CLICK HERE FOR FREE BLOGGER TEMPLATES, LINK BUTTONS AND MORE! »

Jumat, 16 September 2011

Virgin Road*


Pria berkulit gelap itu menembus gelapnya malam dalam kesendiriannya. Sendiri. Hanya berteman dengan sebuah rangkaian besi yang menyatu, beroda, dengan bak terbuka di sisi bagian belakangnya. Menembus malam dengan hawa dingin yang menusuk sadis di tubuh nya. Tapi kesendirian batin nya seakan lebih menusuk tubuh tinggi berisi dengan sedikit otot yang menyembul indah menonjol di tubuh nya. Hingga tusukan sadis hawa di malam hari pun hanya sebuah tusukan sederhana untuk kulit hasil persekutuan pasangan pria dan wanita yang sudah lama meninggalkannya. Tak terjamah oleh hawa dingin. Hanya sebuah kesepian abadi yang menjamahnya setiap hari.

Benderang cahaya lampu menerangi sebuah lapangan basket luar ruangan. Melawan gelapnya malam sembari membantu menyinari lapangan olahraga itu. Pria itu mulai perlahan mengurangi kecepatan kendaraan-nya. Tepat bersentuhan dengan kulit luar pembatas antara lapangan basket itu dengan jalan sekitar , dia dengan sempurna mengurangi kecepatan ke titik nol. Menyambar jaket kulit berwarna coklat tua di kursi samping dari dirinya berada. Lalu mulai sibuk dengan dashboard tempat penyimpanan di sebarang kursi dengan jaket kulit tua itu. Pria itu dengan hati-hati mengambil sebuah benda yang tersimpan di dalam-nya. Dengan hati-hati seakan itu sebuah barang kesayangannya yang tak ingin dirusak. Sebuah senapan angin.

Pria yang sama itu kembali bergelut melawan angin malam. Masih sendiri. Namun kali ini rangkaian besi yang menyatu, hasil buah pikiran negara Sakura itu tidak menemaninya bergelut dengan kesendirian. Dia hanya bertumpu pada kedua belah kaki-nya. Berjalan hati-hati tanpa curiga di sepinya malam.

Mengendap perlahan di dalam kegelapan sebuah ruangan yang dia identifikasi sebagai ruang tamu dari sebuah istana kecil seorang kaya raya. Nasib penglihatan nya hanya dibantu dengan sebuah senter kecil dengan cahaya berpendar warna putih. Menyoroti daerah sekitar seakan sebuah pemain opera yang sedang unjuk kebolehan di panggung dengan sorotan lampu di atasnya. Sangat berhati-hati. Terpenjara dalam diam. Sekecil apapun suara yang bisa dihasilkan, bisa menimbulkan efek yang tidak kecil untuk beberapa jam, beberapa hari, bulan, bahkan tahun kedepan miliknya.

Malam yang hening dan damai. Kedamaiannya seolah tak menanamkan kecemasan atau ketakutan apapun kepada setiap orang yang bergelut dengan malam itu. Namun kedamaian itu mungkin hanya secuil perasaan untuk ketenangan diri. Yang nyata-nya kedamaian itu bisa terpecah. Dan keheningan itu pun mengikutinya dari belakang. Meninggalkan pekatnya malam.

Semua yang dia punya pun ikut hilang. Buah pikiran atas malam yang hening dan damai pun mendadak mati seketika. Sebuah peluru berhasil melibas habis otak jeniusnya dalam bidang bisnis. Sebuah peluru kecil pun juga mampu menggilas habis hal terindah dan terbesar yang dimilikinya. Tak tersisa apapun. Istri dan dua bocah kembar, bahkan pembantu nya pun tergilas habis di hening dan damai-nya malam itu.

Si Pria kesepian dengan jaket kulitnya kembali bergelut melawan angin malam. Sendiri. Hanya berteman dengan sebuah rangkaian besi yang menyatu, beroda, dengan bak terbuka di sisi bagian belakangnya. Pikiran-nya menerawang jauh. Padahal dia sendiri tak ingin menerawang jauh seperti itu. Hanya ingin berkawan dengan kesepian nya. Walaupun kesepian miliknya sering kali membuat otak nya tak waras. Tapi sesungguhnya dia masih waras. Masih bisa menghabiskan waktu dengan waras. Namun kehidupan lah yang membentuknya menjadi ganas.

Cahaya bulan memantulkan bayangan gelap Pria itu dengan kendaraan nya. Makin melaju dengan santai. Berhati-hati. Sampai akhirnya bayangan itu hilang. Si Pria dan kendaraan nya hilang pada satu titik. Dia tak pernah mau berucap kapan semua ini akan lenyap pada satu titik.

***

Sebuah melodi yang indah terdengar mengalun pada sebuah rumah sederhana yang seadanya. Letaknya yang cukup jauh dari pusat keramaian membuat hening di daerah sekitar. Sehingga tampak jelas melodi indah itu bisa diterima oleh kedua indera pendengaran. Hanya sebuah melodi musik. Tanpa imbuhan vokal rangkaian kata-kata mengiringi. Hanya sebuah melodi musik. Dari jeritan indah sebuah alat musik klasik. Sebuah piano berwarna hitam mengkilat itu bertengger paling mencolok di rumah sederhana yang sama. Hanya benda itu yang tidak bisa dikatakan menyiratkan sebuah lambang kesederhanaan. Letaknya menghadap jendela yang menyuguhkan pemandangan luar. Pemandangan luar yang indah dipadu dengan melodi yang juga indah adalah sebuah komposisi yang pas untuk sebuah keheningan.

Aku menatap keluar jendela. Sambil kedua tanganku tak mau lepas menekan rentetan teratur tuts piano berwarna putih mengkilat. Melodi ini sudah sangat ku kuasai. Rangkaian partitur not balok nya pun sudah tertanam dengan subur di dalam otakku. Semakin kuhapal diluar kepala  saat kekasihku rajin mendengarkannya di kala petang tiba. Saat ini pun aku tak perlu lagi menunggu petang datang untuk memainkannya.

Pada sebuah titik tak berujung di luar jendela. Aku menancapkan pandangan indera penglihatanku disana. Menerawang jauh seolah tanpa akhir. Kedua tanganku masih sibuk menjamah dan menekan bagian tubuh piano yang berwarna putih ditempat yang masih sama. Melodi yang dihasilkan membawa penerawanganku kembali pada suatu waktu. Waktu dimana masa yang tak bisa terlupa. Seolah bagai melodi yang membawaku kemari, yang tertanam subur di dalam pikiranku.

***

Pria berkulit gelap itu dengan mantap tanpa tergagap memasangkan sebuah cincin berwana perak ke jari sebuah wanita yang berdiri di hadapannya. Balutan kain penutup dengan warna senada sama persis dengan warna cincin tertempel sempurna di tubuh mereka. Perak putih suci. Selang beberapa sesudah itu, giliran si wanita yang kali ini memasangkan benda berwarna perak dengan wujud yang sama kepada pria yang sudah menanamkan janji suci sehidup sematinya kepadanya. Prosesi singkat ini pun melengkapi kesempurnaan dari acara pernikahan kecil pada sebuah gubuk kecil yang jauh dari keramaian. Sepi. Hanya sepasang manusia itu yang mengucap janji suci dengan saksi bisu sebuah piano berwarna hitam mengkilat sebagai mas kawin. Hanya mereka berdua, tanpa jeda, tanpa imbuhan.

Aku akan menerima segalanya. Selama aku bisa. Sampai waktu ku berakhir untuk ini semua. Si Pria mengakhiri ucapan janjinya dengan mencium tangan kanan seorang wanita, yang kini sudah bisa dikatakan menjadi istrinya. Kulit tangannya halus putih bersih. Sehalus nada bicara suaminya. Seputih janji mereka berdua. Dan sebersih tangan sang suami ketika memasangkan benda sebagai simbolisasi sebuah ikatan pada jarinya.

Wanita itu hanya memandang wajah pria di depannya dengan tatapan polos. Tanpa bersuara untuk memberi tanggapan dari perkataan suaminya. Yang nampak hanya senyum dari bibir kecil berwarna merah muda yang saat itu dilumuri dengan gincu terang berwarna senada dengan bibirnya. Yang tersirat di pikirannya hanya akhir bahagia dari sebuah putri dari dongeng-dongeng yang sering dibacanya.

Seusai semua itu berakhir. Mereka berdua menikmati tengah hari yang indah berdua. Sebuah rangkaian besi menyatu yang disangga dengan empat buah roda dengan bak terbuka di bagian belakang digunakannya sebagai kuda putih untuk ditunggangi Pria itu dan putri yang baru beberapa jam lalu menjadi miliknya. Menerjang angin panas tengah hari. Terik matahari tak bisa memudarkan keinginan mereka untuk menghabiskan waktu bersama setelah pernikahan. Dipinggir pantai yang sunyi senyap. Dipinggir pantai yang hanya diisi suara ombak. Dipinggir pantai adalah persinggahan mereka untuk menghabiskan waktu berdua. Hanya mereka berdua. Tanpa siapapun.

Bak terbuka bagian belakang saling bertatap muka dengan hamparan luas air. Tak saling melawan. Tak saling bergantung satu sama lain. Walaupun sesekali air menyentuh roda belakang sebagai penyangga bak itu. Tapi itu pun bukan keinginan sang air. Angin yang meniupnya kemari.

Si Pria dan Wanita itu sama halnya dengan bak terbuka bagian belakang itu. Mereka bertatap muka dengan hamparan luas air. Sama-sama tak saling melawan. Sama-sama tak saling bergantung satu sama lain dengan sekitarnya. Hanya angin yang meniup air hingga menyentuh sepasang kaki wanita dan pria itu.

Mereka berdua terdiam. Memegang erat kencang tangan satu sama lain seperti tak ingin terpisah.

“Sepertinya aku akan segera mengakhiri kesendirianku” Pria itu memecah keheningan setelah sebelumnya suara hanya dikontaminasi oleh suara ombak pantai.

Pria itu mengakhiri pemecah keheningan itu dengan mencium tangan kanan sang Wanita yang kini gaun pengantin bagian bawah-nya mulai terlihat bercak terkena air.

Dari kejauhan terlihat sebuah mobil dengan bak di bagian belakang mulai menjauh dari hamparan air yang luas. Membawa sebuah kebahagiaan yang dibawa oleh sepasang manusia. Menghantam kesepian diantara mereka. Memulai perjalanan baru pada hidup mereka.

***

Di gelapnya malam. Tepat pada pukul 12 malam. Aku menembus barisan terjal pagar dari besi di bagian kanan dan kiri-ku. Hingga pemberhentian terakhirku tehenti pada sebuah ruangan lapang. Aku berdiri di sisi pinggir. Bersama segerombolan pria berbaju seragam aparat yang kemudian bisa diindentifikasi sebagai polisi.

Dalam kepolosanku aku hanya terdiam. Otak ku belum mampu menejermahkan apa yang bisa aku lihat di depanku. Ada sebuah pria.  Aku bisa melihatnya dari bentuk tubuh kekar nya. Dada-nya tak terlihat seperti ada dua buah sesuatu yang bengkak. Wajahnya berwarna hitam, terbuat dari kain sulaman. Aku sangat yakin itu bukan wajah aslinya. Hanya sebuah benang wol berwarna hitam yang disulam hingga membentuk sebuah penutup untuk kepala. Dia berjalan terpaksa. Dipaksa. Gerombolan pria berseragam mengerumuninya di belakang. Kedua tangan pria itu dirantai. Dan aku hanya mampu mengintai. Tak mampu dan tak bisa berbuat apa-apa. Hanya memandangnya dari jauh.

“DHAR” Suara memekakkan telinga itu baru saja mengisi gendang telingaku. Sementara di seberang. Isi dari asal suara itu mengisi otak dan tubuhnya. Hingga mengalahkan efek suara yang dihasilkan. Sebuah peluru dari sebuah senapan sudah menembus otak dan tubuhnya.

Dalam kepolosanku aku hanya terdiam. Memang tak seharusnya makhluk hawa yang belum cukup umur melihat proyeksi sadis dan tragis seperti ini. Tapi ini mungkin sedikit perkecualian. Sampai akhirnya seorang pria berseragam memberikan secarik kertas kepadaku. Digiringnya aku sesudah secarik kertas itu bisa kugenggam dengan tangan. Aku hanya berharap, diriku bukan santapan lezat selanjutnya  yang akan siap dilahap habis oleh sebutir peluru.

***

Melodi yang sama masih kumainkan pada piano indah ini. Terawanganku terputus di tengah jalan. Diputus oleh kekacauan manis teriakan seorang anak lelaki dengan senapan-nya.

“Akan kuhabisi kau” Teriaknya lantang penuh gurauan dengan senapan dihadapkan padaku.

“Mana bisa kau habisi Mama. Karena sebelumnya Mama akan menghabisimu dulu” Dengan segera ku menyergap tubuh kecilnya. Kuangkat badan-nya. Dan kududukkan dia pada pangkuan-ku.

Penerawanganku kembali bermain. Kembali pada secarik kertas yang diberikan pria berseragam itu kepadaku. Aku sangat mengenal tulisan di kertas itu. Aku pernah melihat tulisan seperti itu saat suami ku menuliskan sebuah alamat untuk tempatku bersembunyi kesekian kalinya pada secarik kertas berbahan sama seperti yang diberikan pria berseragam itu.

Hanya sebuah ucapan “Yes, i do”. Aku berucap janji kepadamu.
Hanya sebuah ucapan” Yes, i do”. Aku percaya pada Tuhan.
Hanya sebuah ucapan  “Yes, i do”. Aku memilihmu.
Hanya sebuah ucapan “Yes, i do”. Aku ingin mengakhiri kesendirianku
Hanya sebuah ucapan “Yes, i do”. Aku ingin kita berdua hidup abadi di tempat yang sesungguhnya bisa menjajikan keabadian.
Hanya sebuah ucapan Terima Kasih. Yang tak bisa diterjemahkan dalam bahasa verbal.
Hanya sebuah ucapan Terima Kasih dari hati. Yang abadi. Yang bisa sejajar berdiri di tempat abadi yang sesungguhnya  hingga aku akan mengulang berucap “Yes, i do”

Aku terhenti di sebuah pantai. Tempat yang sama ketika kami berdua tak saling bergantung dengan daerah sekitar. Hanya kita berdua saat itu. Namun kini hanya aku. Berdiri seorang diri di tepi pantai. Secarik kertas itu masih kugenggam. Kupandangi sejenak. Lalu otak ku mengirimkan perintah ke tanganku untuk menuliskan sesuatu.

Hanya sebuah ucapan Terima Kasih. Atas sebuah kesepian. Atas sebuah kesedihan. Atas semua hal yang terlihat kelam namun sesungguhnya indah.
Sampai bertemu di tempat keabadian yang hakiki.
Terima Kasih.

Aku menuliskan nya pada bagian paling bawah secarik kertas itu. Melipatnya dengan rapi. Terjaga dengan rapi hingga aku kembali dari penerawanganku.

Anak lelaki di pangkuanku masih sibuk mengkaji senapan nya. Aku masih sibuk dengan efek dari penerawangaku akan memori. Sebuah perjalanan indah. Bersyukur tanpa harus menemukan cinta yang rumit terlebih dahulu. Bersyukur atas darah daging yang saat ini duduk di pangkuanku. Berharap semoga senapan berwujud nyata, tidak akan menembus otak dan tubuhnya saat usia nya beranjak di usia yang sama persis dimana otak dan tubuh Ayahnya berhasil ditembus oleh peluru dari senapan.

***

*) Terinspirasi dari judul lagu yang sama dari Ayumi Hamasaki. Di ambil dari koleksi Album kedua belas bertajuk Love Story.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar