tiga belas
ternyata memang benar angka sial” Gumamnya dalam hati.
Bi. Dirinya masih berada pada ketinggian
beratus-ratus meter jauhnya dari permukaan laut, namun letaknya juga masih
bukan di atas awan. Dia mengistirahatkan pijakan kedua kakinya yang telah
menghabiskan beberapa jam yang telah berlalu untuk mengikuti kata hatinya. Hati
yang tak terdefinisi dimana letaknya, yang juga telah tumbuh menjadi makna yang
melebur dengan kesukaran untuk menerjemahkannya. Siluet seseorang yang sama
masih bisa ditangkap oleh indera penglihatannya, persis di depan. Pundak yang bagai seorang bermata silindris
menggambar sebuah garis horizontal lurus dari kiri ke kanan, suatu hal kecil
yang di awal, dia sangat ragu untuk mampu benar-benar melihat sosok tiga atau
bahkan empat dimensinya. Tanpa kacamata khusus berwarna hitam pada lensa dan framenya, dia bisa melihatnya,
menyentuhnya, mecium aroma tubuh yang dikirim angin dingin yang sendu dan semu
di perbukitan itu.
“Anggap saja sebuah liburan kecil” Gumamnya dalam hati untuk meyakinkan
dirinya sendiri. “Walau sebenarnya aku tak ingin menyebutnya sebuah liburan
kecil. Bagaimana bisa aku menyebutnya liburan, jikalau partikel kecil
kebahagiaan tak merasuki tubuhku yang masih saja tak tau harus berbuat apa dan
bagaimana”
Malam pekat semakin meninggi. Bau sisa hujan masih dititup dengan
kencang oleh deru angin malam pekat yang juga semakin meninggi. Menarik sebuah
selimut tebal yang ternyata untuk berdua. Dua selimut, memakai salah satunya,
dan menendang sisanya hingga mencium permukaan lantai keramik putih yang baru
pertama kali ia pijak di tempatnya sekarang. Seseorang yang tadi di depannya,
kini telah berpindah posisi berada di sisi sebelah kiri ia di tempat tidur
kecil tersebut.
“Tidurlah disini” Tanpa suara. Badannya seakan berbicara seperti itu,
dengan merentangkan tangan kanannya di belakang punggung Bi.
“Sudahlah” Gumamnya lagi dalam hati.
Bi. Dirinya masih berada pada ketinggian beratus-ratus meter jauhnya
dari permukaan laut, namun letaknya juga masih bukan di atas awan. Dia
mengistirahatkan tubuhnya. Bersembunyi dibalik selimut untuk berdua. Letih,
lelah, tak ingin semakin berpikir panjang. Didekap dan mendekap seseorang yang
berada di depannya. Entahlah, dia sudah lelah. Terlepas dari palsu atau tidak
palsu ini semua. Terlepas untuk apakah sebenarnya dia berpijak di tempat ini.
Tak ingin menyesal, ingin menyesal. Barangkali mau tidak mau dia harus
menganggapnya sebagai sebuah liburan kecil saja, karena sampai di akhir
pergumulan badan, segalanya masih sama. Tak ada apa-apa, hanya sebuah kelegaan
dua buah penis yang meregang tegang dengan muntahan sperma di mulut dan badan.
Bi. Dirinya sudah tidak berada pada posisi yang cukup tinggi
beratus-ratus meter jauhnya dari permukaan laut. Sebuah kecupan yang entah berarti
atau tidak. Dia pergi meninggalkan siluet pria berpundak seperti seseorang
bermata silindris yang menggambar sebuah garis horizontal lurus dari kiri ke
kanan, yang setengah hari sudah saling bertarung dengan indera penglihatnya,
bertarung dengan kata-kata klise dari mulut masing-masing, bertarung dengan
selimut kecil untuk dua orang, bertarung dengan perbukitan-perbukitan gelap
dengan gemerlap lampu jingga kuning emas yang berpendar bagai keraguannya yang
semakin meninggi dan akhirnya meletup dengan sebuah tangis yang tak pernah
diketahui oleh kedua belah pihak. Mungkin memang seharusnya saling tak tahu,
karena dia sudah terlanjur yakin, sampai kapanpun dia tak akan pernah tahu.
Karena tak dijumpainya partikel-partikel penyusun lawan dari ketidak tahuan,
sedikitpun, secuilpun, mungkin saja sampai kapan pun…
***