CLICK HERE FOR FREE BLOGGER TEMPLATES, LINK BUTTONS AND MORE! »

Minggu, 23 Oktober 2011

CAROLS


Ayumi Hamasaki - CAROLS

Entah bermula sejak kapan, sejak saat itu aku mempunyai sedikit impian untuk bisa menggenggam salju seperti mudahnya aku menggenggam pasir. Analogi menggenggam salju seperti menggenggam pasir aku gunakan karena sejak impian itu muncul, kedua telapak tanganku tak kunjung bertemu dengan wujud asli salju yang banyak ditampilkan berwarna putih. Aku banyak melihat wujud aslinya pada sebuah kotak berukuran empat belas inci yang terpatri di kamarku sejak lama. Dirinya sering menampilkan gambar-gambar bergerak dua dimensi. Seharusnya wujud dua dimensi mudah dicapai. Tapi saat tanganku mencoba menjamah kotak yang menampilkan dunia penuh salju itu, aku hanya bisa menyentuh kaca yang terlihat membatasi duniaku dan dunia penuh salju. Dan pada akhirnya aku menyerah. Berjanji namun tak sampai sebegitu berusaha keras, bahwa suatu saat aku akan benar-benar mampu menyentuh salju. Dan tak ingin mengharuskan diriku sendiri harus berada di tempat mana hingga aku bisa menyentuh salju. Dimana saja kalau bisa. Asal salju ingin bercumbu dengan ragaku.

Barangkali, saat ini bisa dikatakan sebuah perkecualian. Perkecualian yang eksistensinya di kehidupan hampir serupa dengan eksistensi faktor keuntungan dan keajaiban. Jumlah partikel-partikel penyusunnya lebih sedikit jika dibanding partikel-partikel keterbiasaan kehidupan. Salju dimuntahkan langit malam. Salju ingin mencumbui ragaku di bawah selimut malam. Seakan tak perlu jauh menyeberang ke utara dunia untuk berkenalan dengan sosok asli wujud salju. Salju turun membebani atap rumah. Salju turun membebani atap rumah kami. Perkecualian yang cukup indah di negeri khatulistiwa untuk ditangisi salju oleh awan.

Barangkali juga, dunia sedang terbalik. Sejujurnya, aku tak benar-benar menginginkan keterbalikan seperti ini. Pita suaraku mampu berucap AIUEO dengan sempurna. Namun yang membuatku sedih, kekasihku bagai terjahit seribu benang pada indera pengucapnya. Dunia berselimut malam yang sunyi, terang dan gelap saling berganti peran. Semua keterbalikan itu menjadi satu kesatuan utuh ketika ragaku dan kekasihku sedang sibuk bercumbu sampai bersetubuh dengan salju yang turun di atap rumah. Perkecualian, keterbalikan, dan atau mungkin keajaiban. Yang kumengerti semua hal itu hanya bisa terjadi sekali di kehidupan. Mungkin saat ini Tuhan sedang memberikan ku sebuah kebaikannya yang lain. Memberikan kami sebuah kebaikannya diantara kebaikan lain untuk kami. Semua yang ku lakukan, walau ada bagian yang membuatku sedih. Berusaha kugantikan dengan ucapan terima kasih atas semua yang terjadi di malam ini.

Ibu menyuruhku menjadi jalang. Karena ibu juga jalang. Saat itu sudah berstatus mantan jalang. Katanya untuk meneruskan dan memperbaiki ekonomi keluarga. Tanpa sosok ayah, ibu berusaha membina keluarga. Keluarga baginya hanya aku dan dia. Ibu memang cukup berbeda dengan wanita-wanita jalang lain yang juga memiliki putri. Wanita-wanita jalang lainnya lebih memilih untuk memutus dunia malam liar yang kejam dari dunia putri-putri mereka. Mungkin, ibuku adalah sebuah perkecualian. Dan mungkin saja, bermula darisanalah aku mulai mengenal perkecualian di kehidupan.

Usia beliaku yang membuatku menuruti apa yang dikata Ibu.  Ibu piawai memoles ragaku untuk menutupi kekuranganku untuk berucap. Yang kemudian aku jadikan pelajaran otodidak untuk menutupi kekuranganku tersebut, saat aku mulai masuk dalam roda berputar dunia malam yang liar. Ibu menyumbangkan badanku untuk dinikmati para lelaki hidung belang untuk menggantikan tempat duduknya di tempat ibu mencari penghidupan. Aku mulai belajar tentang kehidupan dan penghidupan. Walau tiap memoles wajah sebelum berjualan, butiran kecil benda cair sering dimuntahkan bola mataku. Sedih dan terpaku. Tapi aku tak bisa berbuat apapun.

Salju yang turun semakin lebat. Mulutku pun semakin lebat berucap tentang apa saja. Tanpa titik dan koma. Ragaku gemar dicumbui salju walau sudah lama. Aku tak merasakan sedikitpun menginggil kedinginan. Sebagaiamana sosok pria disebelah yang mendekapku. Kekasihku juga merasakan hal yang sama walau dia hanya diam seribu bahasa. Wajah diamnya membuatku meneruskan ucapan-ucapanku tentang apa saja, yang kemudian menjemput penerawangan.

Hampir setahun aku melayani lelaki hidung belang. Kau pun muncul di antara banyaknya lelaki hidung belang yang sudah menyetubuhiku. Nampak serupa dengan lelaki hidung belang yang lain.  Kedua bolamata milikmu sama-sama menyiratkan tentang kepuasan hidup. Menikmati hidup. Seolah membuang hal lain yang lebih berharga dan manusiawi dari pandangan kedua bolamatamu. Kau hanya memandangku hanya sebatas wanita jalang. Segalanya terjadi dengan tak ada perubahan. Segalanya terjadi tanpa ada apa-apa di awal aku melihatmu. Diawal kau menikmati tubuhku.

Namun, ternyata ada kalanya waktu yang mengijinkan perubahan untuk datang. Hingga pada akhirnya, dekapan erat ini yang menemani salju yang mencumbu ragaku. Entah apa yang terjadi setelah ini semua. Aku hanya ingin merasakan ada sosok yang ternyata bisa memberiku sebuah pelukan. Yang tak mungkin selamanya memeluk, karena hidup tak pernah mengijinkan keabadian untuk lebih lama singgah. Hanya mampu menyimpannya saja. Dingin salju yang tak kurasa mungkin sudah menjelma menjadi sebuah kecamuk. Antara bahagia dan kesedihan. Semua berkecamuk menggantikan dingin. Efek yang dihasilkan hampir serupa. Badanku menjadi kaku. Badanku terasa beku. Yang kemudian disusul dengan tetesan kecil air yang terasa dingin hasil muntahan kedua bola mataku. Aku berusaha menutup kedua mataku untuk menghentikan tangis. Tak seharusnya perasaan bahagia dan sedih yang berkecamuk menghasilkan sebuah tangisan. Namun sepertinya usahaku sia-sia. Aku tak bisa menutup mata lebih lama. Dan yang bisa kulihat saat membuka mata, tubuhku tertidur damai tertutup piyama dan selimut putih yang bersih. Tertidur damai di sebuah ruangan dengan infus yang menjalar mencium pergelangan tanganku. Kekasihku membuat gerakan menggila di samping tempatku tidur damai pada sebuah tempat tidur. Kekasihku berteriak menggila. Dengan penuh air bagai peluh yang menguasai wajahnya. Kekasihku menangis menggila. Aku tak yakin aku mampu mendekapnya untuk berusaha menghentikan kegilaanya yang meraja. Ada sosok lain yang menarik ragaku yang membuatku sukar menyentuh kekasihku.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar