Apa yang terbersit dalam pikir perkara one night stand?, yang dalam budaya populer masa-masa ini sering
dikata cinta satu malam. Ah, bagi teman-teman Bastian tentu saja satu malam
adalah beberapa jam yang hanya berisi tentang persetubuhan. Semata hanya tentang
seks. Bastian tentu tertawa cekikik. Memang benar teman-temannya itu. Namun,
satu malam baginya adalah pertemuan kali pertamanya dengan Adrian. Pria
misterius yang gemar membuat sebuah kejutan-kejutan dalam bentuk sebuah
perjamuan.
Malam itu adalah kali kedua mereka bertemu, Bastian dengan Adrian.
Sebelumnya tentu Bastian tak pernah mengira akan ada pertemuan kedua. Adrian
tipikal lelaki komersial secara fisik dan materi, yang pastinya banyak digilai
orang-orang, perempuan maupun laki-laki pecinta laki-laki. Tubuhnya tinggi 180
sentimeter, dengan tubuh berisi dan rambut-rambut halus yang tersebar di
dagunya. Kulitnya kuning bersih, dan ada satu hal lagi yang baru Bastian
ketahui di pertemuan kedua ini.
Laki-laki itu mengajaknya bertemu di restaurant pada sebuah hotel
berbintang lima. Tempat yang diluar kebiasaan dari Bastian, tentunya itu adalah
sebuah tempat yang mewah dan istimewa. Setidaknya itulah yang segera menjamur
di benak-benaknya setelah pria itu mengajakanya bertemu disana. Mendekati jam
bertemu, Bastian sudah terduduk di sebuah kursi di sudut ruangan. Dia sedikit
terperangah, dia suka interior dari tempat makan itu. Memang mewah. Memang
istimewa. Namun mewah yang tanpa secara terang-terangan ingin mempertontonkan
kemewahannya. Tak ada warna emas, hampir tak ada warna yang mencolok mata, yang
ada hanyalah paduan sapuan warna coklat tua dan biru tua. Menelanjangi
ruas-ruas tiap sudut ruangannya, dia jadi teringat sosok Adrian. Pria itu tak
kunjung datang. Akhirnya, ia putuskan membuka buku yang terselip di dalam
tasnya, sembari menunggu.
“Hei, maaf menunggu lama,” suara seorang pria menerobos masuk ke dalam
telinga Bastian. Sudah setengah jam dia asik menelanjangi lembar-lembar kertas
yang ia genggam. Di meja belum terlihat makanan maupun kudapan apapun, hanya
segelas bening berisi air putih. “Serius amat. Hehe.”
Di hadapan Bastian berdiri sosok pria yang ia tunggu. Tapi, dia sedikit
tak percaya dengan apa yang dilihatnya di depan tempatnya terduduk. Pasalnya,
kalau memang hanya berniat bertemu dengannya di restaurant ini, pria di
depannya itu tak perlu memakai kostum putih-putih dengan appron tergantung yang seperti sekarang ia pakai. Terbilang
berlebihan, kecuali memang…
“Welcome to my office. I mean, my
kitchen, maybe..” ucap Adrian penuh semangat. Belum sempat Bastian melempar
kata-kata, pria itu sudah menghujaninya dengan kejutan konyol seperti yang
dilihatnya barusan.
Sejujurnya Bastian merasa sedikit kaget melihat pengakuan Adrian
tersebut, tapi dia berusaha untuk tidak terlihat merasa seperti itu. Perasaan
kaget biasanya hanya membuat dia kikuk dan sisi pemalunya menjalar keluar.
Hingga ia lebih memutuskan untuk menyimpan rasa kagetnya.
“Pantesan di rak buku kamu kemarin banyak buku-buku masakan. Ternyata
benar seorang chef,” ucap Bastian
dengan nada mengejek.
“Haha..sudah mengira sebelumnya kalau saya chef?” Adrian terkekeh.
“Tak sepenuhnya. Perawakan tubuhmu lebih cocok punya profesi orang
bisnis.” Bastian.
“Hmm..bisa begitu, ya?” Adrian mengernyitkan dahinya.
“Lebih tepatnya, om-om tambun perut bunci kaya raya yang punya bisnis
sukses. Haha..” ejek Bastian kemudian disusul keduanya tertawa cekikik
sebentar.
“Dasar..” Adrian menyudahi tawanya. “Kamu tak apa menunggu saya sebentar
disini?. Jam kerja saya sepertinya bertambah karena ada suatu hal.”
“Tergantung..” ujar Bastian, Adrian menatapnya kembali dengan mimik
wajah tanda tanya bercampur kecewa.
“Maaf, deh. Nanti saya bikin menu spesial buat kamu.”
“Buat sogokan?”
“Tentu bukan. Tentunya buat permintaan maaf sudah mau menunggu lama.
Hehe,” Adrian terkekeh. “Apa masih bakal ada tergantung?”
“Hahahahaha” Bastian menjawab tanpa kata-kata. Dia hanya tertawa
menanggapi pria itu.
***
“Masih hubungan sama sex buddy one
night stand itu kamu, Yan?” tanya Bisma, teman dekat Bastian. Siang itu
mereka janjian bertemu di sebuah kedai kopi langganan mereka. Laki-laki betubuh
subur itu segera saja menyeletuk ketika melihat pandangan Bastian tak bisa
lepas dari layar ponselnya.
“Eits, sex buddy yang mana
lagi, nih?. Yang pramugara maskapai burung-burungan itu?, apa yang sukanya main
di dalam mobil?. Haha,” celetuk Aryo tiba-tiba. Laki-laki ini juga teman dekat
Bastian dan Bisma. “Dasar lacur,” tawa keduanya bergemuruh seketika.
“Haha. Masih, enggak tau nih, tumben aja ada yang masih baik-baikan
minta ketemu lagi. Biasanya pada sok-sokan langsung hilang,” terang Bastian.
Pandangannya masih terpaku di layar ponselnya.
“Halah..palingan juga tiap ketemu mintanya seks mulu,” Bisma sinis.
Sahabatnya yang satu ini memang gemar mengucap kata-kata kasar. Bukan karena
memang pada dasarnya dia termasuk orang yang sinis akan segala sesuatu. Tapi,
perkara laki-laki yang dekat dengan Bastian, pasti komentarnya tak pernah
berubah. Semua ditanggapinya dengan sinis, karena menurutnya mereka semua patut
diperlakukan seperti itu. Terlebih pada yang tiba-tiba suka menghilang.
“Semalem tumben aja enggak ada adegan begituan. Hehe,” Bastian terkekeh.
Dia mulai mengedar pandang ke arah dua sahabatnya, setelah sebelumnya menyudahi
keterpakuannya pada ponselnya.
“Semalem kalian ketemu lagi?” Aryo berucap meyakinkan dirinya. “Dan
enggak ada adegan begituan?. Bukan Bastian banget, deh kayanya.”
Bastian menghembuskan nafasnya. Hanya menimpalinya dengan hembusan-hembusan
udara dari kedua lubang hidungnya.
“Coba sini aku lihat orangnya,” sergah Bisma yang tetiba begitu saja
menyambar ponsel Bastian yang tergeletak di meja. Kedua matanya yang terbingkai
kacamata terbelalak seketika, dahinya berkerut, alisnya menyambung. “Seriusan
orang ini?”
Bastian kontan menyambung keterbelalakan Bisma dengan gerakan-gerakan
yang serupa dilakukan sahabatnya itu. Dia mengangguk perlahan.
“Bentar…bentar…dia yang chef
itu bukan?. Cowok yang sok-sok misterius, tapi tetep aja banyak yang gila sama
dia,” Bisma menyemburkan cercahannya, seakan dia tau tentang pria itu, Adrian.
“Yang kalau menginap di tempat dia tinggal. Tiap pagi dia pasti nyiapin Ham and Cheese Bagels buat sarapan
kalian berdua?” tambahnya.
“Kok kamu bisa tau banyak, Bis?” sambung Aryo seketika dengan perasaan
herannya. “Pernah sempat deket sama dia, emang?.”
Bastian diam termangu sembari masih menyimpan keheranan di dalam
dirinya. Lagi-lagi dia tetap bergeming. Tanpa suara dan hanya mengangguk
perlahan ke arah sahabatnya yang bertubuh subur itu.
“Dia mantan gebetan..”
“Mantan gebetan?” Aryo segera memotong. Bisma segera saja membelalakkan
kedua matanya ke arah sahabatnya itu, ekspresinya menggertak karena memotong
ucapannya yang belum selesai.
“Mantan gebetan dari mantanku. Pernah sekali ketemu. Itupun enggak
sengaja. Dan memang cakepnya nggak ketulungan, tapi ngebosenin. Tipikal cowok
cakep bertampang komersial kebanyakan,” Bisma kembali meneruskan ucapannya yang
terpotong.
“Beneran ngebosenin, apa emosi gara-gara mantan gebetannya mantan kamu?.
Hihi,” celetuk Aryo mengejek.
Bastian meraih gelas plastik berisi ice
chocolate di dalamnya. Meneguknya melalui pipa kecil sedotan berwarna hijau
tua. Sekedar untuk membasahi kerongkongannya, menghujani rasa kagetnya untuk
sementara. Lalu ia letakkan kembali gelas itu ditempat semula. “Memang
sejujurnya cukup ngebosenin.”
“Terus apalagi yang kamu tau, Bis?” tanya Bastian perlahan. Ucapannya
bernada getir dan hambar. Tak berasa, beriringan dengan sedikit kecamuk rasa di
dalam dirinya.
“Udah, hanya itu saja. Menurutku, lambat laun juga bakalan suka hilang
enggak jelas gitu, sih, Yan,” ucap Bisma enteng.
“Oh…”
“Tapi, ya udahlah. Boys will be
boys. Aku yakin, kamu punya pilihan yang benar untuk memperlakukan pria itu
seperti apa. You’re a bitch otodidak.
Haha,” Bisma terkekeh. Sahabatnya itu memang terkesan orang yang judgemental, tapi saat cercahannya
mengerucut di ujung cerita, segalanya seakan musnah tak bersisa.
“Apa, sih,” sergah Bastian menimpali. “Balik, yuk. Nanti duit yang ku
pinjam, aku ganti secepatnya ya, Yo. Ini kayanya dompet beneran ketinggalan di
tempat si Adrian.”
“Semalem nginap di tempat dia?” Aryo.
Bastian mengangguk. “Kunci kamarnya aku bawa. Kayanya habis ini mau
balik ambil dompet disana, terus balik ke rumah.”
“Kenapa
mendadak jadi lesu gitu, sih?” Bisma tergelitik melihat gelagat sahabatnya itu
yang kini terkesan aneh. Nada bicara Bastian berubah pelan, cenderung tak
berasa apapun, selain getir.
“Enggak papa, Bis. Udah yuk, balik,” tutup Bastian pelan.
***
Seminggu setelah mereka bertiga bertemu di kedai kopi langganan itu,
Bastian mulai menyelidik diri sendiri lagi dalam kesendirian. Bocah laki-laki
itu mungkin memang terbilang lacur seperti kata teman-teman dekatnya, tapi
perkara laki-laki, labirin hatinya terkadang perlahan terusik walau
mereka-mereka yang datang terkadang hanya bertopeng perihal persetubuhan. Dia
lelah, bukan karena kesenangan persetubuhan, hanya lelah labirinnya begitu
mudah ditembus.
Seminggu ini juga Adrian tak kunjung pergi meneleponnya, meskipun Bastian
ingin menyendiri sejenak, dia tak juga mematikan ponselnya. Ada sedikit
perasaan senang tentunya, dibaliknya tentu ada perasaan sendu yang ditopenginya
dengan mencari kesibukan. Seminggu ini dia begitu menikmati dirinya sendiri,
sambil sesekali masih menyesap tubuh-tubuh yang lain yang rindu persetubuhan. Boys will be boys, Bastian will be Bastian.
Siang itu dihari kedelepan, dia mengasingkan diri di sebuah kedai kopi
langganan seperti biasanya. Sekedar untuk membaca buku dan menyelesaikan
tulisannya untuk kerja paruh waktunya sebagai kontributor di sebuah majalah. Pikirannya tentang Adrian hanya tinggal
selembar kertas, tapi relung hatinya masih dibubuhi oleh sosok lelaki itu. Bangsat
benar memang koki itu, pasti sudah ditambahinya bumbu-bumbu racun magis di
sekujur tubuh masakan yang telah dilahap Bastian kemarin. Siang itu dia
sendiri, sampai pada satu titik ada seseorang memperhatikannya dari kejauhan.
“Chocolate cream chips, and free one glass ice chocolate signature,”
ujar Barista di kedai kopi itu saat pesanan minuman Bastian sudah jadi. Barista
laki-laki itu mencodongkan dua gelas plastik bening ke arah Bastian berdiri di
ujung meja.
“Free ice chocolate signature?. Tadi
saya sebelumnya beli chocolate cream
chips, tapi enggak dikasih free
satu gelas itu?” Bastian merajuk.
“Hmmm..anu…” Laki-laki Barista itu kebingungan menjawab. “Compliment dari mas Adrian, Mas.”
“Compliment?. Adrian?, maaf
maksud mas-nya Adrian siapa?”
“Dia dulu store manager disini.
Sekarang…itu dia lagi duduk di kursi pojokan no smoking area,” terang si Barista sembari mencondongkan wajahnya ke
arah laki-laki tinggi besar sedang terduduk di kursi pojokan.
“Oh, thank you, ya, mas,” Bastian
segera meraih dua gelas minuman coklat itu, menghela nafasnya, dan disambungnya
berjalan ke arah laki-laki yang ditunjuk oleh si Barista tadi. Dia menaruh dua
gelas itu di meja, duduk tepat di depan lelaki itu, di depan Adrian.
“Repot amat ngasih compliment segala.
Mentang-mentang dulu ternyata pernah jadi store
manager disini?. Haha,” ledek Bastian. Nada bicaranya dia buat senormal
mungkin.
“Compliment buat orang yang
mendadak hilang. Untung nggak sampai masukin berita orang hilang di koran,”
sambung ledek Adrian tak mau kalah.
“Idih, lebay. Haha,”
“Tulisan udah beres?. Udah seminggu kamu minta nggak diganggu dulu,”
Adrian menyeletuk, sembari menunjukkan secarik kertas kecil yang tadi ia simpan
di saku celananya. “Ini catatan kecil yang kamu tinggalin di tempatku saya balikin
ke kamu,”
“Astaga..masih disimpan coba?. Banyak-banyakin sampah di bumi aja. Haha,”
Bastian terperangah.
“Itu khan pesan. Kalau dibuang takutnya lupa. Jadi saya simpan sampai
umurnya habis seminggu. Sesuai yang kamu tulis khan?. Seminggu nggak mau
diganggu.”
Skak mat. Bastian serasa tak tahu harus menimpalinya dengan kata-kata
apalagi. Dia bungkam, segera mengisinya dengan menyeruput segelas minuman yang
ia pesan tadi. Laki-laki itu tak sedikitpun mengaburkan pandangannya
menelanjangi Bastian. Kedua mata yang terbingkai kacamata berbingkai hitam yang
melekat di depannya, membuat bocah laki-laki yang duduk di depannya tak hanya
bungkam di bibirnya, gelagatnya seakan beku tak tau harus berbuat apa.
“Tulisan udah beras belum?. Temani saya jalan-jalan, donk,” rintih
laki-laki itu manja.
“Hmm..belum sepenuhnya selesai, ada beberapa yang masih mau saya edit,”
jawab Bastian. Berbohong.
“Ya, sudah. Kalau begitu saya tunggu kamu sampai selesai.”
“Hah?. Mungkin bakal masih lama disini, Adrian.”
“Sampai kamu selesai,” tutupnya pendek.
Benar saja dua jam setelah itu Bastian baru benar-benar menyelesaikan
tulisannya. Atau, lebih tepatnya baru saja dua jam setelah itu, dia benar-benar
menyelesaikan pekerjaannya mengulur waktu hingga laki-laki yang menunggunya
bosan dan berangsur pergi dari kedai itu. Nyatanya, lelaki itu memang berangsur
pergi, tapi hanya untuk pergi ke kamar kecil dan lalu kembali ke kursinya
semula. Dari kejauhan, Bastian menelisik diam-diam gelagat laki-laki itu
sembari dia memasang gelagat sibuk di depan laptopnya. Hingga dia menyerah,
pandangannya bubrah berkaca pada laptop berjam-jam lamanya. Dua jam itu dijalaninya dengan sia-sia. Dan
dengan sedikit terpaksa menjadi gundik untuk laki-laki itu.
“Diam terus. Ngobrol dong, Bastian,” sergah Adrian dibalik meja
kemudinya. Sepanjang perjalanan selepas dari kedai kopi itu, Bastian memang
lebih banyak diam. Membuka mulutnya pun hanya menyembulkan kata-kata pendek
yang lama kelamaan membuat laki-laki itu bosan.
“Hari ini libur kerja, kah?” ucap Bastian sedikit ragu.
“Silly question. Enggak mau
jawab,”
“Hmm…mau kemana kita sekarang?”
“Masih silly question. Saya
yang minta kamu temani jalan. Sudah kamu nurut saja mau saya bawa kemana. Haha,”
Adrian terkekeh.
“Terus, apa yang nggak termasuk silly
question?”
“Entah, ngobrol apa gitu, lah..”
“Hmm…” Bastian bergumam perlahan. Dia tak tau mau membuat obrolan apa
lagi dengan laki-laki itu. Yang ada dipikirannya, kalau dia ingin nekat, dia
ingin membuat obrolan yang terkesan menyelidik tentang diri laki-laki itu. Buah
obrolannya dengan sahabat-sahabatnya kemarin. “Hmm…saya mau dibikinin Ham and Cheese Bagels lagi, dong?”
“Hah?. Ham and Cheese Bagels?. Kamu
suka sama makanan itu?” Adrian tetiba terbelalak.
“Suka banget, sih enggak. Buat sarapan bikin kenyang banget. Bikinan
kamu rasa-rasanya yang paling enak yang pernah saya makan,”
“Paling enak?. Emang sebelumnya pernah makan dimana?”
“Hehe belum pernah makan dimanapun. Baru pertama kali yang kamu bikinin
kemarin,” Bastian terkekeh.
“Lah…begooo. Haha,” tawa Adrian meledak sebentar. Lalu dicondongkannya
wajahnya ke arah bocah laki-laki di sebelahnya. Sebaliknya, Bastian sedari tadi
hanya melihat ke arah depan, sesekali hanya melihat ke arah jalanan yang
berhambur cepat di sisi kirinya. Tak pernah sekalipun memandang ke arah Adrian
sejak semula tadi.
“Udah sering banget bikin itu sepertinya?” celetuk Bastian lagi.
“Hah?. Yaa…lumayan sering..” Adrian menjawabnya ngambang. Seolah ingin
menjawab antara iya dan tidak.
“Ohh….”
“Yaaa…”
Hanya sebuah keheningan yang kemudian menyergap keduanya. Bastian tak
tau harus melempar kata-kata apalagi. Sebaliknya, Adrian seperti sudah terbiasa
dengan kebekuan yang terjadi diantara keduanya hari itu. Sepanjang perjalanan
sesudahnya, Adrian hanya mencuri-curi bayangan Bastian dari meja kemudinya.
Sementara Bastian, menggelepar tidur di setengah perjalanan mereka berdua itu.
Mereka berhenti persis di depan
bangunan yang sudah tak asing lagi bagi keduanya. Sebuah bangunan yang Bastian
tinggalkan seminggu yang lalu. Sebuah tempat yang ia tinggali pesan seminggu
yang lalu. Sebuah bilik tempat dimana dia bertemu untuk kali pertama dengan
laki-laki yang duduk disampingnya itu. Ada sedikit hasrat untuk tak ingin
kembali di tempat ini, namun entah tak tau berasal darimana, ada juga sedikit
hasrat untuk tidak ingin terlalu menggubris apa yang sedang terjadi dan akan
terjadi. Mereka tak sekedar berhenti, keduanya memasuki kembali bilik kamar
tersebut. Berdua.
Adrian
memutar pintu kamarnya. Mengaktifkan perintah kunci pada pintu tersebut.
Keduanya sudah di dalam kamar itu lagi. Adrian berangsur mengunci kembali apa
yang ingin ia tutup untuk dirinya sendiri. Dia memeluk erat bocah laki-laki
yang belum berjalan masuk lebih dalam kamar itu kemudian. Memeluknya erat,
seolah bocah laki-laki itu tak bertulang yang mampu digeretak pecah keluar.
Bastian segera saja bergeming, kedua matanya teduh tak berkedip melihat manusia
di depannya itu. Dia tak bisa berbuat apapun, tak bisa dan tak ingin yang
perlahan menjelma menjadi sebuah keinginan yang tidak ingin ia ketahui. Adrian
bisa saja memutar kunci untuk merekatkan apa yang ia inginkan. Dan laki-laki
itu juga bisa saja mulai membuka segalanya pada senja di hari kedelapan yang
berangsur ditangkap oleh petang hari, dimana Bastian mengerti bahwa laki-laki
memang akan menjadi laki-laki, sampai kapanpun. Dan tak ada yang lebih rumit
bagi laki-laki untuk mengerti apa itu kasih, apa itu yang kebanyakan lalu
disebut cinta.
***
“Ham and cheese Bagels. Have a
nice breakfast, Sayang,” pagi-pagi pukul setengah tujuh suara Adrian sudah
menggema di meja makan tempatnya tinggal. Bastian masih terduduk lesu di meja
itu. Matanya masih sembab, piyama masih berciuman dengan tubuhnya.
“Terima kasih, Sayang,” bocah laki-laki itu mengusap-usap kedua matanya,
titik-titik air hasil cuci muka masih berceceran di julur-julur kulit mukanya.
Dia masih berusaha mengembalikan nyawanya yang belum sepenuhnya genap. “Lagi-lagi
makanan ini, lagi-lagi makanan ini, kamu kenapa gemar sekali membuat makanan
ini buatku, dan…laki-laki yang dulu pernah dekat sama kamu, Sayang?”
“Haha..pertanyaan bodoh. Usiamu sudah lebih dewasa dua tahun dari
pertama kita bertemu, tapi masih saja sering bertanya pertanyaan-pertanyaan
bodoh,” Adrian terkekeh.
“Bukan pertanyaan bodoh. I mean, hampir
dua tahun kita benar-benar pacaran, saya nggak pernah tau kenapa tiap pagi kamu
sering bikinin Ham and Cheese Bagels?”
“Kamu pernah bilang kalau kamu suka makanan ini khan?” Adrian balik
bertanya.
“Oh ya?” Bastian berusaha mengingat. “Oh, waktu itu. Waktu itu, saya cuma
ingin tahu. Mancing-mancing kamu ternyata waktu itu kamu sering bikin makanan
ini buat siapa saja yang ingin kamu dekati. Haha.”
“Haha. Dasar bocah kepo,” sanggah Adrian.
“Habisnya jadi orang sok-sok misterius banget. Makan, yaa..” timpal
Bastian enteng. Segera saja dia menyergap satu gelas susu putih, lalu
disusulnya dengan melahap sarapan pagi yang serupa dengan hamburger itu. Tapi
yang membuatnya beda, roti yang dipakai mirip donat dengan satu lubang
ditengahnya. Rasa rotinya gurih, hasil pencampuran garam, perisa bawang Bombay dan
bawang putih. Ditengahnya terselip daging ham, selada, dan keju yang membuatnya
tebal dan kenyang.
“Ham and Cheese Bagels itu
bikin kenyang. Apalagi kalau dibuat sarapan tiap pagi,” Adrian mulai mencoba
menjelaskan alasannya membuat masakan itu.
“Alasan klise. Itu khan alasan yang saya pakai tempo hari perkara Ham and Cheese Bagels,” timpal Bastian
dengan segera dengan mulut penuh makanan.
“Tunggu dulu,lah. Saya belum selesai menjelaskan,”
“Lalu?”
“Tiap kali memasak, saya selalu pakai hati. Sama halnya ketika kamu
menulis khan?. I always treat my love
like cooking. Kalau makanan yang saya buat bisa saya masak pakai hati, itu
sama seperti saya ngasih hati dalam bentuk makanan yang dibuat to..yeah..my love ones..” sambung
Adrian. Nada bicaranya berubah menjadi serius. Tulus.
“Haha..” Bastian terbahak. “Sesimpel itu kah?”
“Memang simpel, tapi tak banyak yang tau. And, I’m so lucky finally you knew it,” Adrian tersenyum.
Bastian tak berkata-kata lagi setelah itu. Segera membuang kebingungannya
untuk berucap lagi dengan sibuk menghabiskan sarapan paginya yang tinggal
separuh porsi. Sejujurnya memang Ham and
Cheese Bagels yang dibuat kekasihnya itu memang enak, memang membuat
kenyang, dan dari kali pertama dia bertemu kekasihnya itu, makanan ini pulalah
yang setidaknya membuat ia rindu bertemu sosok lelaki itu.
“Ya sudah, saya berangkat bekerja dulu. Cepat habisin sarapan, lalu
cepat mandi. Hari ini, hari spesial buat kita?” Adrian beranjak dari kursinya. Mengembalikannya
ke pelukan meja, dan segera menyusun langkah ke kursi Bastian. Segera mengecup kekasihnya itu. “I love you so much. Jangan suka ngilang
tanpa kabar. Kalau memang hari ini atau kapanpun ingin hilang dan sedang tak
ingin diganggu, tinggalin pesan seperti tempo hari, ya sayang. Hehe.”
“Hehe. Gantian ngeledekin dia. Anyway,
memang hari spesial apa hari ini?” Bastian.
“Periksa meja di ruang TV. Jangan menyentuhnya saat belum mandi.”
“Ye, peduli apa mandi atau belum mandi. Enggak bakalan ada yang tau saya
menyentuhnya saat sudah mandi atau belum mandi. Haha.”
“Bocah bandel. Sudahlah, terserah kamu. Saya berangkat kerja dulu,
Sayang,” Adrian mengecup kekasihnya sekali lagi. Dan segera saja bayangannya
lenyap dari tempat ia tinggal. Menyisakan Bastian seorang diri.
Benar saja dia tak mengindahkan ucapan kekasihnya barusan. Sesaat
setelah memastikan sosok laki-laki itu lenyap dari dalam rumah, Bastian segera
menyergap ruang TV. Tanpa terlebih dahulu menyudahi sarapan paginya itu, dia
menuju ruang tengah tempat biasanya dia dan kekasihnya menghabiskan malam.
Dilihatnya sebuah amplop persegi panjang berwarna putih diantara tumpukan
majalah kuliner dan seni di meja yang bertengger diantara sofa dan televisi yang
berseberangan. Amplop itu bertuliskan Happy Anniversary. Astaga, Bastian
tergagap karena bisa-bisanya melupakan hari itu. Lebih tepatnya dia memang
benar-benar lupa hari itu, karena kebersamaannya dengan Adrian dua tahun ini
sudah cukup membuatnya berbahagia. Laki-laki itu masih penuh dengan
kejutan-kejutan yang misterius. Dibukanya amplop itu, dua carik tiket ke Eropa
Timur untuk bulan depan. Bastian semakin tergagap, mulutnya terbuka cukup lama
karena tak tau harus berucap apa lagi. Di amplop itu juga terselip sebuah
carikan kertas kecil, diatasnya dibubuhi goresan tinta hitam menyemburkan kata,
“Agar kamu bisa singgah di negeri asal Ham
and Cheese Bagel. Disana kamu juga pasti bisa mencicipi makanan itu, tapi
bukan saya yang buat. Chef disana
pasti bisa membuatnya lebih enak. I Love You and Happy Anniversary.”
Segera dia masukkan kembali dua carik tiket dan kertas itu ke dalam
amplopnya semula. Bastian menyusun simpul senyumnya. Dipandanginya tiap sudut
tempat tinggal lelaki itu. Tempat inilah untuk kali pertama dia mengenal cinta
satu malam dengan Adrian. One night stand
yang bagi teman-temannya adalah perkara persetubuhan semata. Dan ditempat
inilah, untuk kali pertama dia bertemu dengan sosok laki-laki yang tak ingin
kehilangan sosok diri Bastian sendirian. Boys
will be a boys, ucap sahabatnya. Tapi laki-laki mencintai petualangan, dia
akan berhenti jika memang sudah bertemu dengan sosok yang mampu membuatnya
berhenti, ucap Adrian ketika mendekap kencang memeluk Bastian saat setelah
mengunci pintu bilik tempatnya tinggal dan mulai membuka segalanya kepada bocah
laki-laki itu dua tahun lalu.