Ayumi Hamasaki - CAROLS
Entah bermula sejak kapan, sejak
saat itu aku mempunyai sedikit impian untuk bisa menggenggam salju seperti
mudahnya aku menggenggam pasir. Analogi menggenggam salju seperti menggenggam
pasir aku gunakan karena sejak impian itu muncul, kedua telapak tanganku tak
kunjung bertemu dengan wujud asli salju yang banyak ditampilkan berwarna putih.
Aku banyak melihat wujud aslinya pada sebuah kotak berukuran empat belas inci
yang terpatri di kamarku sejak lama. Dirinya sering menampilkan gambar-gambar
bergerak dua dimensi. Seharusnya wujud dua dimensi mudah dicapai. Tapi saat
tanganku mencoba menjamah kotak yang menampilkan dunia penuh salju itu, aku
hanya bisa menyentuh kaca yang terlihat membatasi duniaku dan dunia penuh
salju. Dan pada akhirnya aku menyerah. Berjanji namun tak sampai sebegitu
berusaha keras, bahwa suatu saat aku akan benar-benar mampu menyentuh salju.
Dan tak ingin mengharuskan diriku sendiri harus berada di tempat mana hingga
aku bisa menyentuh salju. Dimana saja kalau bisa. Asal salju ingin bercumbu
dengan ragaku.
Barangkali, saat ini bisa
dikatakan sebuah perkecualian. Perkecualian yang eksistensinya di kehidupan
hampir serupa dengan eksistensi faktor keuntungan dan keajaiban. Jumlah
partikel-partikel penyusunnya lebih sedikit jika dibanding partikel-partikel
keterbiasaan kehidupan. Salju dimuntahkan langit malam. Salju ingin mencumbui
ragaku di bawah selimut malam. Seakan tak perlu jauh menyeberang ke utara dunia
untuk berkenalan dengan sosok asli wujud salju. Salju turun membebani atap
rumah. Salju turun membebani atap rumah kami. Perkecualian yang cukup indah di
negeri khatulistiwa untuk ditangisi salju oleh awan.
Barangkali juga, dunia sedang
terbalik. Sejujurnya, aku tak benar-benar menginginkan keterbalikan seperti
ini. Pita suaraku mampu berucap AIUEO dengan sempurna. Namun yang membuatku
sedih, kekasihku bagai terjahit seribu benang pada indera pengucapnya. Dunia
berselimut malam yang sunyi, terang dan gelap saling berganti peran. Semua
keterbalikan itu menjadi satu kesatuan utuh ketika ragaku dan kekasihku sedang
sibuk bercumbu sampai bersetubuh dengan salju yang turun di atap rumah.
Perkecualian, keterbalikan, dan atau mungkin keajaiban. Yang kumengerti semua
hal itu hanya bisa terjadi sekali di kehidupan. Mungkin saat ini Tuhan sedang memberikan
ku sebuah kebaikannya yang lain. Memberikan kami sebuah kebaikannya diantara
kebaikan lain untuk kami. Semua yang ku lakukan, walau ada bagian yang
membuatku sedih. Berusaha kugantikan dengan ucapan terima kasih atas semua yang
terjadi di malam ini.
Ibu menyuruhku menjadi jalang.
Karena ibu juga jalang. Saat itu sudah berstatus mantan jalang. Katanya untuk
meneruskan dan memperbaiki ekonomi keluarga. Tanpa sosok ayah, ibu berusaha
membina keluarga. Keluarga baginya hanya aku dan dia. Ibu memang cukup berbeda
dengan wanita-wanita jalang lain yang juga memiliki putri. Wanita-wanita jalang
lainnya lebih memilih untuk memutus dunia malam liar yang kejam dari dunia
putri-putri mereka. Mungkin, ibuku adalah sebuah perkecualian. Dan mungkin
saja, bermula darisanalah aku mulai mengenal perkecualian di kehidupan.
Usia beliaku yang membuatku
menuruti apa yang dikata Ibu. Ibu piawai
memoles ragaku untuk menutupi kekuranganku untuk berucap. Yang kemudian aku
jadikan pelajaran otodidak untuk menutupi kekuranganku tersebut, saat aku mulai
masuk dalam roda berputar dunia malam yang liar. Ibu menyumbangkan badanku
untuk dinikmati para lelaki hidung belang untuk menggantikan tempat duduknya di
tempat ibu mencari penghidupan. Aku mulai belajar tentang kehidupan dan
penghidupan. Walau tiap memoles wajah sebelum berjualan, butiran kecil benda
cair sering dimuntahkan bola mataku. Sedih dan terpaku. Tapi aku tak bisa
berbuat apapun.
Salju yang turun semakin lebat.
Mulutku pun semakin lebat berucap tentang apa saja. Tanpa titik dan koma.
Ragaku gemar dicumbui salju walau sudah lama. Aku tak merasakan sedikitpun
menginggil kedinginan. Sebagaiamana sosok pria disebelah yang mendekapku.
Kekasihku juga merasakan hal yang sama walau dia hanya diam seribu bahasa. Wajah
diamnya membuatku meneruskan ucapan-ucapanku tentang apa saja, yang kemudian
menjemput penerawangan.
Hampir setahun aku melayani
lelaki hidung belang. Kau pun muncul di antara banyaknya lelaki hidung belang
yang sudah menyetubuhiku. Nampak serupa dengan lelaki hidung belang yang
lain. Kedua bolamata milikmu sama-sama
menyiratkan tentang kepuasan hidup. Menikmati hidup. Seolah membuang hal lain
yang lebih berharga dan manusiawi dari pandangan kedua bolamatamu. Kau hanya
memandangku hanya sebatas wanita jalang. Segalanya terjadi dengan tak ada
perubahan. Segalanya terjadi tanpa ada apa-apa di awal aku melihatmu. Diawal
kau menikmati tubuhku.
Namun, ternyata ada kalanya waktu
yang mengijinkan perubahan untuk datang. Hingga pada akhirnya, dekapan erat ini
yang menemani salju yang mencumbu ragaku. Entah apa yang terjadi setelah ini
semua. Aku hanya ingin merasakan ada sosok yang ternyata bisa memberiku sebuah
pelukan. Yang tak mungkin selamanya memeluk, karena hidup tak pernah
mengijinkan keabadian untuk lebih lama singgah. Hanya mampu menyimpannya saja.
Dingin salju yang tak kurasa mungkin sudah menjelma menjadi sebuah kecamuk.
Antara bahagia dan kesedihan. Semua berkecamuk menggantikan dingin. Efek yang
dihasilkan hampir serupa. Badanku menjadi kaku. Badanku terasa beku. Yang
kemudian disusul dengan tetesan kecil air yang terasa dingin hasil muntahan
kedua bola mataku. Aku berusaha menutup kedua mataku untuk menghentikan tangis.
Tak seharusnya perasaan bahagia dan sedih yang berkecamuk menghasilkan sebuah
tangisan. Namun sepertinya usahaku sia-sia. Aku tak bisa menutup mata lebih
lama. Dan yang bisa kulihat saat membuka mata, tubuhku tertidur damai tertutup
piyama dan selimut putih yang bersih. Tertidur damai di sebuah ruangan dengan
infus yang menjalar mencium pergelangan tanganku. Kekasihku membuat gerakan
menggila di samping tempatku tidur damai pada sebuah tempat tidur. Kekasihku
berteriak menggila. Dengan penuh air bagai peluh yang menguasai wajahnya.
Kekasihku menangis menggila. Aku tak yakin aku mampu mendekapnya untuk berusaha
menghentikan kegilaanya yang meraja. Ada sosok lain yang menarik ragaku yang
membuatku sukar menyentuh kekasihku.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar