Tersebutlah sebuah sungai.
Dimalam hari yang gemulai. Tanpa kebisingan yang ramai. Hanya pancaran sinar
bulan berpendar terang yang membuat sungai itu ramai. Bulan seperti berkaca.
Pada sebuah benda penghasil proyeksi diri sendiri. Bukan sebuah benda
sejatinya. Karena Tuhan tak pernah menciptkan benda. Sungai dengan luas yang
cukup lebar, teramat sangat lebih dari cukup untuk digunakan sang bulan sebagai
media berkaca. Indah. Putih. Bersih. Tanpa Cela. Bebas.
Holly. Makhluk venus dua puluh
tahunan memilih tempat itu sebagai teman kesendiriannya malam ini. Sebenarnya
ini bukan malam pertama dia berada disini. Karena menghitung untuk keberapa
kalinya dia datang kemari hanya seakan seperti menyombongkan diri. Dia lebih
rela menghitung berapa ekor ikan yang muncul di permukaan air sungai tiap
pertapaannya bersama dewi malam disini. Menghisap pipa panjang dengan ujung
sebuah tembakau terbakar. Hal klasik. Tapi ada sesuatu yang bisa ia petik.
Kebebasan sebuah modernitas dan hal klasik adalah surga duniawi bagi dirinya.
Seekor kucing berbulu jingga. Tak
bernama. Sama-sama makhluk venus namun dengan nasib hidup yang berbeda. Dia
hanya mengerti hal mengisi perut. Berlari-lari tanpa batas. Bebas. Merdeka. Sebagaimana
sebebas dan semerdeka dia di pasangi nama apapun oleh siapapun yang melihatnya.
Bertengger manja di pangkuan majikannya. Benar benar bebas. Tapi masih
membutuhkan uluran tangan untuk bermanja-manja ria.
Paul. Pria berkulit coklat khas
asli dari negara penghasil kain penutup badan yang sexy, Italia. Kesendirian di
malam hari ternyata bukan saja berada dalam sebuah tas cantik warna-warni
seoarang wanita. Seorang penulis paruh waktu ini juga selalu memasukkan
kesendirian malam hari pada sebuah jas yang tak pernah lepas dari badannya tiap
hari. Menghisap tembakau yang sudah digulung. Karena cerutu hanya sebagai
simbolisasi pria besar. Dan dia bukan pria besar. Hanyalah pria berbadan besar.
Dengan bagian otot di sekujur tubuh bagai tukang. Gulungan tembakau dengan
sebotol alkohol murah adalah sahabat setia kesendiriannya tiap malam di pinggir
sungai itu.
***
Pantulan rupa bulan di sungai itu
bergoyang. Memecah keheningan senyap. Seekor ikan yang tak terlihat rupanya itu
baru saya mengintip dunia luar dari dalam habitatnya.
“Hi, apa yang kau lakukan disini
?” Keheningan senyappun juga mulai dipecah. Sehabis membuang asap putih dari
dalam mulutnya, Holly membuang suaranya menuju ke arah Pria yang duduk di
seberang.
“Apa yang sedang kau lakukan juga
disini ?” Di seberang. Paul menimpali dengan pertanyaan yang sama. Menyambar
botol kaca di sisi kanannya. Meneguknya untuk memberikan efek lebih kepuasan
atas keberhasilannya membuang suara.
“Seperti yang bisa kau lihat. Aku
menikmati malam disini. Bersama kucingku yang tak bernama. Menikmati
kebebasanku. Dengan pipa klasik berujung rokok modern di ujung. Komposisi yang
pas bukan ?. Sesuatu yang baru tanpa
menghiraukan hal lama yang ada terlebih dahulu”.
“Dan seperti yang bisa kau lihat.
Aku juga menikmati malam disini. Bersama alkohol murah. Dengan gulungan
tembakau yang juga murah. Sangat pas. Sangat konstan. Dan tak ada hal yang
berbeda. Juga kebebasan yang aku inginkan. Kebebasan yang konstan. Kebebasan
yang pas”.
“Dan kau sedang apa kucing ?. Oh,
tidak. Kenapa kau selalu mengikutiku. Padahal aku juga benar-benar memberikan
kebebasan padamu. Sebagaimana aku tak memberikan nama padamu” Ucap Holly. Namun
hanya dibalas dengan kemanjan si kucing berbulu jingga yang semakin
menjadi-jadi di pangkuan Holly.
“Aku sangat menggilai sungai
bulan ini” Paul kembali menyembulkan kata-kata tanpa sinkronitas dari ucapan
Holly sebelumnya.
“Sungai bulan ?. Maksud kau ?.
Tempat ini ?. Bukankah bulan itu sangat suci. Seputih warna yang dipancarkan
nya. Aku berani bersangsi bahwa disana tak ada sungai. Permukannya terlihat
datar disini. Sangat bebas. Tapi sayang, kebebasannya terenggut oleh Bumi”
Sembul balik Holly dengan panjang lebar.
“Iya, maksud aku tempat ini. Hmm
mungkin terkaanmu salah. Apakah kau tidak percaya apa yang dikatakan
astronot-astronot itu ?. Sang pendatang langganan benda-benda angkasa itu.
Mereka selalu berujar kalau disana mirip sekali dengan Bumi. Jadi tak mungkin
kalau disana serata dengan apa yang tampak dari sini”.
“Yah, aku memang pernah
mendengarnya. Tapi aku tetap percaya pada pendirianku. Karena hanya itu yang
membuatku tenang. Kebebasan yang membuatku tenang. Hmm bukankah kau juga
seoarang pengagum kebebasan ?”.
“Yah, aku pengaggum berat
kebebasan. Tapi tak seidealisme dirimu. Kebebasanku dalam artian lain. Mungkin
bisa kubilang seperti yang aku katakan tadi. Kebebasan yang pas”.
“Baiklah. Tetaplah pada apa yang
kau pegang pemuda. Hmm kenapa kau menamakan tempat ini sungai bulan ?” Seakan
tak pernah kehabisan kosa kata yang disusun menjadi pertanyaan. Holly tak
pernah berhenti.
“Haha hanya hal yang simpel dan
mudah. Karena sungai ini dengan sempurna menjadi kaca bagi sang dewi malam”
Terang Paul dengan singkat. “Cukup puaskah jawabanku untukmu”.
“Yah, aku mengerti. Baiklah. Aku
orang yang bebas dan tak ingin seorangpun mengusik kebebasanku. Jadi mungkin
aku bisa menerima kebebasan orang lain untuk menjawab pertanyaanku”.
***
Malam itu. Di tempat yang sama.
Dimana bulan gemar berkaca di sebuah sungai. Dan dimana seorang pria bersama
alkohol dan gulungan tembakaunya duduk
berseberangan dengan seorang wanita dengan pipa dengan ujung tembakau terbakar
serta kucing tak bernama gemar bermalam kesendirian di pinggir sungai.
Namun malam ini seperti
perkecualian. Bulan tak nampak di langit. Bulan tak nampak di sungai. Sungai
bulan pun seakan menjelma menjadi sungai mendung yang menyatu dengan awan malam
yang pekat. Yang beberapa waktu kemudian disusul dengan tangisan awan yang
membuat isi sungai sedikit meluap. Kalap.
Paul. Pria yang sama. Menyerahkan
perlindungan agar tak bersentuhan dengan air hujan kepada sebatang pohon dipinggir sungai tempat
dimana dia menghabiskan kesendirian di malam hari. Masih ditemani dengan botol
kaca berisi alkohol dan gulungan tembakau untuk disulut dengan api. Keduanya
berdampak sangat besar untuk memberikan kehangatan di kala air dari langit
bersentuhan dengan permukaan luar bumi yang ia pijak.
Hatinya gusar. Kebebasannya
sedikit terkikis. Ada perasaan yang mengikis sedikit demi sedikit kebebasannya.
Adalah cinta. Cintannya pada seorang wanita dengan kebebasan yang idealis. Yang
selalu berada di tempat yang sama seperti dimana dia saat ini. Mimpi terkadang
membuatnya patah harapan. Mimpi tentang cinta yang dihadapi sekarang. Yang
berharap tak akan meruntuhkan harapannya lagi. Apalahi harapan di hati.
“Ah, mungkin sebentar lagi dia
akan datang” Yakinnya dalam hati.
Seakan waktu dan keadaan tak mau
bergumul dengan apa yang diyakininya. Wanita di seberang tak kunjung dapat
ditangkap oleh kedua mata Paul. Bahkan Pipa klasik berujung tembakau terbakar yang
setia menemani wanita pun tak bisa ditangkapnya.
“Pasti sebentar lagi dia akan
datang. Hujan yang membuatnya tak bisa kemari. Hujan pasti akan reda sebentar
lagi” Yakinnya masih dalam hati. Penuh dengan damai.
Waktu kembali tak mau bergumul
dengan apa yang diyakininya dalam hatinya yang damai. Kali ini faktor alam
mulai mencoba ikut campur. Sebentar lagi sudah tiba. Dan gadis yang dinantinya
pun tak kunjung tampak. Sebentar lagi sudah tiba. Dan awan pun semakin hebat
meluapkan emosi kesedihannya dalam tangisan ke bumi.
Pria itu masih gusar. Yang saat
ini sudah bertransformasi menjadi kesedihan. Hingga dia memutuskan untuk menyudahi
kesendiriannya dalam malam tanpa sungai bulan dan tanpa wanita di seberang
tempatnya bersemayam. Sebelum sempat kesedihan bertransformasi lagi menjadi
frustasi, dia beranjak dari tempatnya berteduh. Tanpa mengucapkan terima kasih
pada sebatang pohon yang telah berikhlas hati tanpa diminta memutuskan hubungan
langsung Paul dengan air hujan. Melawan tangisan awan. Tak peduli dengan suhu
tubuhnya yang bisa-bisa naik setelah itu. Mungkin lebih baik begitu. Daripada
dia harus menghadapi tangisan dirinya sendiri karena kesedihan.
Di persimpangan jalan yang
terbagi menjadi tiga. Di persimpangan tiga, jalan menuju sungai tempat dirinya
mengadu kesepiannya di malam hari. Paul bagai monster air yang siap menerkam
mangsa. Tubuhnya sempurna menyatu bersama air. Sayup sayup terdengar.
Sayup-sayup pria itu mendengar suara seseorang memanggil mencari sesuatu. Paul
memaksa langkahnya walau berat dirasa. Dia masih berharap. Dia masih yakin. Dan
sepertinya sebentar lagi itu adalah saat ini.
“Kucing....Kucing. Dimana kau ?.
Kucinggggg....” Suara itu yang dengan sempurna bisa diterima indera pendengar
Paul. Suara seorang wanita. Yang kali ini hanya berjarak beberapa langkah di
depan-nya.
Terpaku menancap di posisinya
berdiri. Benar-benar terpaku. Tanpa berseru. Dia hanya mampu menyimpan apa yang
dia lihat saat ini dalam memori otaknya. Apa yang dinantinya kini ada di
depan-nya. Semakin lama semakin mendekati tempatnya terpaku. Hingga dia bisa
melihat jelas air mata menyatu dengan air hujan di muka wanita itu.
“Apakah kau melihat kucingku ?.
Kucing berwarna jingga ?. Aku terlalu memberi dia kebebasan. Aku menyesal
memberi dia kebebasan. Sampai akhirnya aku merasa orang paling sedih di dunia
saat dia pergi meninggalkan aku” Ucapnya terburu-buru. Tanpa takut beku. Walau
hujan semakin deras berseru.
Paul. Dia sudah menjadi beku, berdiri
terpaku di tempatnya yang masih sama tanpa mampu beranjak. Dia bagai es yang
sempurna membeku saat wanita itu meniupkan suara dingin di hadapan nya.
Sebentar lagi itu sudah datang. Tapi pria itu hanya mampu terpaku beku bagai
es. Terpaku beku bagai es dengan posisi tertidur di tanah. Mungkin lelah. Atau
sedang bermimpi di dunia antah berantah.
***
Sebuah rumah mungil. Dengan
cerobong asap kecil. Bagai rumah mungil di cerita dongeng anak kecil.
Bertengger indah di persimpangan tiga sebuah jalan. Tentu penghuninya bukan
orang yang suka keramaian. Karena memang ini bukan tempat pusat keramaian. Bahkan
untuk menghasilkan keramaian pun perlu usaha keras karena hanya rumah kecil ini
yang berdiri disitu.
“Oh, Goldy. Kau sangat rakus.
Kenapa kau selalu menghabiskan sarapan pagiku setelah kau menghabiskan sarapan
pagi untukmu sendiri” Seorang wanita menggerutu dan berusaha mengusir seekor
kucing berwarna jingga yang sedang menguasai piring makan nya.
“Oh, Holly. Jangan berucap kasar
pada dia. Bukankah kau hampir tak pernah menghabiskan sarapanmu. Jadi biarlah
Goldy, kucing kesayanganmu yang menghabiskannya” Pria bertubuh besar. Dengan
otot bagai tukang menambah hiruk pikuk pagi itu.
“Tapi Paul. Aku tak ingin melihat
badan nya bertambah besar. Tak seharusnya seorang wanita mempunyai badan besar.
Kalau tau begini. Sia-sia saja aku mencari keberadaannya saat dia hilang”.
“Sudahlah, Holly. Dia hanyalah
sebuah kucing. Tak perlu kau samakan dia dengan manusia. Berikan dia sedikit
kebebasan. Kebebasan yang pas. Apakah aku perlu mengajarkan kebebasan yang
konstan itu kepadamu ?”.
“Tentu tidak, Paul. Kebebasan
yang pas dan konstan hanya milikmu. Dan. Ok, baiklah. Aku tertarik padamu
karena aku membutuhkan seseorang yang bisa memberikan dan membatasi
kebebasanku. Dan yah, kau lah orangnya, Paul” Wanita bernama Holly itu mulai
memberikan asupan tenaga untuk tubuhnya di pagi hari itu.
“Yeah, dan aku membutuhkan kebebasan
untuk aku cintai. Sejak pertama aku mulai melihatmu di sungai itu tiap malam. Aku
selalu memperhatikanmu dari kejauhan. Berharap ingin memulai sebuah pembicaraan
kepadamu. Namun itu tidak mungkin. Karena sungai membentang luas membatasi
antara tempatku dan tempatmu berada. Dan aku hanya bisa melihatmu menghisap
pipa dengan ujung berasap sambil sesekali bibirmu bergerak yang semakin
membuatku penasaran apa yang sebenarnya engkau bicarakan”.
“Oh, Paul. Jangan membuatku
tersipu malu di awal hari seperti ini. Aku juga melakukan hal yang sama
sepertimu waktu itu. Kau terlihat seperti pria kesepian yang hanya punya teman
dekat dua benda ini” Holly menunjuk sebuah gulungan tembakau murah dan sebotol
alkohol murah yang tak jauh dari posisi duduknya. “Dan sejujurnya aku juga
tertarik padamu. Tapi tak seharusnya seorang wanita memulai di awal”.
“ Yah, apalagi dengan
kebebasanmu. Yang ku tahu ternyata adalah sesuatu yang membuatku rela berada
disini bersamamu, Holly”.
“Tentu saja, Paul. Cinta tanpa
kebebasan tentu sangat membosankan. Tapi aku butuh batasan yang pas dan konstan
dari kebebasanku. Dan, yah kaulah orangnya. Tentu bersama kucing rakus ini yang
kebebasannya sudah aku potong lima puluh persen sehingga aku berhak memberinya
nama sekarang”.
“Waktu juga berperan, Holly. Jika
tak ada waktu, aku mungkin tak akan bisa bertemu empat mata secara langsung
denganmu di hujan deras waktu itu. Aku meyakini waktu yang akan membuatku
melihatmu lagi”.
“Yah, tentu saja. Waktu juga yang
membuatmu terpaku dan beku bagai es sampai-sampai kau pingsan di hujan deras waktu
itu. Hahaha...” Holly terbahak. Dan kemudian disusul dengan tawa Paul yang
setelah itu disusul lagi dengan kecupan manis di pagi hari pelengkap sarapan
pagi di rumah kecil di persimpangan tiga jalan menuju sungai bulan, sungai yang
dinamai oleh Pria bernama Paul dan diyakini oleh wanita bernama Holly beserta
kucing berwarna jingga yang telah mendapat nama Goldy.
*) Terinspirasi dari lagu Moon River karya Henry Mancini dari film klasik "Breakfast at Tiffany's". Nama tokoh (Holly Golightly, Paul Varjak, dan Cat) diambil dari film dan novel yang sama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar