CLICK HERE FOR FREE BLOGGER TEMPLATES, LINK BUTTONS AND MORE! »

Senin, 26 September 2011

Pulang*


Tokyo. Musim Semi.

Awal yang baru. Memulai segalanya dengan yang baru. Tanpa meninggalkan diriku yang lama, tanpa menggantikannya dengan sosok yang baru. Hanyalah sesosok Pria. Dengan kegilaan yang dinamakan hobi, semacam obsesi untuk menikmati dunia. Lalu dinamakan Traveler. Sang Petualang. Karena aku memang tertarik untuk mencoba tantangan. Banyak hal tentang tantangan, mencoba tinggal di batas nusantara pun kumasukkan juga dalam tas ransel sebuah tantangan.

Terlepas dari macam dan jenis traveler, aku menyebut diriku sendiri traveler. Hanya traveler. Entah seseorang akan memberiku label traveler backpacker, Ataukah first class traveler sekalipun. Itu mungkin hanya akan membuat pengkotak-kotakan dari segi kantong seorang penikmat dunia . Itu mungkin malah akan membuat tak bisanya kemampuan diri, untuk menikmati tujuan sejati untuk melakukan Traveling.   

Menginjakkan musim semi yang pertama. Di pusat negeri sakura, Tokyo. Tentu ini bukan kali pertama aku memulai Traveling. Karena suatu kegilaan yang dinamakan hobi, akan berupa gila lalu dinamakan hobi yang sejati jika pernah dirasa lebih dari satu kali. Berlindung pada sebuah hostel. Bukan pada berpayung megahnya hotel. Karena, di persinggahan yang minimalislah traveling lebih bisa dinikmati. Sejauh ini itu yang kurasakan.

Di akhir bulan ketiga. Bunga sakura dengan ramainya sedang berlaga. Ada sesuatu pada diriku, jauh di dalam sana, mengikutinya untuk ikut berunjuk laga. Wanita itu secantik warna merah muda bunga sakura. Segemulai gerakan gugur ditiup angin bunga sakura. Sebuah imajiku sedikit menyeruak masuk, dalam celah otakku yang penuh dengan urusan ide-ide propaganda sebuah produk untuk menarik konsumen. Aku membayangkan menjadi angin yang meniupnya. Cukup gila. Karena aku memang cukup sukar untuk gila akan cinta.

Di akhir bulan ketiga. Aku pertama kali melihatnya. Sejalan dengan pertama kalinya aku merasakan musim semi di Jepang. Tepatnya di sebuah taman kota, saat kita bersama-sama sedang menikmati hanami  di bawah pohon yang berbunga secantik wanita itu. Tentu, kita tidak dalam satu tikar saat itu. Menyantap onigiri yang sedap. Sembari melihatmu dari kejauhan menambah apa yang ku lahap semakin sedap. Entah, dari sejak kapan aku mengawali memandangmu. Kau, dengan sebuah tas jinjing wanita bertuliskan Dior, sangat kontras dengan posisimu duduk di tikar. Itu mungkin yang membuatku mengintaimu dari kejauhan. Komposisi yang indah ketika sebuah kemewahan masih ingin bergumul dengan kesederhanaan.

Suara indahmu mengalunkan sebuah nama, Helga. Tepat seperti dugaanku yang tak sepenuhnya yakin di awal, darahmu ternyata mengandung warna merah putih. Sementara, hewan bangsa unggas idolamu adalah burung garuda. Wanita bernama Helga itu sama-sama berasal dari Indonesia. Kau seorang kolumnis. Kau sering dijumpai pada kolom khusus wanita, di lembaran harian ternama kota pahlawan. Selebihnya aku belum menahu. Ingin tahu. Tapi kau seolah tak ingin memberitahu. Hanya secuil bagian itulah yang kau beritahu. Kepadaku.

Kaupun seolah wanita pasif. Untungnya bukan agresif. Tak banyak bicara. Padahal aku ingin banyak bicara. Tapi aku hanya tak sampai separo menciptakan pembicaraan yang kuanggap menarik untukmu. Kau pun sama halnya, hanya melempar balik pertanyaan yang seharusnya untuk mu, bagai bumerang, pertanyaan itu kembali ditanyakan kepadaku. Tentunya, ini mungkin adalah sebuah tantangan yang menggelitik untuk dihadapi olehku.

Aku hanyalah seorang Pria. Pria tak seharusnya mudah menyerah. Apalagi aku sudah berani menancapkan label gila tantangan pada diriku. Tentu, aku takkan melepasnya begitu saja. Malu. Gagu. Cupu.

Hanami pun usai. Disusul dengan yozakura di gelap bumi dibawah sinar rembulan. Lampion-lampion cantik, berjajar digantung diantara pohon satu ke pohon yang lain. Penuh cahaya. Terang. Terlihat hangat dan indah. Kuharap kau tergugah. Kuharap kau sedikit berubah. Karena aku tak akan berubah. Aku semakin tertarik padamu, wahai Helga. Sedikit berharap bahwa cahaya lampion bisa membuatku terlihat untukmu, untuk kau melihat wujudku lebih lama lagi.

Di hari terakhirku berada di Jepang. Kejadian ini terlihat seperti opera sabun murahan. Sedikit  menyebutnya dari alam sadarku dengan penuh percaya diri, ini adalah sebuah takdir. Takdir yang indah. Sosok Helga sekelibat melewati posisiku berdiri saat bandara baru saja menyapaku untuk membawaku pulang. Aku memanggilnya, dia hanya tersenyum simpul. Lalu menghentikan langkahnya saat melihat wajahku yang penuh tanda tanya.

“Biarlah waktu yang menjawab. Kalau kita bisa bertemu lagi. Suatu hari. Dimanapun itu. Percayalah semuanya tak akan seperti ini. Sejatinya, pria adalah pemuja tantangan bukan ?. Anggaplah ini sebuah tantangan.”  Jawabnya dengan halus tanpa bernada memojokkan, saat aku meminta alamat surat elektronik milknya. Helga tersenyum. Yang akan terekam abadi dalam pikiranku. Beranjak dari tempatnya. Dia kembali pulang.

 Aku juga ingin pulang. Pulang untuk melihatmu. Pulang pada sebuah hal yang datang pertama kali namun ajaib bisa membuatku tergugah. Pulang kepada Helga. Yang saat ini masih harapan belaka. Hanya sebuah produk dari sang pembuat mimpi. Yang ikut kubawa pulang ke Nusantara.
***

Honolulu. Musim Panas.

Wanita. Traveling. Mungkin terbilang cukup asing. Karena seharusnya, mungkin karena kebiasaan dan mungkin juga karena hukum alam, wanita lebih pantas jika bersanding dengan Shopping. Namun aku tak mau terbilang asing. Shopping masih menjadi aksesoris yang aku masukkan pada Lady Dior hitam glossy yang sering ku tenteng tiap aku melakukan traveling. Menjadikan dua kegilaan yang lalu dinamakan hobi dalam satu kegiatan.

Panas terik. Membuatku tertarik. Honolulu di Hawaii menjadi tujuan pengaburanku di musim panas di luar area nusantara. Bukan Bali. Karena sejujurnya aku ingin meninggalkan nusantara sejenak. Aku kalah telak. Ada setangkup kenangan yang tak bisa ku lawan. Memang terlihat sekali sepeti Eat, Pray, and Love. Inspirasi traveling ku saat ini memang berangkat dari sana, dengan imbuhan beberapa literatur tentang motivasi diri. Tapi sejujurnya, aku bukan memposisikan diriku agar dikata serupa dengan Julia Robert di film terkait. Tapi terkadang ada semacam benang merah yang menyambung antara realita kita dan non-realita dari sebuah film. Terkadang apa yang terjadi pada adegan sebuah film, bukan tidak mungkin akan terjadi juga pada hidup kita. Tapi itu  hanya mungkin. Untuk mengaitkannya butuh faktor keberuntungan. Formula yang ada disana sedang kucoba. Formula untuk menghilangkan perasaan hancur karena sebuah hubungan. Mencoba melihat dunia luar. Karena sejatinya, kata banyak orang masih banyak yang lebih menderita daripada kita di dunia luar sana. Aku mencoba mengikuti alurnya. Alur waktu. Alur waktu untuk menjadikanku pulih seperti sedia kala. Tanpa membuat perkecualian pada diriku sendiri untuk berbuat agar pulih.

Dipinggir pantai. Untuk bersantai. Musim panas seakan mempunyai kekuatan magis untuk mengumpulkan massa untuk menikmatinya tanpa perlu memverbalkan ajakan persuasifnya secara langsung. Karena musim panas memang diciptakan tanpa memiliki media untuk bicara. Sajian pantai di depanku sudah mirip sekumpulan wanita yang sedang berebut pakaian diskon disebuah Department Store. Namun disini, mereka berebut air. Berebut pasir. Berebut sinar matahari. Berebut semua karya ciptaan Tuhan.
Aku merasa adanya sedikit pengintaian. Naluri wanita sangat sensitif. Seperti sebuah sinyal kuat yang sedang aktif. Aku sedang menikmati loco moco di kedai makanan di pinggir pantai. Tanpa melihat kepada sesosok yang kurasa sedang mengintaiku. Hanya menunduk berkonsentrasi pada loco moco yang sudah siap di hadapanku. Menikmati sesendok demi sesendok makanan khas Hawaii yang penyajiannya sangat khas. Seadanya. Sangat kacau ala kadarnya dan unik.

“Apakah waktu bisa dikatakan sudah menjawab ?” Suara seorang pria mencoba memasuki gendang telingaku, ketika aku kembali ke kursi di pinggir pantai. “Kita bertemu lagi. Suatu hari itu sudah tiba, Helga”

Aku terdiam sejenak. Kemudian melepas kacamata hitamku. Memicingkan mata sejenak, untuk melihat dengan jelas wujud rupa dari sumber suara yang baru saja berhasil memasuki telingaku. Pria yang tak cukup seksi. Berkulit cokelat, dengan perut sedikit buncit. Aku sedikit mengidentifikasi dia penghuni Asia Tenggara.

“Maksud anda, tuan?” Tanyaku palsu. Berpura tak tahu. Memberi sedikit ujian pada makhluk adam yang berdiri di samping tempatku berada.

“Maksudku, apakah kau mengingat beberapa bulan lalu di Tokyo ?. Saat musim semi dengan bunga sakura yang bersemi di Tokyo. Kalau tidak salah, aku pertama kali melihatmu disana. Begitu juga kau”

Aku tersenyum simpul. Menahan tawa. Berpikir sejenak apa kiranya pertanyaan yang bisa menggambarkan kejual mahalan seorang wanita, namun tidak terlihat terlalu jual mahal.

“Honolulu rupanya memang tempat sejuta umat. Tempat paling pas untuk menikmati musim panas. Mungkin dengan begitu sejuta umatnya tempat ini, aku bisa menemukanmu di antaranya” Celoteh pria yang sama. Dia memandangku. Penuh percaya diri.

“Baiklah. Aku mengaku kalah untuk berpura-pura. Ini” Aku menyerahkan secarik kartu nama kepada Pria yang baru pertama kali kutemui tiga bulan yang lalu. “Aku sudah terlanjur menjajikan ini khan. Ditambah dengan bonus nama lengkapku, nomer ponsel, dan alamat rumah dan kantorku. Anggap saja sebagai penghargaan kecil atas keberhasilanmu menemukanku diantara ribuan pecinta pantai ini, Herdi”

“Ini juga ada sesuatu dariku. Tanpa perlu aku membuat janji bersyarat agar aku bisa memberikannya padamu” Pria bernama Herdi itu balik memberikan kartu namanya kepadaku. Dan posisi skor pun impas, di posisi 1-1.

Api unggun dan malam menyambut. Aku pun ikut menyambut. Kali ini ditemani seorang pria bernama Herdy  yang juga ikut menyambut. Ada sebuah pesta kecil di pinggir pantai. Terbilang sangat santai. Jauh dari kesan yang sangat bising dan terlampau ramai. Kami berdua mengobrol di kursi tinggi terbuat dari bambu,  disebuah warung makan penjual loco moco, yang telah disulap menjadi bar mini, dengan damai. Ditemani segelas vodka segar. Menginginkan otakku disusul dengan segar.

Alkohol dalam vodka yang tak berdosa. Harusnya aku yang pendosa. Mungkin ini lah mengapa dikatakan minuman beralkohol itu haram hukumnya. Keinginanku akan penyegaran untuk otakku terlaksana. Pikiranku segar. Disiram vodka segar. Yang tanpa kutahu sudah berapa gelas kuteguk. Berkali-kali batuk. Tapi bukan sakit. Mungkin hanya sebuah reaksi kecil dari banyaknya alkohol yang telah membasahi badanku. Tapi otakku terlampau segar kali ini. Segar. Sampai ingin kukeluarkan kekesalan dan kesakitanku dalam diri hanya untuk bisa merasakan sesuatu yang telah membuat diriku segar.

“Pria itu penjahat. Pernahkah kau menemui penjahat dalam film dan buku berkelamin wanita wahai pria ?. Sangat jarang bukan ?. Karena memang pria yang lebih pantas menerima peran dan dikatakan sebagai penjahat.” Otak dan pikiranku sudah bergumul dengan alam bawah sadar. Mulutku tak bisa diam. Bagai wanita jalang, mulutku tak bisa diam. “Dan jika memang kau bukan pria penjahat. Maka sudah menjadi suatu keharusan kau mengantarkan seorang wanita yang sedang mabuk pulang ke rumah. Wow, ternyata aku masih sedikit sadar untuk mengetahui kemabukanku”

Malam masih berpendar dengan cantik. Kemudian disusul dengan alunan musik pop cantik. Kesedihan menghampiriku dalam ketidaksadaranku. Dia menghampiriku dalam ketidakinginanku untuk merasakannya. Sudah terlalu sering kujumpai dirinya. Sudah terlalu sering pula ku ingin membuangnya. Kuharap ini benar-benar terakhir kalinya aku jumpai dirinya datang. Tanpa akal. Tanpa ada rasa malu. Tanpa ada orang di depanku yang tak cukup ku kenal. Berceloteh bagai jalang yang kesepian di depan pria yang mengintaiku bagai dirinya seorang penjahat.

Pagi yang bening. Buatku adalah pagi yang pening. Isi dalam kepalaku bergeming. Terkapar penuh pening pada hamparan tempat tidur di pondok kecil. Air putih segera kuteguk walau perjuanganku menuju ke dapur sedikit terganggu dengan pening. Tapi pening bisa ku kalahkan. Harus ku kalahkan. Karena aku sudah terlanjur berani meneguk vodka yang membuatku seperti saat ini. Pening.

Pondok kecil yang damai. Penuh dengan tumbuhan hijau di sekitarnya. Terkadang hamparan luas air mengintip dari balik tumbuhan-tumbuhan itu. Yang menambah kesempurnaan dari kedamaian. Masih dalam kepeningan kepalaku. Aku menghampiri teras depan. Menghirup udara pagi yang segar. Memasukkannya dalam tubuh sebagai penyegar batin. Lalu kemudian menghempaskannya bersamaan dengan sesuatu yang ingin kuhempaskan dari dalam tubuhku.

Ada sedikit pengintaian kecil yang mengintaiku di pagi yang damai itu. Dan kedamaianpun sedikit terpecah. Digantikan sebuah pertanyaan kecil di dalam otak yang menembus celah kecil pening yang kurasa. Sedikit beruntung, namun sedikit bingung. Beruntung karena pengintaian ini hanya pengintaian kecil. Kusebut demikian karena si pengintai sedang tidak tersadar. Bersandar dengan diriku yang sudah mengenal siapa pengintai ini. Bingung. Karena mengapa si pengintai bisa berada disini. Tertidur pulas tanpa berdosa di kursi dari bambu yang bertengger manis tanpa dosa di teras depan pondok kecil ini.

Celah kecil kesadaranku dalam pikiran sudah sedikit tersadar. Sudah mampu untuk menembus daya ingatku atas apa yang terjadi sebelum ini. Tapi masih samar-samar. Samar-samar yang mengandung sedikit kejelasan. Sedikit menjelaskan sebab pria ini berada di teras depan pondok kecilku pada pagi ini. Sesuatu yang masih samar-samar itu,  juga kurasa sedang sedikit mengintip dari dalam hatiku. Sesuatu yang sudah hampir setengah tahun ini tak pernah tumbuh walau hanya mengintip sedikitpun. Tidak sekalipun. Yang pada akhirnya, aku membawanya pulang. Yang setelah itu menambah isi dari Lady Dior ku yang setia kubawa untuk menjaga eksistensi hidup di kota pahlawan di nusantara.
***

New York. Musim Gugur.

Angin membawaku ke kota ini. Angin keberhasilan membawa mataku melawan panorama gedung-gedung tinggi yang mencakar langit. Angin musim gugur membawaku menghabiskan sedikit rasa kegugurannya di kota penuh gempita ini. Memasuki sedikit celah kecil diantara ramainya jalanan kota ini. Hingga sampai di sebuah kamar dengan ruangan cukup besar di lantai 20. Mencoba untuk pertama kalinya sesuatu yang tak pernah ku duga, First class traveler. Sungguh diluar kebiasaan. Semacam sebuah hadiah atas keberhasilan karier atas ide kreatif untuk sebuah propaganda produk mie instan. Tentu, cukup di luar ekspekstasi di permulaan. Bagaimana mungkin sebuah mie instan bisa memboyong anak manusia keluar dari Nusantara sampai ke New York. Tetapi, semua bisa menjadi sebuah realita sekarang. Kepala suku biro iklan dimana tempatku menggali emas berlian, memberikan sebuah paket liburan ditambah berlindung pada sebuah ruangan di salah satu gedung pencakar langit yang ikut menghiasi arsitektur indah kota New York.

Keberhasilanku atas jawaban sebuah waktu juga kuraih. Sungguh mustahil memang jika ditelaah sedikit demi sedikit. Tapi menelaahnya mungkin hanya akan membuat produk dari keberhasilan ini tak bisa dinikmati. Kegembirannya mungkin akan mati.

Wanita itu masih mengisi bagian pada otakku. Berdiri indah disamping aspek lain yang mengisi otakku. Sedemikian rupa membuat segala isi-nya seimbang. Tanpa berat sebelah, tanpa menanggungkan sebelah, agar semuanya berjalan lancar. Dan sepertinya semuanya lancar. Karena pertemuan ketiga kali dengannya terjadwal dengan lancar. Aku bisa kembali pulang ke pelukannya. Walau semuanya belum bisa dibilang sudah pasti. Tapi kepastian hanya butuh waktu. Apapun yang akan dijawab oleh waktu. Satu hal saja, aku ingin pulang. Pulang kepada dia. Satu hal lain dari keberhasilan yang ingin kucapai.

“Kita berjumpa kembali di New York, teman” Sebuah suara wanita yang indah berhasil menembus telingaku. “Sungguh kota yang mahal. Dan ini semua tentu cukup mahal. Entah dengan apa aku harus membalasnya”

“Tak perlu membalas, Helga. Anggap saja sebuah hadiah. Hadiah dari suatu pencapaian dari keberhasilan. Hadiah tak butuh balasan. Hadiah itu ya hadiah. Sesuatu yang tak bisa kita tahu sampai kita bisa mencapainya” Balasku. Pada wanita yang sudah beberapa waktu ini mengisi bagian pikiranku. Dia hanya mengangguk. Tersenyum. “Kamar kita berseberangan. Keberuntungan mungkin memang sedang berada di pihakku sekarang. Mendapat sebuah ruangan yang cukup luas. Dengan dua kamar dengan ruangan berbeda di dalamnya. Silahkan beristirahat, teman”.

Pencapaian sebuah keberhasilan, tentu butuh suatu usaha. Setidaknya itu yang aku pegang erat. Masih dalam pengertianku, usaha itu sendiri adalah bentuk lain dari sebuah tantangan. Yang tantangan sendiri sudah merupakan hobiku, yang merupakan sumber dari hobiku yang lain yaitu traveling.Satu hal lagi yang telah kupetik. Ternyata hal yang bisa dibilang,  jarang sekali berada di ruang lingkupku seperti cinta, juga butuh sebuah usaha. Aku baru merasakan sensasi dahsyatnya. Merasakannya pada wanita ini. Wanita yang pertama kali aku temui di Tokyo. Disusul dengan pertemuan kedua di Honolulu. Dan saat ini, dengan penuh kesukaran komunikasi dengannya, akhirnya pertemuan ketiga terjadi di New York. Memang bukan hal yang pertama aku berurusan dengan cinta. Tapi, baru kali ini, hal ini benar-benar mengambil porsi juga di dalam pikiranku. Entahlah.

Angin musim gugur di pagi hari menyapa. Kemudian disusul penampakan sang matahari di atas kepala. Dia tenggelam menjelang berganti peran dengan sang dewi malam. Aku dan Helga baru saja menikmati sajian khas kota New York. Pertunjukan Broadway. Pertunjukan drama musikal yang melegenda. Sedikit memperkenalkan minatku pada dirinya. Yang ternyata, dia menyambutnya dengan ketertarikannya dengan peran Marilyn Monroe membawakan drama musikalitas khas broadway di film klasik Gentleman Prefer Blonde, begitu melegendanya membawakan Diamond’s are a Girl’s Bestfriend. Merupakan sebuah kenyataan yang menarik jika disandingkan dengan kegemaranku akan Gene Kelly, yang kerap menampilkan drama musikalitas khas broadway yang serupa. Pada akhirnya, aku bisa menemukan suatu kesamaan. Berbeda, namun sama. Semoga merupakan langkah yang bisa dibilang awal yang cukup menggetarkan.

“Kau memang tak mudah menyerah yah, teman?” Tanya Helga, saat kita menikmati sore hari yang sejuk di Central Park yang anggun penuh daun-daun berguguran.
“Maksud kamu ?” Jawabku, balik menanyainya.

“Yah, tak mudah menyerah. Melawan susahnya komunikasi saat kita sama-sama menerjang arus untuk tetap menjaga eksistensi di Indonesia.”

“Bukankah itu bisa dibilang seperti agendamu untuk sedikit terlihat jual mahal kepadaku ?”

“Oh, Tuhan. Memang ada benarnya seperti itu. Tapi tak sepenuhnya benar, teman. Aku memang benar-benar asyik menikmati pekerjaan untuk menyibukkan diriku.”

“Yah, itu lebih baik. Sebuah langkah kecil untuk memulihkan keadaanmu akan sebuah hubungan yang sudah pergi. Seorang wanita memang butuh waktu yang cukup lama untuk hal itu.”

“Mungkin. Dan wow, kau rupanya tau banyak tentang wanita yah, teman ?”

“Haha. Sebenarnya aku tak pernah tau akan wanita. Sedikitpun tak tau. Hanya melihat dan menerka apa yang pernah ku alami bersama wanita saja.”

“Semoga saja terkaanmu tak meleset.” 

Berharap sekecil kerikil. Angin menerpa muka kami berdua. Angin menerpa apa yang masih melekat pada batin nya. Kenangan pahit akan kegagalan sebuah hubungan dengan pria yang telah dialaminya. Yang tak mungkin diucap dalam alam kesadarannya. Dia memilih untuk bungkam. Mengunci rapat-rapat akan hal yang membutuhkan waktu untuk membuatnya pulih. Namun saat itu dia kehilangan alam sadar. Tidak tersadarkan oleh alam sadar. Alam sadarnya berganti peran menjadi alam bawah sadar karena alkohol. Kunci dia temukan. Bungkampun menjadi sirna. Dalam kuasa alam bawah sadarnya dia berceloteh banyak tentang apa yang dirasa. Dengan peluh. Berceloteh tanpa koma, hanya diberi imbuhan berderai peluh.

“Semoga waktu jua yang akan menyembuhkanmu, teman. Suatu hari.” Tutupku di sore hari yang semakin gelap. Malam yang gelap dan pekat mengiringi kami kembali ke tempat perteduhan.

Di sofa itu seperti saksi bisu. Membelakangi kaca pembatas dengan dunia luar yang juga bisu. Namun apa yang tersaji diluar sana tak akan pernah bisu. Melepas lelah. Bersandar pada sebuah sofa. Sama halnya dengan dirinya. Yang hanya berjarak beberapa langkah dari posisiku bersandar. Dirinya sibuk mengkaji tentang keramaian kota New York yang tak pernah mati. Aku sibuk mengkaji siaran televisi New York yang sama halnya tak pernah mati. Ini pertama kali. Dirinya membuka sebuah perbincangan untuk pertama kali. Wanita yang berjarak beberapa langkah dari posisiku bersandar, membuka sebuah perbincangan untuk pertama kali. Aku menyambut perbincangannya. Dan kutemui dia sedang menerawang jauh  di luar sana. Tak menahu apa yang diterawang. Yang kutahu dia memandang lekat kokohnya gedung Chrysler di kejauhan dengan cahayanya yang berpendar terang di sekitar tubuhnya. Aku diam sejenak. Lalu memberanikan diriku melangkah mendekati dirinya. Dia menyambutnya dengan pandangan sayu. Akupun menimpali perbincangan yang dibuatnya. Namun hanya dijawab dengan pandangan sayu. Tanpa berlagu. Diriku tampak gagu. Aku hanya bisa melihat wajahnya yang sayu. Lalu kemudian terlihat sedih. Mungkin kenangan masa lalunya kembali berkecamuk. Sedang mengamuk. Tanpa ampun mengikis kegembirannya beberapa hari ini di New York. Aku terdiam sejenak. Menyusun langkah nekat. Menghimpun energi untuk kemudian bertindak. Hingga akhirnya wajah kami hanya berjarak lima jari tangan terlentang. Aku bertindak nekat mendekati wajahnya. Tapi wanita itu masih saja diam. Helga hanya melihatku dengan tatapan kosong. Lima jari tangan terlentang itupun telah sirna. Wajah kami berdua sudah tak berjarak. Bibir kami bersatu. Lagi-lagi aku yang bertindak nekat. Dia masih saja terdiam.  Sampai pada akhirnya ada sesuatu yang membasahi bibirku. Kini bukan bibir Helga saja yang bersatu denganku. Peluhnya juga menjamahku. Keterdiamannya belum pecah, benar-benar belum pecah walau aku sudah berbuat nekat untuk sedikit memecahnya. Gusar, aku siap menghadapi pitamnya setelah ini, atas perbuatan kurang ajarku kepadanya. Menyatukan bibirku dan bibirnya tanpa suatu kepastian yang belum pasti. Dengan perasaan penuh rasa bersalah atas semua itu, aku menyudahi perbuatan nekatku. Karena peluhnya semakin deras. Hanya permintaan maaf saja yang bisa kuucapkan dari bibir yang berbuat nekat ini. Memang tak salah dia menamaiku penjahat. Bagai seorang penjahat yang pengecut, aku mencoba beranjak dari tempat kami bersandar. Merasa bersalah lalu kabur. Pria pengabur. Pria pengecut. Namun, tanganku bagai ditarik. Jari-jariku bersentuhan dengan jari-jari lain. Helga menggagalkan pengaburanku dari rasa bersalah. Tanpa berpikir panjang, aku menghela nafas, bersiap-siap menghadapi pitamnya dengan bonus sebuah air mata dari kedua bola matanya yang sedang sayu. Angin musim gugur serasa memasuki ruangan kami berada. Padahal seingatku aku sudah menutup semua benda yang bisa membawa angin masuk ke dalam ruangan. Angin musim yang sejuk. Benar-benar sejuk. Benar-benar berbeda dari angin musin gugur yang telah menimpa tubuhku selama beberapa hari ini di New York. Angin yang kurasa bagai sebuah pelukan. Pelukan yang datang tanpa pernah ku kira. Angin itu berwujud sebuah pelukan dari Helga. Dalam pelukannya dia menangis bagai kesetanan. Menyandarkan wajahnya pada tubuhku. Partikel-partikel kecil air matanya bersatu dengan kain yang menutupi badanku. Aku hanya terdiam. Lalu balas memeluknya. Pelukan yang akan selalu membawaku ingin pulang. Mendambakan pulang. Sedikit mengesampingkan rasa cinta itu sendiri, pelukan seperti ini memberikan sensasi yang sama seperti cinta pada sebuah hati. Jatuh cinta. Pulang. Yang ingin kuulang. Hanya kepadamu untuk pulang.
***

Korea. Musim Dingin.

Aku selalu merindukan musim ini. Musim dingin, dengan salju berwarna putih suci yang terbentang luas di hamparan jalanan. Tapi sangat nihil menjumpainya di Indonesia. Kecuali, mau menghadapi tantangan ekstrem mendaki gunung Jayawijaya sampai kepuncak. Salju dengan putih sucinya pun bisa diraih. Mungkin akan setimpal dengan usaha yang dihadapi dalam perjalanan untuk meraihnya. Di Indonesia, air hujan sedang rajin-rajinnya membasahi jalanan. Tak terkecuali diriku. Bagai dicuci. Dibasahi. Sedikit hal telah dilucuti, atas kekalahan telak yang telah kuhadapi di negara tempat aku lahir. Waktu akhirnya menjawab. Waktu juga berperan dalam pemulihan, disamping diriku yang berusaha untuk pulih. Seakan lelah akan peluh. Dikalahkan bertubi-tubi oleh kesedihan. Yang saat ini ingin aku lawan habis mereka beserta sekutu-sekutunya. Kehadirannya yang tak pernah ku duga. Hanya keinginan untuk menikmati dunia di awal, sembari memulihkan diri dengan membuat sebuah komunikasi dengan penduduk sekitar di tiap negara yang berbeda. Aku memang tak pernah tau apa yang akan terjadi. Sudah terjadi. Namun aku belum berani menganggap ini pasti. Mencobanya sekali lagi. Untuk sekedar mencoba apakah efek yang kuterima akan masih terasa sama. Mencobanya sekali lagi. Tanpa berharap penuh, tanpa ingin menyakiti diri kembali, mencoba menikmati traveling di musim terakhir bersama pria yang secara mendadak sering menancap di bagian otakku, Herdi.

Barisan pohon yang ingin mencium langit, berbaris rapi di sisi kanan dan kiri kami berada. Tanpa daun-daun yang menghiasi tubuh kokoh mereka. Secuil pun tak ada. Hanya beberapa salju putih sedang bersenggama dengan ranting-ranting gundul pohon-pohon kokoh itu. Jalanan yang kami pijakpun tak terlihat warna aslinya. Salju putih suci melucuti warna aslinya. Musim salju yang sempurna. Tak salah kupilih Pulau Nami untuk merasakan kesempurnaan musim salju seperti yang tersaji saat ini. Wanita mungkin memang diciptakan sebagai konsumen acara serial TV yang setia. Lebih tepatnya serial TV drama-drama percintaan yang romantis melankolis. Bersumber dari sanalah aku memutuskan tempat ini sebagai tujuanku menikmati traveling di musim yang tibanya di saat akhir.

“Ini hanya pulau kecil milik Korea Selatan, khan ?. Memang bagus. Indah. Tapi selebihnya hanya...” Herdi melanjutkan tanggapanya akan pulau ini dengan hanya menggelengkan kepalanya.

“Sudahlah. Ambil saja bagian bagus dan indahnya saja. Hanya kedua hal itulah yang wajib dinikmati dari tempat berada kita saat ini” Balasku dengan senyuman kepada pria yang duduk disebelahku.

“Yah, baiklah. Akan kucoba untuk memikirkan dua hal itu”

Kami berdua duduk beralaskan putihnya salju. Tanpa penyangga sebuah kursi. Aku menatap ke atas. Menatap langit yang tak berbatas. Ini seperti yang di awal kuinginkan. Berdua bersama dirinya. Merasakan kembali apa yang pernah kurasa di akhir liburan kami di New York. Seolah tak ingin dibohongi oleh hati. Aku melakukan ini semua untuk mencoba membuka hati. Melakukan ini semua untuk merasakan keterbukaan sebuah hati itu lagi. Untuk meraih sebuah kepastian akan perasaan. Untuk meyakini suatu hal bahwa aku wanita yang dulu tersakiti, dan kini sudah pulih. Tak ingin mengambil langkah gegabah. Tak ingin terlihat seperti jalang yang bedebah. Tak jua ingin mengatur tiap langkahku. Biar semua terjadi sebagaimana mestinya.

Sore menjelang petang. Kami berdua masih terpaku di tempat yang sama. Awan sedang menangis kala itu. Menjatuhkan bulir-bulir salju yang cukup deras di sekitar kami. Aku menyandarkan tubuhku di badan pria disebelahku. Lalu dia membalasnya dengan memeluk punggungku dengan tangan kananya. Kami berdua kedinginan. Kami berdua saling menghangatkan tubuh kami yang kedinginan. Herdi memelukku dengan erat. Perasaan yang sama yang ingin aku coba rasakan kembali, mulai sedikit demi sedikit memasuki ragaku. Mereka memasuki bagai roh halus yang tak kenal ampun memasuki raga manusia. Dan aku hanya manusia. Butir-butir salju berciuman dengan kulit wajahku. Dan Herdi melanjutkannya dengan mencium keningku. Hangat. Bibirnya hangat. Kehangatan ini yang membuat semuanya tiba-tiba sirna. Kesirnaan yang membuatku tersadar bahwa mengingat masa lalu hanya akan mengikis diri sendiri. Kesirnaan yang membuatku tersadar bahwa masa lalu seharusnya hanyalah sebuah memori yang hanya cukup disimpan untuk digunakan sebagai pelajaran. Campur tangan waktu mendatangkan dirinya. Yang datang secara tiba-tiba. Dari keyakinanku bahwa pria adalah penjahat. Lalu aku mengenal penjahat yang baik hati melalui sosoknya.

“Aku ada sesuatu untukmu” Ucapnya memecah sunyi di bawah hujan salju. Dia merogoh kantong di jaketnya. Sebuah kotak kecil berwarna merah mengintip dari celah-celah jemarinya. “Hanya sebuah hadiah. Hadiah adalah hadiah. Hadiah atas semua yang terjadi beberapa musim ini yang telah berlalu penuh dengan cerita. Tak perlu balasan. Karena hadiah tak perlu balasan”

“Hadiah apa lagi ini, Herdi. Kau pria penuh hadiah bagai Santa Claus yang menembus hujan salju di malam natal” Dia tak menjawab. Meraih jemariku. Memasangakan sebuah cincin pada jari tengahku. Warnanya seputih salju yang masih turun menimpa kami. Aku terdiam. Hanya terdiam. Semua yang terjadi melebihi apa yang kuinginkan. Apa yang kurasakan pun melebihi apa yang kuinginkan. Kalau ini memang bukan hanya sekedar permainan, untuk apa semuanya dilakukan secara berlebih. Dia juga bukan sosok saudagar kaya raya yang tak mengenal uang akan tergilas habis. Dia hanya pria yang gila tantangan. Menggilai tantangan tanpa pernah menyerah. Justru aku yang akhirnya menyerah. Menyerah untuk kebaikan. Menyerah untuk menyudahi kesedihanku akan masa lalu. Menyerah untuk menutup hati. Dan mempersilahkan dia memasuki hati. Lady Dior ku kelebihan beban. Aku menambah satu muatan lagi di dalam sana saat pulang. Aku ingin pulang. Segera pulang. Pulang kepada dirinya. Kepada sosok pria yang diciptakan oleh waktu dan tuhan. Yang datang secara tiba-tiba. Dan membuatku tergugah secara tiba-tiba.
***

“Selamat malam, Sayang” Ucapku berbicara pada telepon genggam.

Menikmati malam yang pekat. Kelelahan masih melekat. Tapi aku masih ingin lekat. Lekat bersama dirinya yang berada beberapa kilometer jauhnya dari tempatku berdiri saat ini. Antara ibukota dengan kota pahlawan. Untuk melawan itu semua. Saat akhir pekan tiba, kami mendekatkan diri lewat barisan angka yang bisa menghubungkan kami. Merasakan keberadaan kami berdua sedang berada di tempat yang sama. Sosok hologram hasil imajinasi, seolah-olah bersemayam di tempat kami masing-masing. Berbagai cerita tersimpan di setiap musim. Mungkin butuh musim semi untuk memulainya kembali. Lalu musim panas akan menemukan kami kembali. Musim gugurpun tak mau kalah meniupkan angin sejuknya untuk menyatukan kami berdua. Dan tiba di penutupan, yaitu musim dingin. Kami saling menghangatkan badan satu sama lain, sembari hujan salju mencumbui tubuh kamu berdua. Lalu disusul dengan akhir penyatuan bibir kami dalam sebuah percumbuan. Yang merupakan penyatuan suatu keberhasilan suatu usaha akan tantangan, dan keberhasilan suatu usaha untuk mengalahkan masa lalu.

“Aku ingin pulang, Sayang. Segera pulang. Tanpa perlu menunggu musim semi menghampiri” Balas suara wanita di seberang.

Ada sebuah celah kecil pada diriku yang telah terisi. Ada sebuah ruang kecil di tempatku berteduh di ibukota yang juga akan terisi. Setelah sekian lama ruangan itu beristirahat dengan damai. Sebuah tempat berteduh, dengan dua ruangan tidur yang berada di dalamnya. Dua ruangan itu letaknya berseberangan. Menanti penghuni barunya untuk pulang. Helga memutuskan untuk hijrah ke ibukota. Memilih berkarir menjadi kolumnis sebuah majalah fashion ternama di ibukota. Memilih kembali pulang. Aku pun menjemput kepulangan. Kita berdua sama-sama pulang. Dimana kepulangan adalah sesuatu yang kami rindukan. Berbuah sebuah pelukan. Yang hari demi hari membuat hati menjadi dewasa. Dewasa untuk mengenal cinta. Dan menjalani cinta yang dewasa. Dua sosok manusia dewasa.

“Itu adalah sebuah hadiah dariku. Hadiah yang cukup dibilang hanya sebuah hadiah. Yang tak perlu balasan. Namun aku ingin membalasnya. Yang berdiri serempak dengan keinginanku untuk pulang, Sayang” Ucapnya. Pada akhirnya. Dari sebuah produk yang diciptakan waktu dan tuhan untukku.
***

 *) Terinspirasi dari tembang "Pulang" oleh Andien. album Kirana.



        
   
   

     

Tidak ada komentar:

Posting Komentar