CLICK HERE FOR FREE BLOGGER TEMPLATES, LINK BUTTONS AND MORE! »

Sabtu, 17 September 2011

Moon River*


Tersebutlah sebuah sungai. Dimalam hari yang gemulai. Tanpa kebisingan yang ramai. Hanya pancaran sinar bulan berpendar terang yang membuat sungai itu ramai. Bulan seperti berkaca. Pada sebuah benda penghasil proyeksi diri sendiri. Bukan sebuah benda sejatinya. Karena Tuhan tak pernah menciptkan benda. Sungai dengan luas yang cukup lebar, teramat sangat lebih dari cukup untuk digunakan sang bulan sebagai media berkaca. Indah. Putih. Bersih. Tanpa Cela. Bebas.

Holly. Makhluk venus dua puluh tahunan memilih tempat itu sebagai teman kesendiriannya malam ini. Sebenarnya ini bukan malam pertama dia berada disini. Karena menghitung untuk keberapa kalinya dia datang kemari hanya seakan seperti menyombongkan diri. Dia lebih rela menghitung berapa ekor ikan yang muncul di permukaan air sungai tiap pertapaannya bersama dewi malam disini. Menghisap pipa panjang dengan ujung sebuah tembakau terbakar. Hal klasik. Tapi ada sesuatu yang bisa ia petik. Kebebasan sebuah modernitas dan hal klasik adalah surga duniawi bagi dirinya.

Seekor kucing berbulu jingga. Tak bernama. Sama-sama makhluk venus namun dengan nasib hidup yang berbeda. Dia hanya mengerti hal mengisi perut. Berlari-lari tanpa batas. Bebas. Merdeka. Sebagaimana sebebas dan semerdeka dia di pasangi nama apapun oleh siapapun yang melihatnya. Bertengger manja di pangkuan majikannya. Benar benar bebas. Tapi masih membutuhkan uluran tangan untuk bermanja-manja ria.

Paul. Pria berkulit coklat khas asli dari negara penghasil kain penutup badan yang sexy, Italia. Kesendirian di malam hari ternyata bukan saja berada dalam sebuah tas cantik warna-warni seoarang wanita. Seorang penulis paruh waktu ini juga selalu memasukkan kesendirian malam hari pada sebuah jas yang tak pernah lepas dari badannya tiap hari. Menghisap tembakau yang sudah digulung. Karena cerutu hanya sebagai simbolisasi pria besar. Dan dia bukan pria besar. Hanyalah pria berbadan besar. Dengan bagian otot di sekujur tubuh bagai tukang. Gulungan tembakau dengan sebotol alkohol murah adalah sahabat setia kesendiriannya tiap malam di pinggir sungai itu.

***

Pantulan rupa bulan di sungai itu bergoyang. Memecah keheningan senyap. Seekor ikan yang tak terlihat rupanya itu baru saya mengintip dunia luar dari dalam habitatnya.

“Hi, apa yang kau lakukan disini ?” Keheningan senyappun juga mulai dipecah. Sehabis membuang asap putih dari dalam mulutnya, Holly membuang suaranya menuju ke arah Pria yang duduk di seberang.

“Apa yang sedang kau lakukan juga disini ?” Di seberang. Paul menimpali dengan pertanyaan yang sama. Menyambar botol kaca di sisi kanannya. Meneguknya untuk memberikan efek lebih kepuasan atas keberhasilannya membuang suara.

“Seperti yang bisa kau lihat. Aku menikmati malam disini. Bersama kucingku yang tak bernama. Menikmati kebebasanku. Dengan pipa klasik berujung rokok modern di ujung. Komposisi yang pas bukan ?. Sesuatu  yang baru tanpa menghiraukan hal lama yang ada terlebih dahulu”.

“Dan seperti yang bisa kau lihat. Aku juga menikmati malam disini. Bersama alkohol murah. Dengan gulungan tembakau yang juga murah. Sangat pas. Sangat konstan. Dan tak ada hal yang berbeda. Juga kebebasan yang aku inginkan. Kebebasan yang konstan. Kebebasan yang pas”.

“Dan kau sedang apa kucing ?. Oh, tidak. Kenapa kau selalu mengikutiku. Padahal aku juga benar-benar memberikan kebebasan padamu. Sebagaimana aku tak memberikan nama padamu” Ucap Holly. Namun hanya dibalas dengan kemanjan si kucing berbulu jingga yang semakin menjadi-jadi di pangkuan Holly.

“Aku sangat menggilai sungai bulan ini” Paul kembali menyembulkan kata-kata tanpa sinkronitas dari ucapan Holly sebelumnya.

“Sungai bulan ?. Maksud kau ?. Tempat ini ?. Bukankah bulan itu sangat suci. Seputih warna yang dipancarkan nya. Aku berani bersangsi bahwa disana tak ada sungai. Permukannya terlihat datar disini. Sangat bebas. Tapi sayang, kebebasannya terenggut oleh Bumi” Sembul balik Holly dengan panjang lebar.

“Iya, maksud aku tempat ini. Hmm mungkin terkaanmu salah. Apakah kau tidak percaya apa yang dikatakan astronot-astronot itu ?. Sang pendatang langganan benda-benda angkasa itu. Mereka selalu berujar kalau disana mirip sekali dengan Bumi. Jadi tak mungkin kalau disana serata dengan apa yang tampak dari sini”.

“Yah, aku memang pernah mendengarnya. Tapi aku tetap percaya pada pendirianku. Karena hanya itu yang membuatku tenang. Kebebasan yang membuatku tenang. Hmm bukankah kau juga seoarang pengagum kebebasan ?”.

“Yah, aku pengaggum berat kebebasan. Tapi tak seidealisme dirimu. Kebebasanku dalam artian lain. Mungkin bisa kubilang seperti yang aku katakan tadi. Kebebasan yang pas”.

“Baiklah. Tetaplah pada apa yang kau pegang pemuda. Hmm kenapa kau menamakan tempat ini sungai bulan ?” Seakan tak pernah kehabisan kosa kata yang disusun menjadi pertanyaan. Holly tak pernah berhenti.

“Haha hanya hal yang simpel dan mudah. Karena sungai ini dengan sempurna menjadi kaca bagi sang dewi malam” Terang Paul dengan singkat. “Cukup puaskah jawabanku untukmu”.

“Yah, aku mengerti. Baiklah. Aku orang yang bebas dan tak ingin seorangpun mengusik kebebasanku. Jadi mungkin aku bisa menerima kebebasan orang lain untuk menjawab pertanyaanku”.

***

Malam itu. Di tempat yang sama. Dimana bulan gemar berkaca di sebuah sungai. Dan dimana seorang pria bersama alkohol dan gulungan tembakaunya  duduk berseberangan dengan seorang wanita dengan pipa dengan ujung tembakau terbakar serta kucing tak bernama gemar bermalam kesendirian di pinggir sungai.

Namun malam ini seperti perkecualian. Bulan tak nampak di langit. Bulan tak nampak di sungai. Sungai bulan pun seakan menjelma menjadi sungai mendung yang menyatu dengan awan malam yang pekat. Yang beberapa waktu kemudian disusul dengan tangisan awan yang membuat isi sungai sedikit  meluap. Kalap.

Paul. Pria yang sama. Menyerahkan perlindungan agar tak bersentuhan dengan air hujan  kepada sebatang pohon dipinggir sungai tempat dimana dia menghabiskan kesendirian di malam hari. Masih ditemani dengan botol kaca berisi alkohol dan gulungan tembakau untuk disulut dengan api. Keduanya berdampak sangat besar untuk memberikan kehangatan di kala air dari langit bersentuhan dengan permukaan luar bumi yang ia pijak.

Hatinya gusar. Kebebasannya sedikit terkikis. Ada perasaan yang mengikis sedikit demi sedikit kebebasannya. Adalah cinta. Cintannya pada seorang wanita dengan kebebasan yang idealis. Yang selalu berada di tempat yang sama seperti dimana dia saat ini. Mimpi terkadang membuatnya patah harapan. Mimpi tentang cinta yang dihadapi sekarang. Yang berharap tak akan meruntuhkan harapannya lagi. Apalahi harapan di hati.

“Ah, mungkin sebentar lagi dia akan datang” Yakinnya dalam hati.

Seakan waktu dan keadaan tak mau bergumul dengan apa yang diyakininya. Wanita di seberang tak kunjung dapat ditangkap oleh kedua mata Paul. Bahkan Pipa klasik berujung tembakau terbakar yang setia menemani wanita pun tak bisa ditangkapnya.

“Pasti sebentar lagi dia akan datang. Hujan yang membuatnya tak bisa kemari. Hujan pasti akan reda sebentar lagi” Yakinnya masih dalam hati. Penuh dengan damai.

Waktu kembali tak mau bergumul dengan apa yang diyakininya dalam hatinya yang damai. Kali ini faktor alam mulai mencoba ikut campur. Sebentar lagi sudah tiba. Dan gadis yang dinantinya pun tak kunjung tampak. Sebentar lagi sudah tiba. Dan awan pun semakin hebat meluapkan emosi kesedihannya dalam tangisan ke bumi.

Pria itu masih gusar. Yang saat ini sudah bertransformasi menjadi kesedihan. Hingga dia memutuskan untuk menyudahi kesendiriannya dalam malam tanpa sungai bulan dan tanpa wanita di seberang tempatnya bersemayam. Sebelum sempat kesedihan bertransformasi lagi menjadi frustasi, dia beranjak dari tempatnya berteduh. Tanpa mengucapkan terima kasih pada sebatang pohon yang telah berikhlas hati tanpa diminta memutuskan hubungan langsung Paul dengan air hujan. Melawan tangisan awan. Tak peduli dengan suhu tubuhnya yang bisa-bisa naik setelah itu. Mungkin lebih baik begitu. Daripada dia harus menghadapi tangisan dirinya sendiri karena kesedihan.  

Di persimpangan jalan yang terbagi menjadi tiga. Di persimpangan tiga, jalan menuju sungai tempat dirinya mengadu kesepiannya di malam hari. Paul bagai monster air yang siap menerkam mangsa. Tubuhnya sempurna menyatu bersama air. Sayup sayup terdengar. Sayup-sayup pria itu mendengar suara seseorang memanggil mencari sesuatu. Paul memaksa langkahnya walau berat dirasa. Dia masih berharap. Dia masih yakin. Dan sepertinya sebentar lagi itu adalah saat ini.

“Kucing....Kucing. Dimana kau ?. Kucinggggg....” Suara itu yang dengan sempurna bisa diterima indera pendengar Paul. Suara seorang wanita. Yang kali ini hanya berjarak beberapa langkah di depan-nya.

Terpaku menancap di posisinya berdiri. Benar-benar terpaku. Tanpa berseru. Dia hanya mampu menyimpan apa yang dia lihat saat ini dalam memori otaknya. Apa yang dinantinya kini ada di depan-nya. Semakin lama semakin mendekati tempatnya terpaku. Hingga dia bisa melihat jelas air mata menyatu dengan air hujan di muka wanita itu.

“Apakah kau melihat kucingku ?. Kucing berwarna jingga ?. Aku terlalu memberi dia kebebasan. Aku menyesal memberi dia kebebasan. Sampai akhirnya aku merasa orang paling sedih di dunia saat dia pergi meninggalkan aku” Ucapnya terburu-buru. Tanpa takut beku. Walau hujan semakin deras berseru.

Paul. Dia sudah menjadi beku, berdiri terpaku di tempatnya yang masih sama tanpa mampu beranjak. Dia bagai es yang sempurna membeku saat wanita itu meniupkan suara dingin di hadapan nya. Sebentar lagi itu sudah datang. Tapi pria itu hanya mampu terpaku beku bagai es. Terpaku beku bagai es dengan posisi tertidur di tanah. Mungkin lelah. Atau sedang bermimpi di dunia antah berantah.

***

Sebuah rumah mungil. Dengan cerobong asap kecil. Bagai rumah mungil di cerita dongeng anak kecil. Bertengger indah di persimpangan tiga sebuah jalan. Tentu penghuninya bukan orang yang suka keramaian. Karena memang ini bukan tempat pusat keramaian. Bahkan untuk menghasilkan keramaian pun perlu usaha keras karena hanya rumah kecil ini yang berdiri disitu.

“Oh, Goldy. Kau sangat rakus. Kenapa kau selalu menghabiskan sarapan pagiku setelah kau menghabiskan sarapan pagi untukmu sendiri” Seorang wanita menggerutu dan berusaha mengusir seekor kucing berwarna jingga yang sedang menguasai piring makan nya.

“Oh, Holly. Jangan berucap kasar pada dia. Bukankah kau hampir tak pernah menghabiskan sarapanmu. Jadi biarlah Goldy, kucing kesayanganmu yang menghabiskannya” Pria bertubuh besar. Dengan otot bagai tukang menambah hiruk pikuk pagi itu.

“Tapi Paul. Aku tak ingin melihat badan nya bertambah besar. Tak seharusnya seorang wanita mempunyai badan besar. Kalau tau begini. Sia-sia saja aku mencari keberadaannya saat dia hilang”.

“Sudahlah, Holly. Dia hanyalah sebuah kucing. Tak perlu kau samakan dia dengan manusia. Berikan dia sedikit kebebasan. Kebebasan yang pas. Apakah aku perlu mengajarkan kebebasan yang konstan itu kepadamu ?”.

“Tentu tidak, Paul. Kebebasan yang pas dan konstan hanya milikmu. Dan. Ok, baiklah. Aku tertarik padamu karena aku membutuhkan seseorang yang bisa memberikan dan membatasi kebebasanku. Dan yah, kau lah orangnya, Paul” Wanita bernama Holly itu mulai memberikan asupan tenaga untuk tubuhnya di pagi hari itu.

“Yeah, dan aku membutuhkan kebebasan untuk aku cintai. Sejak pertama aku mulai melihatmu di sungai itu tiap malam. Aku selalu memperhatikanmu dari kejauhan. Berharap ingin memulai sebuah pembicaraan kepadamu. Namun itu tidak mungkin. Karena sungai membentang luas membatasi antara tempatku dan tempatmu berada. Dan aku hanya bisa melihatmu menghisap pipa dengan ujung berasap sambil sesekali bibirmu bergerak yang semakin membuatku penasaran apa yang sebenarnya engkau bicarakan”.

“Oh, Paul. Jangan membuatku tersipu malu di awal hari seperti ini. Aku juga melakukan hal yang sama sepertimu waktu itu. Kau terlihat seperti pria kesepian yang hanya punya teman dekat dua benda ini” Holly menunjuk sebuah gulungan tembakau murah dan sebotol alkohol murah yang tak jauh dari posisi duduknya. “Dan sejujurnya aku juga tertarik padamu. Tapi tak seharusnya seorang wanita memulai di awal”.

“ Yah, apalagi dengan kebebasanmu. Yang ku tahu ternyata adalah sesuatu yang membuatku rela berada disini bersamamu, Holly”.

“Tentu saja, Paul. Cinta tanpa kebebasan tentu sangat membosankan. Tapi aku butuh batasan yang pas dan konstan dari kebebasanku. Dan, yah kaulah orangnya. Tentu bersama kucing rakus ini yang kebebasannya sudah aku potong lima puluh persen sehingga aku berhak memberinya nama sekarang”.

“Waktu juga berperan, Holly. Jika tak ada waktu, aku mungkin tak akan bisa bertemu empat mata secara langsung denganmu di hujan deras waktu itu. Aku meyakini waktu yang akan membuatku melihatmu lagi”.

“Yah, tentu saja. Waktu juga yang membuatmu terpaku dan beku bagai es sampai-sampai kau pingsan di hujan deras waktu itu. Hahaha...” Holly terbahak. Dan kemudian disusul dengan tawa Paul yang setelah itu disusul lagi dengan kecupan manis di pagi hari pelengkap sarapan pagi di rumah kecil di persimpangan tiga jalan menuju sungai bulan, sungai yang dinamai oleh Pria bernama Paul dan diyakini oleh wanita bernama Holly beserta kucing berwarna jingga yang telah mendapat nama Goldy.

*) Terinspirasi dari lagu Moon River karya Henry Mancini dari film klasik "Breakfast at Tiffany's". Nama tokoh (Holly Golightly, Paul Varjak, dan Cat) diambil dari film dan novel yang sama. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar