Pria berkulit gelap itu menembus
gelapnya malam dalam kesendiriannya. Sendiri. Hanya berteman dengan sebuah
rangkaian besi yang menyatu, beroda, dengan bak terbuka di sisi bagian
belakangnya. Menembus malam dengan hawa dingin yang menusuk sadis di tubuh nya.
Tapi kesendirian batin nya seakan lebih menusuk tubuh tinggi berisi dengan
sedikit otot yang menyembul indah menonjol di tubuh nya. Hingga tusukan sadis
hawa di malam hari pun hanya sebuah tusukan sederhana untuk kulit hasil
persekutuan pasangan pria dan wanita yang sudah lama meninggalkannya. Tak
terjamah oleh hawa dingin. Hanya sebuah kesepian abadi yang menjamahnya setiap
hari.
Benderang cahaya lampu menerangi
sebuah lapangan basket luar ruangan. Melawan gelapnya malam sembari membantu
menyinari lapangan olahraga itu. Pria itu mulai perlahan mengurangi kecepatan
kendaraan-nya. Tepat bersentuhan dengan kulit luar pembatas antara lapangan
basket itu dengan jalan sekitar , dia dengan sempurna mengurangi kecepatan ke
titik nol. Menyambar jaket kulit berwarna coklat tua di kursi samping dari
dirinya berada. Lalu mulai sibuk dengan dashboard
tempat penyimpanan di sebarang kursi dengan jaket kulit tua itu. Pria itu
dengan hati-hati mengambil sebuah benda yang tersimpan di dalam-nya. Dengan
hati-hati seakan itu sebuah barang kesayangannya yang tak ingin dirusak. Sebuah
senapan angin.
Pria yang sama itu kembali
bergelut melawan angin malam. Masih sendiri. Namun kali ini rangkaian besi yang
menyatu, hasil buah pikiran negara Sakura itu tidak menemaninya bergelut dengan
kesendirian. Dia hanya bertumpu pada kedua belah kaki-nya. Berjalan hati-hati
tanpa curiga di sepinya malam.
Mengendap perlahan di dalam
kegelapan sebuah ruangan yang dia identifikasi sebagai ruang tamu dari sebuah
istana kecil seorang kaya raya. Nasib penglihatan nya hanya dibantu dengan
sebuah senter kecil dengan cahaya berpendar warna putih. Menyoroti daerah
sekitar seakan sebuah pemain opera yang sedang unjuk kebolehan di panggung
dengan sorotan lampu di atasnya. Sangat berhati-hati. Terpenjara dalam diam.
Sekecil apapun suara yang bisa dihasilkan, bisa menimbulkan efek yang tidak
kecil untuk beberapa jam, beberapa hari, bulan, bahkan tahun kedepan miliknya.
Malam yang hening dan damai.
Kedamaiannya seolah tak menanamkan kecemasan atau ketakutan apapun kepada
setiap orang yang bergelut dengan malam itu. Namun kedamaian itu mungkin hanya
secuil perasaan untuk ketenangan diri. Yang nyata-nya kedamaian itu bisa
terpecah. Dan keheningan itu pun mengikutinya dari belakang. Meninggalkan
pekatnya malam.
Semua yang dia punya pun ikut
hilang. Buah pikiran atas malam yang hening dan damai pun mendadak mati
seketika. Sebuah peluru berhasil melibas habis otak jeniusnya dalam bidang
bisnis. Sebuah peluru kecil pun juga mampu menggilas habis hal terindah dan
terbesar yang dimilikinya. Tak tersisa apapun. Istri dan dua bocah kembar,
bahkan pembantu nya pun tergilas habis di hening dan damai-nya malam itu.
Si Pria kesepian dengan jaket
kulitnya kembali bergelut melawan angin malam. Sendiri. Hanya berteman dengan
sebuah rangkaian besi yang menyatu, beroda, dengan bak terbuka di sisi bagian
belakangnya. Pikiran-nya menerawang jauh. Padahal dia sendiri tak ingin
menerawang jauh seperti itu. Hanya ingin berkawan dengan kesepian nya. Walaupun
kesepian miliknya sering kali membuat otak nya tak waras. Tapi sesungguhnya dia
masih waras. Masih bisa menghabiskan waktu dengan waras. Namun kehidupan lah
yang membentuknya menjadi ganas.
Cahaya bulan memantulkan bayangan
gelap Pria itu dengan kendaraan nya. Makin melaju dengan santai. Berhati-hati.
Sampai akhirnya bayangan itu hilang. Si Pria dan kendaraan nya hilang pada satu
titik. Dia tak pernah mau berucap kapan semua ini akan lenyap pada satu titik.
***
Sebuah melodi yang indah terdengar
mengalun pada sebuah rumah sederhana yang seadanya. Letaknya yang cukup jauh
dari pusat keramaian membuat hening di daerah sekitar. Sehingga tampak jelas
melodi indah itu bisa diterima oleh kedua indera pendengaran. Hanya sebuah
melodi musik. Tanpa imbuhan vokal rangkaian kata-kata mengiringi. Hanya sebuah
melodi musik. Dari jeritan indah sebuah alat musik klasik. Sebuah piano
berwarna hitam mengkilat itu bertengger paling mencolok di rumah sederhana yang
sama. Hanya benda itu yang tidak bisa dikatakan menyiratkan sebuah lambang
kesederhanaan. Letaknya menghadap
jendela yang menyuguhkan pemandangan luar. Pemandangan luar yang indah dipadu
dengan melodi yang juga indah adalah sebuah komposisi yang pas untuk sebuah
keheningan.
Aku menatap keluar jendela.
Sambil kedua tanganku tak mau lepas menekan rentetan teratur tuts piano
berwarna putih mengkilat. Melodi ini sudah sangat ku kuasai. Rangkaian partitur
not balok nya pun sudah tertanam dengan subur di dalam otakku. Semakin kuhapal
diluar kepala saat kekasihku rajin
mendengarkannya di kala petang tiba. Saat ini pun aku tak perlu lagi menunggu
petang datang untuk memainkannya.
Pada sebuah titik tak berujung di
luar jendela. Aku menancapkan pandangan indera penglihatanku disana. Menerawang
jauh seolah tanpa akhir. Kedua tanganku masih sibuk menjamah dan menekan bagian
tubuh piano yang berwarna putih ditempat yang masih sama. Melodi yang
dihasilkan membawa penerawanganku kembali pada suatu waktu. Waktu dimana masa
yang tak bisa terlupa. Seolah bagai melodi yang membawaku kemari, yang tertanam
subur di dalam pikiranku.
***
Pria berkulit gelap itu dengan mantap
tanpa tergagap memasangkan sebuah cincin berwana perak ke jari sebuah wanita
yang berdiri di hadapannya. Balutan kain penutup dengan warna senada sama
persis dengan warna cincin tertempel sempurna di tubuh mereka. Perak putih
suci. Selang beberapa sesudah itu, giliran si wanita yang kali ini memasangkan
benda berwarna perak dengan wujud yang sama kepada pria yang sudah menanamkan
janji suci sehidup sematinya kepadanya. Prosesi singkat ini pun melengkapi
kesempurnaan dari acara pernikahan kecil pada sebuah gubuk kecil yang jauh dari
keramaian. Sepi. Hanya sepasang manusia itu yang mengucap janji suci dengan
saksi bisu sebuah piano berwarna hitam mengkilat sebagai mas kawin. Hanya
mereka berdua, tanpa jeda, tanpa imbuhan.
Aku akan menerima segalanya.
Selama aku bisa. Sampai waktu ku berakhir untuk ini semua. Si Pria mengakhiri
ucapan janjinya dengan mencium tangan kanan seorang wanita, yang kini sudah
bisa dikatakan menjadi istrinya. Kulit tangannya halus putih bersih. Sehalus
nada bicara suaminya. Seputih janji mereka berdua. Dan sebersih tangan sang
suami ketika memasangkan benda sebagai simbolisasi sebuah ikatan pada jarinya.
Wanita itu hanya memandang wajah
pria di depannya dengan tatapan polos. Tanpa bersuara untuk memberi tanggapan
dari perkataan suaminya. Yang nampak hanya senyum dari bibir kecil berwarna
merah muda yang saat itu dilumuri dengan gincu terang berwarna senada dengan
bibirnya. Yang tersirat di pikirannya hanya akhir bahagia dari sebuah putri
dari dongeng-dongeng yang sering dibacanya.
Seusai semua itu berakhir. Mereka
berdua menikmati tengah hari yang indah berdua. Sebuah rangkaian besi menyatu
yang disangga dengan empat buah roda dengan bak terbuka di bagian belakang
digunakannya sebagai kuda putih untuk ditunggangi Pria itu dan putri yang baru
beberapa jam lalu menjadi miliknya. Menerjang angin panas tengah hari. Terik
matahari tak bisa memudarkan keinginan mereka untuk menghabiskan waktu bersama
setelah pernikahan. Dipinggir pantai yang sunyi senyap. Dipinggir pantai yang
hanya diisi suara ombak. Dipinggir pantai adalah persinggahan mereka untuk
menghabiskan waktu berdua. Hanya mereka berdua. Tanpa siapapun.
Bak terbuka bagian belakang
saling bertatap muka dengan hamparan luas air. Tak saling melawan. Tak saling
bergantung satu sama lain. Walaupun sesekali air menyentuh roda belakang
sebagai penyangga bak itu. Tapi itu pun bukan keinginan sang air. Angin yang
meniupnya kemari.
Si Pria dan Wanita itu sama
halnya dengan bak terbuka bagian belakang itu. Mereka bertatap muka dengan
hamparan luas air. Sama-sama tak saling melawan. Sama-sama tak saling
bergantung satu sama lain dengan sekitarnya. Hanya angin yang meniup air hingga
menyentuh sepasang kaki wanita dan pria itu.
Mereka berdua terdiam. Memegang
erat kencang tangan satu sama lain seperti tak ingin terpisah.
“Sepertinya aku akan segera mengakhiri
kesendirianku” Pria itu memecah keheningan setelah sebelumnya suara hanya
dikontaminasi oleh suara ombak pantai.
Pria itu mengakhiri pemecah
keheningan itu dengan mencium tangan kanan sang Wanita yang kini gaun pengantin
bagian bawah-nya mulai terlihat bercak terkena air.
Dari kejauhan terlihat sebuah
mobil dengan bak di bagian belakang mulai menjauh dari hamparan air yang luas. Membawa
sebuah kebahagiaan yang dibawa oleh sepasang manusia. Menghantam kesepian
diantara mereka. Memulai perjalanan baru pada hidup mereka.
***
Di gelapnya malam. Tepat pada
pukul 12 malam. Aku menembus barisan terjal pagar dari besi di bagian kanan dan
kiri-ku. Hingga pemberhentian terakhirku tehenti pada sebuah ruangan lapang.
Aku berdiri di sisi pinggir. Bersama segerombolan pria berbaju seragam aparat
yang kemudian bisa diindentifikasi sebagai polisi.
Dalam kepolosanku aku hanya
terdiam. Otak ku belum mampu menejermahkan apa yang bisa aku lihat di depanku.
Ada sebuah pria. Aku bisa melihatnya
dari bentuk tubuh kekar nya. Dada-nya tak terlihat seperti ada dua buah sesuatu
yang bengkak. Wajahnya berwarna hitam, terbuat dari kain sulaman. Aku sangat
yakin itu bukan wajah aslinya. Hanya sebuah benang wol berwarna hitam yang
disulam hingga membentuk sebuah penutup untuk kepala. Dia berjalan terpaksa.
Dipaksa. Gerombolan pria berseragam mengerumuninya di belakang. Kedua tangan
pria itu dirantai. Dan aku hanya mampu mengintai. Tak mampu dan tak bisa
berbuat apa-apa. Hanya memandangnya dari jauh.
“DHAR” Suara memekakkan telinga
itu baru saja mengisi gendang telingaku. Sementara di seberang. Isi dari asal
suara itu mengisi otak dan tubuhnya. Hingga mengalahkan efek suara yang
dihasilkan. Sebuah peluru dari sebuah senapan sudah menembus otak dan tubuhnya.
Dalam kepolosanku aku hanya
terdiam. Memang tak seharusnya makhluk hawa yang belum cukup umur melihat
proyeksi sadis dan tragis seperti ini. Tapi ini mungkin sedikit perkecualian.
Sampai akhirnya seorang pria berseragam memberikan secarik kertas kepadaku. Digiringnya
aku sesudah secarik kertas itu bisa kugenggam dengan tangan. Aku hanya
berharap, diriku bukan santapan lezat selanjutnya yang akan siap dilahap habis oleh sebutir
peluru.
***
Melodi yang sama masih kumainkan
pada piano indah ini. Terawanganku terputus di tengah jalan. Diputus oleh
kekacauan manis teriakan seorang anak lelaki dengan senapan-nya.
“Akan kuhabisi kau” Teriaknya lantang
penuh gurauan dengan senapan dihadapkan padaku.
“Mana bisa kau habisi Mama.
Karena sebelumnya Mama akan menghabisimu dulu” Dengan segera ku menyergap tubuh
kecilnya. Kuangkat badan-nya. Dan kududukkan dia pada pangkuan-ku.
Penerawanganku kembali bermain.
Kembali pada secarik kertas yang diberikan pria berseragam itu kepadaku. Aku
sangat mengenal tulisan di kertas itu. Aku pernah melihat tulisan seperti itu
saat suami ku menuliskan sebuah alamat untuk tempatku bersembunyi kesekian
kalinya pada secarik kertas berbahan sama seperti yang diberikan pria
berseragam itu.
Hanya sebuah ucapan “Yes, i do”. Aku berucap janji kepadamu.
Hanya sebuah ucapan” Yes, i do”. Aku percaya pada Tuhan.
Hanya sebuah ucapan “Yes, i do”.
Aku memilihmu.
Hanya sebuah ucapan “Yes, i do”. Aku ingin mengakhiri kesendirianku
Hanya sebuah ucapan “Yes, i do”. Aku ingin kita berdua hidup abadi di
tempat yang sesungguhnya bisa menjajikan keabadian.
Hanya sebuah ucapan Terima Kasih. Yang tak bisa diterjemahkan dalam
bahasa verbal.
Hanya sebuah ucapan Terima Kasih dari hati. Yang abadi. Yang bisa
sejajar berdiri di tempat abadi yang sesungguhnya hingga aku akan mengulang berucap “Yes, i do”
Aku terhenti di sebuah pantai. Tempat
yang sama ketika kami berdua tak saling bergantung dengan daerah sekitar. Hanya
kita berdua saat itu. Namun kini hanya aku. Berdiri seorang diri di tepi
pantai. Secarik kertas itu masih kugenggam. Kupandangi sejenak. Lalu otak ku
mengirimkan perintah ke tanganku untuk menuliskan sesuatu.
Hanya sebuah ucapan Terima Kasih. Atas sebuah kesepian. Atas sebuah
kesedihan. Atas semua hal yang terlihat kelam namun sesungguhnya indah.
Sampai bertemu di tempat keabadian yang hakiki.
Terima Kasih.
Aku menuliskan nya pada bagian
paling bawah secarik kertas itu. Melipatnya dengan rapi. Terjaga dengan rapi
hingga aku kembali dari penerawanganku.
Anak lelaki di pangkuanku masih
sibuk mengkaji senapan nya. Aku masih sibuk dengan efek dari penerawangaku akan
memori. Sebuah perjalanan indah. Bersyukur tanpa harus menemukan cinta yang
rumit terlebih dahulu. Bersyukur atas darah daging yang saat ini duduk di
pangkuanku. Berharap semoga senapan berwujud nyata, tidak akan menembus otak
dan tubuhnya saat usia nya beranjak di usia yang sama persis dimana otak dan tubuh Ayahnya
berhasil ditembus oleh peluru dari senapan.
***
*) Terinspirasi dari judul lagu yang sama dari Ayumi Hamasaki. Di ambil dari koleksi Album kedua belas bertajuk Love Story.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar