Tokyo.
Musim Semi.
Awal
yang baru. Memulai segalanya dengan yang baru. Tanpa meninggalkan diriku yang
lama, tanpa menggantikannya dengan sosok yang baru. Hanyalah sesosok Pria.
Dengan kegilaan yang dinamakan hobi, semacam obsesi untuk menikmati dunia. Lalu
dinamakan Traveler. Sang Petualang.
Karena aku memang tertarik untuk mencoba tantangan. Banyak hal tentang
tantangan, mencoba tinggal di batas nusantara pun kumasukkan juga dalam tas
ransel sebuah tantangan.
Terlepas
dari macam dan jenis traveler, aku
menyebut diriku sendiri traveler. Hanya
traveler. Entah seseorang akan
memberiku label traveler backpacker, Ataukah
first class traveler sekalipun. Itu
mungkin hanya akan membuat pengkotak-kotakan dari segi kantong seorang penikmat
dunia . Itu mungkin malah akan membuat tak bisanya kemampuan diri, untuk
menikmati tujuan sejati untuk melakukan Traveling.
Menginjakkan
musim semi yang pertama. Di pusat negeri sakura, Tokyo. Tentu ini bukan kali
pertama aku memulai Traveling. Karena
suatu kegilaan yang dinamakan hobi, akan berupa gila lalu dinamakan hobi yang
sejati jika pernah dirasa lebih dari satu kali. Berlindung pada sebuah hostel. Bukan pada berpayung megahnya
hotel. Karena, di persinggahan yang minimalislah traveling lebih bisa dinikmati. Sejauh ini itu yang kurasakan.
Di
akhir bulan ketiga. Bunga sakura dengan ramainya sedang berlaga. Ada sesuatu
pada diriku, jauh di dalam sana, mengikutinya untuk ikut berunjuk laga. Wanita
itu secantik warna merah muda bunga sakura. Segemulai gerakan gugur ditiup
angin bunga sakura. Sebuah imajiku sedikit menyeruak masuk, dalam celah otakku
yang penuh dengan urusan ide-ide propaganda sebuah produk untuk menarik
konsumen. Aku membayangkan menjadi angin yang meniupnya. Cukup gila. Karena aku
memang cukup sukar untuk gila akan cinta.
Di
akhir bulan ketiga. Aku pertama kali melihatnya. Sejalan dengan pertama kalinya
aku merasakan musim semi di Jepang. Tepatnya di sebuah taman kota, saat kita
bersama-sama sedang menikmati hanami di bawah pohon yang berbunga secantik wanita
itu. Tentu, kita tidak dalam satu tikar saat itu. Menyantap onigiri yang sedap.
Sembari melihatmu dari kejauhan menambah apa yang ku lahap semakin sedap.
Entah, dari sejak kapan aku mengawali memandangmu. Kau, dengan sebuah tas
jinjing wanita bertuliskan Dior, sangat kontras dengan posisimu duduk di
tikar. Itu mungkin yang membuatku mengintaimu dari kejauhan. Komposisi yang
indah ketika sebuah kemewahan masih ingin bergumul dengan kesederhanaan.
Suara
indahmu mengalunkan sebuah nama, Helga. Tepat seperti dugaanku yang tak
sepenuhnya yakin di awal, darahmu ternyata mengandung warna merah putih.
Sementara, hewan bangsa unggas idolamu adalah burung garuda. Wanita bernama
Helga itu sama-sama berasal dari Indonesia. Kau seorang kolumnis. Kau sering
dijumpai pada kolom khusus wanita, di lembaran harian ternama kota pahlawan.
Selebihnya aku belum menahu. Ingin tahu. Tapi kau seolah tak ingin memberitahu.
Hanya secuil bagian itulah yang kau beritahu. Kepadaku.
Kaupun
seolah wanita pasif. Untungnya bukan agresif. Tak banyak bicara. Padahal aku
ingin banyak bicara. Tapi aku hanya tak sampai separo menciptakan pembicaraan
yang kuanggap menarik untukmu. Kau pun sama halnya, hanya melempar balik
pertanyaan yang seharusnya untuk mu, bagai bumerang, pertanyaan itu kembali
ditanyakan kepadaku. Tentunya, ini mungkin adalah sebuah tantangan yang
menggelitik untuk dihadapi olehku.
Aku
hanyalah seorang Pria. Pria tak seharusnya mudah menyerah. Apalagi aku sudah
berani menancapkan label gila
tantangan pada diriku. Tentu, aku takkan melepasnya begitu saja. Malu. Gagu.
Cupu.
Hanami pun
usai. Disusul dengan yozakura di
gelap bumi dibawah sinar rembulan. Lampion-lampion cantik, berjajar digantung
diantara pohon satu ke pohon yang lain. Penuh cahaya. Terang. Terlihat hangat
dan indah. Kuharap kau tergugah. Kuharap kau sedikit berubah. Karena aku tak
akan berubah. Aku semakin tertarik padamu, wahai Helga. Sedikit berharap bahwa
cahaya lampion bisa membuatku terlihat untukmu, untuk kau melihat wujudku lebih
lama lagi.
Di
hari terakhirku berada di Jepang. Kejadian ini terlihat seperti opera sabun
murahan. Sedikit menyebutnya dari alam
sadarku dengan penuh percaya diri, ini adalah sebuah takdir. Takdir yang indah.
Sosok Helga sekelibat melewati posisiku berdiri saat bandara baru saja
menyapaku untuk membawaku pulang. Aku memanggilnya, dia hanya tersenyum simpul.
Lalu menghentikan langkahnya saat melihat wajahku yang penuh tanda tanya.
“Biarlah
waktu yang menjawab. Kalau kita bisa bertemu lagi. Suatu hari. Dimanapun itu.
Percayalah semuanya tak akan seperti ini. Sejatinya, pria adalah pemuja
tantangan bukan ?. Anggaplah ini sebuah tantangan.” Jawabnya dengan halus tanpa bernada
memojokkan, saat aku meminta alamat surat elektronik milknya. Helga tersenyum.
Yang akan terekam abadi dalam pikiranku. Beranjak dari tempatnya. Dia kembali
pulang.
Aku juga ingin pulang. Pulang untuk melihatmu.
Pulang pada sebuah hal yang datang pertama kali namun ajaib bisa membuatku
tergugah. Pulang kepada Helga. Yang saat ini masih harapan belaka. Hanya sebuah
produk dari sang pembuat mimpi. Yang ikut kubawa pulang ke Nusantara.
***
Honolulu.
Musim Panas.
Wanita.
Traveling. Mungkin terbilang cukup asing.
Karena seharusnya, mungkin karena kebiasaan dan mungkin juga karena hukum alam,
wanita lebih pantas jika bersanding dengan Shopping.
Namun aku tak mau terbilang asing. Shopping
masih menjadi aksesoris yang aku masukkan pada Lady Dior hitam glossy yang
sering ku tenteng tiap aku melakukan traveling.
Menjadikan dua kegilaan yang lalu dinamakan hobi dalam satu kegiatan.
Panas
terik. Membuatku tertarik. Honolulu di Hawaii menjadi tujuan pengaburanku di
musim panas di luar area nusantara. Bukan Bali. Karena sejujurnya aku ingin
meninggalkan nusantara sejenak. Aku kalah telak. Ada setangkup kenangan yang
tak bisa ku lawan. Memang terlihat sekali sepeti Eat, Pray, and Love. Inspirasi traveling
ku saat ini memang berangkat dari sana, dengan imbuhan beberapa literatur
tentang motivasi diri. Tapi sejujurnya, aku bukan memposisikan diriku agar dikata
serupa dengan Julia Robert di film
terkait. Tapi terkadang ada semacam
benang merah yang menyambung antara realita kita dan non-realita dari sebuah
film. Terkadang apa yang terjadi pada adegan sebuah film, bukan tidak mungkin
akan terjadi juga pada hidup kita. Tapi itu
hanya mungkin. Untuk mengaitkannya butuh faktor keberuntungan. Formula
yang ada disana sedang kucoba. Formula untuk menghilangkan perasaan hancur
karena sebuah hubungan. Mencoba melihat dunia luar. Karena sejatinya, kata
banyak orang masih banyak yang lebih menderita daripada kita di dunia luar
sana. Aku mencoba mengikuti alurnya. Alur waktu. Alur waktu untuk menjadikanku
pulih seperti sedia kala. Tanpa membuat perkecualian pada diriku sendiri untuk
berbuat agar pulih.
Dipinggir
pantai. Untuk bersantai. Musim panas seakan mempunyai kekuatan magis untuk
mengumpulkan massa untuk menikmatinya tanpa perlu memverbalkan ajakan
persuasifnya secara langsung. Karena musim panas memang diciptakan tanpa
memiliki media untuk bicara. Sajian pantai di depanku sudah mirip sekumpulan
wanita yang sedang berebut pakaian diskon disebuah Department Store. Namun disini, mereka berebut air. Berebut pasir.
Berebut sinar matahari. Berebut semua karya ciptaan Tuhan.
Aku
merasa adanya sedikit pengintaian. Naluri wanita sangat sensitif. Seperti
sebuah sinyal kuat yang sedang aktif. Aku sedang menikmati loco moco di kedai makanan di pinggir pantai. Tanpa melihat kepada
sesosok yang kurasa sedang mengintaiku. Hanya menunduk berkonsentrasi pada loco moco yang sudah siap di hadapanku. Menikmati
sesendok demi sesendok makanan khas Hawaii
yang penyajiannya sangat khas. Seadanya. Sangat kacau ala kadarnya dan
unik.
“Apakah
waktu bisa dikatakan sudah menjawab ?” Suara seorang pria mencoba memasuki
gendang telingaku, ketika aku kembali ke kursi di pinggir pantai. “Kita bertemu
lagi. Suatu hari itu sudah tiba, Helga”
Aku
terdiam sejenak. Kemudian melepas kacamata hitamku. Memicingkan mata sejenak,
untuk melihat dengan jelas wujud rupa dari sumber suara yang baru saja berhasil
memasuki telingaku. Pria yang tak cukup seksi. Berkulit cokelat, dengan perut
sedikit buncit. Aku sedikit mengidentifikasi dia penghuni Asia Tenggara.
“Maksud
anda, tuan?” Tanyaku palsu. Berpura tak tahu. Memberi sedikit ujian pada
makhluk adam yang berdiri di samping tempatku berada.
“Maksudku,
apakah kau mengingat beberapa bulan lalu di Tokyo ?. Saat musim semi dengan
bunga sakura yang bersemi di Tokyo. Kalau tidak salah, aku pertama kali
melihatmu disana. Begitu juga kau”
Aku
tersenyum simpul. Menahan tawa. Berpikir sejenak apa kiranya pertanyaan yang
bisa menggambarkan kejual mahalan seorang wanita, namun tidak terlihat terlalu jual
mahal.
“Honolulu
rupanya memang tempat sejuta umat. Tempat paling pas untuk menikmati musim
panas. Mungkin dengan begitu sejuta umatnya tempat ini, aku bisa menemukanmu di
antaranya” Celoteh pria yang sama. Dia memandangku. Penuh percaya diri.
“Baiklah.
Aku mengaku kalah untuk berpura-pura. Ini” Aku menyerahkan secarik kartu nama
kepada Pria yang baru pertama kali kutemui tiga bulan yang lalu. “Aku sudah
terlanjur menjajikan ini khan. Ditambah dengan bonus nama lengkapku, nomer
ponsel, dan alamat rumah dan kantorku. Anggap saja sebagai penghargaan kecil
atas keberhasilanmu menemukanku diantara ribuan pecinta pantai ini, Herdi”
“Ini
juga ada sesuatu dariku. Tanpa perlu aku membuat janji bersyarat agar aku bisa
memberikannya padamu” Pria bernama Herdi itu balik memberikan kartu namanya
kepadaku. Dan posisi skor pun impas, di posisi 1-1.
Api
unggun dan malam menyambut. Aku pun ikut menyambut. Kali ini ditemani seorang
pria bernama Herdy yang juga ikut
menyambut. Ada sebuah pesta kecil di pinggir pantai. Terbilang sangat santai.
Jauh dari kesan yang sangat bising dan terlampau ramai. Kami berdua mengobrol
di kursi tinggi terbuat dari bambu,
disebuah warung makan penjual loco
moco, yang telah disulap menjadi bar mini, dengan damai. Ditemani segelas vodka segar. Menginginkan otakku disusul
dengan segar.
Alkohol
dalam vodka yang tak berdosa.
Harusnya aku yang pendosa. Mungkin ini lah mengapa dikatakan minuman beralkohol
itu haram hukumnya. Keinginanku akan penyegaran untuk otakku terlaksana.
Pikiranku segar. Disiram vodka segar.
Yang tanpa kutahu sudah berapa gelas kuteguk. Berkali-kali batuk. Tapi bukan
sakit. Mungkin hanya sebuah reaksi kecil dari banyaknya alkohol yang telah
membasahi badanku. Tapi otakku terlampau segar kali ini. Segar. Sampai ingin
kukeluarkan kekesalan dan kesakitanku dalam diri hanya untuk bisa merasakan
sesuatu yang telah membuat diriku segar.
“Pria
itu penjahat. Pernahkah kau menemui penjahat dalam film dan buku berkelamin
wanita wahai pria ?. Sangat jarang bukan ?. Karena memang pria yang lebih
pantas menerima peran dan dikatakan sebagai penjahat.” Otak dan pikiranku sudah
bergumul dengan alam bawah sadar. Mulutku tak bisa diam. Bagai wanita jalang,
mulutku tak bisa diam. “Dan jika memang kau bukan pria penjahat. Maka sudah
menjadi suatu keharusan kau mengantarkan seorang wanita yang sedang mabuk
pulang ke rumah. Wow, ternyata aku masih sedikit sadar untuk mengetahui
kemabukanku”
Malam
masih berpendar dengan cantik. Kemudian disusul dengan alunan musik pop cantik.
Kesedihan menghampiriku dalam ketidaksadaranku. Dia menghampiriku dalam
ketidakinginanku untuk merasakannya. Sudah terlalu sering kujumpai dirinya.
Sudah terlalu sering pula ku ingin membuangnya. Kuharap ini benar-benar
terakhir kalinya aku jumpai dirinya datang. Tanpa akal. Tanpa ada rasa malu.
Tanpa ada orang di depanku yang tak cukup ku kenal. Berceloteh bagai jalang
yang kesepian di depan pria yang mengintaiku bagai dirinya seorang penjahat.
Pagi
yang bening. Buatku adalah pagi yang pening. Isi dalam kepalaku bergeming.
Terkapar penuh pening pada hamparan tempat tidur di pondok kecil. Air putih
segera kuteguk walau perjuanganku menuju ke dapur sedikit terganggu dengan
pening. Tapi pening bisa ku kalahkan. Harus ku kalahkan. Karena aku sudah
terlanjur berani meneguk vodka yang membuatku seperti saat ini. Pening.
Pondok
kecil yang damai. Penuh dengan tumbuhan hijau di sekitarnya. Terkadang hamparan
luas air mengintip dari balik tumbuhan-tumbuhan itu. Yang menambah kesempurnaan
dari kedamaian. Masih dalam kepeningan kepalaku. Aku menghampiri teras depan.
Menghirup udara pagi yang segar. Memasukkannya dalam tubuh sebagai penyegar
batin. Lalu kemudian menghempaskannya bersamaan dengan sesuatu yang ingin
kuhempaskan dari dalam tubuhku.
Ada
sedikit pengintaian kecil yang mengintaiku di pagi yang damai itu. Dan
kedamaianpun sedikit terpecah. Digantikan sebuah pertanyaan kecil di dalam otak
yang menembus celah kecil pening yang kurasa. Sedikit beruntung, namun sedikit
bingung. Beruntung karena pengintaian ini hanya pengintaian kecil. Kusebut
demikian karena si pengintai sedang tidak tersadar. Bersandar dengan diriku
yang sudah mengenal siapa pengintai ini. Bingung. Karena mengapa si pengintai
bisa berada disini. Tertidur pulas tanpa berdosa di kursi dari bambu yang
bertengger manis tanpa dosa di teras depan pondok kecil ini.
Celah
kecil kesadaranku dalam pikiran sudah sedikit tersadar. Sudah mampu untuk menembus
daya ingatku atas apa yang terjadi sebelum ini. Tapi masih samar-samar.
Samar-samar yang mengandung sedikit kejelasan. Sedikit menjelaskan sebab pria
ini berada di teras depan pondok kecilku pada pagi ini. Sesuatu yang masih
samar-samar itu, juga kurasa sedang
sedikit mengintip dari dalam hatiku. Sesuatu yang sudah hampir setengah tahun
ini tak pernah tumbuh walau hanya mengintip sedikitpun. Tidak sekalipun. Yang
pada akhirnya, aku membawanya pulang. Yang setelah itu menambah isi dari Lady Dior ku yang setia kubawa untuk
menjaga eksistensi hidup di kota pahlawan di nusantara.
***
New York.
Musim Gugur.
Angin
membawaku ke kota ini. Angin keberhasilan membawa mataku melawan panorama
gedung-gedung tinggi yang mencakar langit. Angin musim gugur membawaku
menghabiskan sedikit rasa kegugurannya di kota penuh gempita ini. Memasuki
sedikit celah kecil diantara ramainya jalanan kota ini. Hingga sampai di sebuah
kamar dengan ruangan cukup besar di lantai 20. Mencoba untuk pertama kalinya
sesuatu yang tak pernah ku duga, First
class traveler. Sungguh diluar kebiasaan. Semacam sebuah hadiah atas
keberhasilan karier atas ide kreatif untuk sebuah propaganda produk mie instan.
Tentu, cukup di luar ekspekstasi di permulaan. Bagaimana mungkin sebuah mie
instan bisa memboyong anak manusia keluar dari Nusantara sampai ke New York. Tetapi, semua bisa menjadi
sebuah realita sekarang. Kepala suku biro iklan dimana tempatku menggali emas
berlian, memberikan sebuah paket liburan ditambah berlindung pada sebuah
ruangan di salah satu gedung pencakar langit yang ikut menghiasi arsitektur
indah kota New York.
Keberhasilanku
atas jawaban sebuah waktu juga kuraih. Sungguh mustahil memang jika ditelaah
sedikit demi sedikit. Tapi menelaahnya mungkin hanya akan membuat produk dari
keberhasilan ini tak bisa dinikmati. Kegembirannya mungkin akan mati.
Wanita
itu masih mengisi bagian pada otakku. Berdiri indah disamping aspek lain yang
mengisi otakku. Sedemikian rupa membuat segala isi-nya seimbang. Tanpa berat
sebelah, tanpa menanggungkan sebelah, agar semuanya berjalan lancar. Dan
sepertinya semuanya lancar. Karena pertemuan ketiga kali dengannya terjadwal
dengan lancar. Aku bisa kembali pulang ke pelukannya. Walau semuanya belum bisa
dibilang sudah pasti. Tapi kepastian hanya butuh waktu. Apapun yang akan
dijawab oleh waktu. Satu hal saja, aku ingin pulang. Pulang kepada dia. Satu
hal lain dari keberhasilan yang ingin kucapai.
“Kita
berjumpa kembali di New York, teman”
Sebuah suara wanita yang indah berhasil menembus telingaku. “Sungguh kota yang
mahal. Dan ini semua tentu cukup mahal. Entah dengan apa aku harus membalasnya”
“Tak
perlu membalas, Helga. Anggap saja sebuah hadiah. Hadiah dari suatu pencapaian
dari keberhasilan. Hadiah tak butuh balasan. Hadiah itu ya hadiah. Sesuatu yang
tak bisa kita tahu sampai kita bisa mencapainya” Balasku. Pada wanita yang
sudah beberapa waktu ini mengisi bagian pikiranku. Dia hanya mengangguk.
Tersenyum. “Kamar kita berseberangan. Keberuntungan mungkin memang sedang
berada di pihakku sekarang. Mendapat sebuah ruangan yang cukup luas. Dengan dua
kamar dengan ruangan berbeda di dalamnya. Silahkan beristirahat, teman”.
Pencapaian
sebuah keberhasilan, tentu butuh suatu usaha. Setidaknya itu yang aku pegang
erat. Masih dalam pengertianku, usaha itu sendiri adalah bentuk lain dari
sebuah tantangan. Yang tantangan sendiri sudah merupakan hobiku, yang merupakan
sumber dari hobiku yang lain yaitu traveling.Satu
hal lagi yang telah kupetik. Ternyata hal yang bisa dibilang, jarang sekali berada di ruang lingkupku
seperti cinta, juga butuh sebuah usaha. Aku baru merasakan sensasi dahsyatnya.
Merasakannya pada wanita ini. Wanita yang pertama kali aku temui di Tokyo.
Disusul dengan pertemuan kedua di Honolulu. Dan saat ini, dengan penuh
kesukaran komunikasi dengannya, akhirnya pertemuan ketiga terjadi di New York. Memang bukan hal yang pertama
aku berurusan dengan cinta. Tapi, baru kali ini, hal ini benar-benar mengambil
porsi juga di dalam pikiranku. Entahlah.
Angin
musim gugur di pagi hari menyapa. Kemudian disusul penampakan sang matahari di
atas kepala. Dia tenggelam menjelang berganti peran dengan sang dewi malam. Aku
dan Helga baru saja menikmati sajian khas kota New York. Pertunjukan Broadway. Pertunjukan drama musikal yang
melegenda. Sedikit memperkenalkan minatku pada dirinya. Yang ternyata, dia
menyambutnya dengan ketertarikannya dengan peran Marilyn Monroe membawakan drama musikalitas khas broadway di film klasik Gentleman Prefer Blonde, begitu
melegendanya membawakan Diamond’s are a
Girl’s Bestfriend. Merupakan sebuah kenyataan yang menarik jika
disandingkan dengan kegemaranku akan Gene
Kelly, yang kerap menampilkan drama musikalitas khas broadway yang serupa. Pada akhirnya, aku bisa menemukan suatu
kesamaan. Berbeda, namun sama. Semoga merupakan langkah yang bisa dibilang awal
yang cukup menggetarkan.
“Kau
memang tak mudah menyerah yah, teman?” Tanya Helga, saat kita menikmati sore
hari yang sejuk di Central Park yang
anggun penuh daun-daun berguguran.
“Maksud
kamu ?” Jawabku, balik menanyainya.
“Yah,
tak mudah menyerah. Melawan susahnya komunikasi saat kita sama-sama menerjang
arus untuk tetap menjaga eksistensi di Indonesia.”
“Bukankah
itu bisa dibilang seperti agendamu untuk sedikit terlihat jual mahal kepadaku
?”
“Oh,
Tuhan. Memang ada benarnya seperti itu. Tapi tak sepenuhnya benar, teman. Aku
memang benar-benar asyik menikmati pekerjaan untuk menyibukkan diriku.”
“Yah,
itu lebih baik. Sebuah langkah kecil untuk memulihkan keadaanmu akan sebuah
hubungan yang sudah pergi. Seorang wanita memang butuh waktu yang cukup lama
untuk hal itu.”
“Mungkin.
Dan wow, kau rupanya tau banyak tentang wanita yah, teman ?”
“Haha.
Sebenarnya aku tak pernah tau akan wanita. Sedikitpun tak tau. Hanya melihat
dan menerka apa yang pernah ku alami bersama wanita saja.”
“Semoga
saja terkaanmu tak meleset.”
Berharap
sekecil kerikil. Angin menerpa muka kami berdua. Angin menerpa apa yang masih
melekat pada batin nya. Kenangan pahit akan kegagalan sebuah hubungan dengan
pria yang telah dialaminya. Yang tak mungkin diucap dalam alam kesadarannya.
Dia memilih untuk bungkam. Mengunci rapat-rapat akan hal yang membutuhkan waktu
untuk membuatnya pulih. Namun saat itu dia kehilangan alam sadar. Tidak
tersadarkan oleh alam sadar. Alam sadarnya berganti peran menjadi alam bawah
sadar karena alkohol. Kunci dia temukan. Bungkampun menjadi sirna. Dalam kuasa
alam bawah sadarnya dia berceloteh banyak tentang apa yang dirasa. Dengan
peluh. Berceloteh tanpa koma, hanya diberi imbuhan berderai peluh.
“Semoga
waktu jua yang akan menyembuhkanmu, teman. Suatu hari.” Tutupku di sore hari
yang semakin gelap. Malam yang gelap dan pekat mengiringi kami kembali ke tempat
perteduhan.
Di
sofa itu seperti saksi bisu. Membelakangi kaca pembatas dengan dunia luar yang
juga bisu. Namun apa yang tersaji diluar sana tak akan pernah bisu. Melepas
lelah. Bersandar pada sebuah sofa. Sama halnya dengan dirinya. Yang hanya
berjarak beberapa langkah dari posisiku bersandar. Dirinya sibuk mengkaji
tentang keramaian kota New York yang
tak pernah mati. Aku sibuk mengkaji siaran televisi New York yang sama halnya tak pernah mati. Ini pertama kali.
Dirinya membuka sebuah perbincangan untuk pertama kali. Wanita yang berjarak
beberapa langkah dari posisiku bersandar, membuka sebuah perbincangan untuk
pertama kali. Aku menyambut perbincangannya. Dan kutemui dia sedang menerawang
jauh di luar sana. Tak menahu apa yang
diterawang. Yang kutahu dia memandang lekat kokohnya gedung Chrysler di kejauhan dengan cahayanya yang berpendar terang di sekitar tubuhnya. Aku
diam sejenak. Lalu memberanikan diriku melangkah mendekati dirinya. Dia
menyambutnya dengan pandangan sayu. Akupun menimpali perbincangan yang
dibuatnya. Namun hanya dijawab dengan pandangan sayu. Tanpa berlagu. Diriku
tampak gagu. Aku hanya bisa melihat wajahnya yang sayu. Lalu kemudian terlihat
sedih. Mungkin kenangan masa lalunya kembali berkecamuk. Sedang mengamuk. Tanpa
ampun mengikis kegembirannya beberapa hari ini di New York. Aku terdiam sejenak. Menyusun langkah nekat. Menghimpun
energi untuk kemudian bertindak. Hingga akhirnya wajah kami hanya berjarak lima
jari tangan terlentang. Aku bertindak nekat mendekati wajahnya. Tapi wanita itu
masih saja diam. Helga hanya melihatku dengan tatapan kosong. Lima jari tangan terlentang
itupun telah sirna. Wajah kami berdua sudah tak berjarak. Bibir kami bersatu.
Lagi-lagi aku yang bertindak nekat. Dia masih saja terdiam. Sampai pada akhirnya ada sesuatu yang
membasahi bibirku. Kini bukan bibir Helga saja yang bersatu denganku. Peluhnya
juga menjamahku. Keterdiamannya belum pecah, benar-benar belum pecah walau aku
sudah berbuat nekat untuk sedikit memecahnya. Gusar, aku siap menghadapi
pitamnya setelah ini, atas perbuatan kurang ajarku kepadanya. Menyatukan
bibirku dan bibirnya tanpa suatu kepastian yang belum pasti. Dengan perasaan
penuh rasa bersalah atas semua itu, aku menyudahi perbuatan nekatku. Karena
peluhnya semakin deras. Hanya permintaan maaf saja yang bisa kuucapkan dari
bibir yang berbuat nekat ini. Memang tak salah dia menamaiku penjahat. Bagai
seorang penjahat yang pengecut, aku mencoba beranjak dari tempat kami
bersandar. Merasa bersalah lalu kabur. Pria pengabur. Pria pengecut. Namun,
tanganku bagai ditarik. Jari-jariku bersentuhan dengan jari-jari lain. Helga
menggagalkan pengaburanku dari rasa bersalah. Tanpa berpikir panjang, aku
menghela nafas, bersiap-siap menghadapi pitamnya dengan bonus sebuah air mata
dari kedua bola matanya yang sedang sayu. Angin musim gugur serasa memasuki
ruangan kami berada. Padahal seingatku aku sudah menutup semua benda yang bisa
membawa angin masuk ke dalam ruangan. Angin musim yang sejuk. Benar-benar
sejuk. Benar-benar berbeda dari angin musin gugur yang telah menimpa tubuhku
selama beberapa hari ini di New York.
Angin yang kurasa bagai sebuah pelukan. Pelukan yang datang tanpa pernah ku
kira. Angin itu berwujud sebuah pelukan dari Helga. Dalam pelukannya dia
menangis bagai kesetanan. Menyandarkan wajahnya pada tubuhku. Partikel-partikel
kecil air matanya bersatu dengan kain yang menutupi badanku. Aku hanya terdiam.
Lalu balas memeluknya. Pelukan yang akan selalu membawaku ingin pulang. Mendambakan
pulang. Sedikit mengesampingkan rasa cinta itu sendiri, pelukan seperti ini memberikan
sensasi yang sama seperti cinta pada sebuah hati. Jatuh cinta. Pulang. Yang
ingin kuulang. Hanya kepadamu untuk pulang.
***
Korea.
Musim Dingin.
Aku
selalu merindukan musim ini. Musim dingin, dengan salju berwarna putih suci
yang terbentang luas di hamparan jalanan. Tapi sangat nihil menjumpainya di
Indonesia. Kecuali, mau menghadapi tantangan ekstrem mendaki gunung Jayawijaya sampai
kepuncak. Salju dengan putih sucinya pun bisa diraih. Mungkin akan setimpal
dengan usaha yang dihadapi dalam perjalanan untuk meraihnya. Di Indonesia, air
hujan sedang rajin-rajinnya membasahi jalanan. Tak terkecuali diriku. Bagai
dicuci. Dibasahi. Sedikit hal telah dilucuti, atas kekalahan telak yang telah
kuhadapi di negara tempat aku lahir. Waktu akhirnya menjawab. Waktu juga
berperan dalam pemulihan, disamping diriku yang berusaha untuk pulih. Seakan
lelah akan peluh. Dikalahkan bertubi-tubi oleh kesedihan. Yang saat ini ingin
aku lawan habis mereka beserta sekutu-sekutunya. Kehadirannya yang tak pernah
ku duga. Hanya keinginan untuk menikmati dunia di awal, sembari memulihkan diri
dengan membuat sebuah komunikasi dengan penduduk sekitar di tiap negara yang
berbeda. Aku memang tak pernah tau apa yang akan terjadi. Sudah terjadi. Namun
aku belum berani menganggap ini pasti. Mencobanya sekali lagi. Untuk sekedar
mencoba apakah efek yang kuterima akan masih terasa sama. Mencobanya sekali
lagi. Tanpa berharap penuh, tanpa ingin menyakiti diri kembali, mencoba
menikmati traveling di musim terakhir
bersama pria yang secara mendadak sering menancap di bagian otakku, Herdi.
Barisan
pohon yang ingin mencium langit, berbaris rapi di sisi kanan dan kiri kami
berada. Tanpa daun-daun yang menghiasi tubuh kokoh mereka. Secuil pun tak ada.
Hanya beberapa salju putih sedang bersenggama dengan ranting-ranting gundul
pohon-pohon kokoh itu. Jalanan yang kami pijakpun tak terlihat warna aslinya.
Salju putih suci melucuti warna aslinya. Musim salju yang sempurna. Tak salah
kupilih Pulau Nami untuk merasakan kesempurnaan musim salju seperti yang
tersaji saat ini. Wanita mungkin memang diciptakan sebagai konsumen acara
serial TV yang setia. Lebih tepatnya serial TV drama-drama percintaan yang
romantis melankolis. Bersumber dari sanalah aku memutuskan tempat ini sebagai
tujuanku menikmati traveling di musim
yang tibanya di saat akhir.
“Ini
hanya pulau kecil milik Korea Selatan, khan ?. Memang bagus. Indah. Tapi
selebihnya hanya...” Herdi melanjutkan tanggapanya akan pulau ini dengan hanya
menggelengkan kepalanya.
“Sudahlah.
Ambil saja bagian bagus dan indahnya saja. Hanya kedua hal itulah yang wajib
dinikmati dari tempat berada kita saat ini” Balasku dengan senyuman kepada pria
yang duduk disebelahku.
“Yah,
baiklah. Akan kucoba untuk memikirkan dua hal itu”
Kami
berdua duduk beralaskan putihnya salju. Tanpa penyangga sebuah kursi. Aku
menatap ke atas. Menatap langit yang tak berbatas. Ini seperti yang di awal kuinginkan.
Berdua bersama dirinya. Merasakan kembali apa yang pernah kurasa di akhir
liburan kami di New York. Seolah tak
ingin dibohongi oleh hati. Aku melakukan ini semua untuk mencoba membuka hati.
Melakukan ini semua untuk merasakan keterbukaan sebuah hati itu lagi. Untuk
meraih sebuah kepastian akan perasaan. Untuk meyakini suatu hal bahwa aku
wanita yang dulu tersakiti, dan kini sudah pulih. Tak ingin mengambil langkah
gegabah. Tak ingin terlihat seperti jalang yang bedebah. Tak jua ingin mengatur
tiap langkahku. Biar semua terjadi sebagaimana mestinya.
Sore
menjelang petang. Kami berdua masih terpaku di tempat yang sama. Awan sedang
menangis kala itu. Menjatuhkan bulir-bulir salju yang cukup deras di sekitar
kami. Aku menyandarkan tubuhku di badan pria disebelahku. Lalu dia membalasnya
dengan memeluk punggungku dengan tangan kananya. Kami berdua kedinginan. Kami
berdua saling menghangatkan tubuh kami yang kedinginan. Herdi memelukku dengan
erat. Perasaan yang sama yang ingin aku coba rasakan kembali, mulai sedikit
demi sedikit memasuki ragaku. Mereka memasuki bagai roh halus yang tak kenal
ampun memasuki raga manusia. Dan aku hanya manusia. Butir-butir salju berciuman
dengan kulit wajahku. Dan Herdi melanjutkannya dengan mencium keningku. Hangat.
Bibirnya hangat. Kehangatan ini yang membuat semuanya tiba-tiba sirna. Kesirnaan
yang membuatku tersadar bahwa mengingat masa lalu hanya akan mengikis diri
sendiri. Kesirnaan yang membuatku tersadar bahwa masa lalu seharusnya hanyalah
sebuah memori yang hanya cukup disimpan untuk digunakan sebagai pelajaran. Campur
tangan waktu mendatangkan dirinya. Yang datang secara tiba-tiba. Dari
keyakinanku bahwa pria adalah penjahat. Lalu aku mengenal penjahat yang baik
hati melalui sosoknya.
“Aku
ada sesuatu untukmu” Ucapnya memecah sunyi di bawah hujan salju. Dia merogoh
kantong di jaketnya. Sebuah kotak kecil berwarna merah mengintip dari
celah-celah jemarinya. “Hanya sebuah hadiah. Hadiah adalah hadiah. Hadiah atas
semua yang terjadi beberapa musim ini yang telah berlalu penuh dengan cerita.
Tak perlu balasan. Karena hadiah tak perlu balasan”
“Hadiah
apa lagi ini, Herdi. Kau pria penuh hadiah bagai Santa Claus yang menembus
hujan salju di malam natal” Dia tak menjawab. Meraih jemariku. Memasangakan
sebuah cincin pada jari tengahku. Warnanya seputih salju yang masih turun
menimpa kami. Aku terdiam. Hanya terdiam. Semua yang terjadi melebihi apa yang
kuinginkan. Apa yang kurasakan pun melebihi apa yang kuinginkan. Kalau ini
memang bukan hanya sekedar permainan, untuk apa semuanya dilakukan secara
berlebih. Dia juga bukan sosok saudagar kaya raya yang tak mengenal uang akan
tergilas habis. Dia hanya pria yang gila tantangan. Menggilai tantangan tanpa
pernah menyerah. Justru aku yang akhirnya menyerah. Menyerah untuk kebaikan.
Menyerah untuk menyudahi kesedihanku akan masa lalu. Menyerah untuk menutup
hati. Dan mempersilahkan dia memasuki hati. Lady
Dior ku kelebihan beban. Aku menambah satu muatan lagi di dalam sana saat
pulang. Aku ingin pulang. Segera pulang. Pulang kepada dirinya. Kepada sosok
pria yang diciptakan oleh waktu dan tuhan. Yang datang secara tiba-tiba. Dan membuatku
tergugah secara tiba-tiba.
***
“Selamat
malam, Sayang” Ucapku berbicara pada telepon genggam.
Menikmati
malam yang pekat. Kelelahan masih melekat. Tapi aku masih ingin lekat. Lekat
bersama dirinya yang berada beberapa kilometer jauhnya dari tempatku berdiri
saat ini. Antara ibukota dengan kota pahlawan. Untuk melawan itu semua. Saat akhir
pekan tiba, kami mendekatkan diri lewat barisan angka yang bisa menghubungkan
kami. Merasakan keberadaan kami berdua sedang berada di tempat yang sama. Sosok
hologram hasil imajinasi, seolah-olah bersemayam di tempat kami masing-masing. Berbagai
cerita tersimpan di setiap musim. Mungkin butuh musim semi untuk memulainya
kembali. Lalu musim panas akan menemukan kami kembali. Musim gugurpun tak mau
kalah meniupkan angin sejuknya untuk menyatukan kami berdua. Dan tiba di
penutupan, yaitu musim dingin. Kami saling menghangatkan badan satu sama lain,
sembari hujan salju mencumbui tubuh kamu berdua. Lalu disusul dengan akhir
penyatuan bibir kami dalam sebuah percumbuan. Yang merupakan penyatuan suatu
keberhasilan suatu usaha akan tantangan, dan keberhasilan suatu usaha untuk
mengalahkan masa lalu.
“Aku
ingin pulang, Sayang. Segera pulang. Tanpa perlu menunggu musim semi
menghampiri” Balas suara wanita di seberang.
Ada
sebuah celah kecil pada diriku yang telah terisi. Ada sebuah ruang kecil di
tempatku berteduh di ibukota yang juga akan terisi. Setelah sekian lama ruangan
itu beristirahat dengan damai. Sebuah tempat berteduh, dengan dua ruangan tidur
yang berada di dalamnya. Dua ruangan itu letaknya berseberangan. Menanti
penghuni barunya untuk pulang. Helga memutuskan untuk hijrah ke ibukota.
Memilih berkarir menjadi kolumnis sebuah majalah fashion ternama di ibukota. Memilih kembali pulang. Aku pun
menjemput kepulangan. Kita berdua sama-sama pulang. Dimana kepulangan adalah
sesuatu yang kami rindukan. Berbuah sebuah pelukan. Yang hari demi hari membuat
hati menjadi dewasa. Dewasa untuk mengenal cinta. Dan menjalani cinta yang
dewasa. Dua sosok manusia dewasa.
“Itu
adalah sebuah hadiah dariku. Hadiah yang cukup dibilang hanya sebuah hadiah. Yang
tak perlu balasan. Namun aku ingin membalasnya. Yang berdiri serempak dengan
keinginanku untuk pulang, Sayang” Ucapnya. Pada akhirnya. Dari sebuah produk
yang diciptakan waktu dan tuhan untukku.
***