Ayumi Hamasaki - Endless Sorrow
Sepi yang telah menjelma menjadi kesepian. Barangkali dirinya sudah mempunyai takdir untuk menemani kehidupan yang kumiliki. Sangat kuijinkan kau menyembutku lelaki hidung belang. Karena memang aku gemar bersenggama dengan jalang. Di malam petang. Di gang sempit yang lengang. Demi mengabulkan permintaan yang mengganjal dalam celana jeans yang terselip kelaminku yang sedang tegang. Tak usah kusebutkan kenapa tingkahku bisa sehina melebihi jalang seperti ini. Aku berani taruhan, pasti alasan dari perbuatanku tak ada menariknya sama sekali. Alih-alih malah kelahiran kata-kata memang kau sudah bodoh dari sumbernya, akan lahir secara normal dari pikiran-pikiran yang memintaku menjelaskan alasan kenapa aku bisa menjadi sehina sekarang.
Aku tak pernah menyimpulkan semua
ini sebagai derita. Meratapi derita hanya membuat hidupku semakin tak bisa
senikmat bersenggama dengan para jalang molek nan cantik dengan aroma parfum
murahannya. Hidup semakin tidak indah dan tak bisa dinikmati kalau hanya
menjalaninya dengan meratapi. Kata bijak itu pernah kulihat pada sebuah stiker
di angkot reyot yang membawaku pulang ke rumah. Jikalau di kaji dengan pikiran
sehat dan intelek ku, mungkin ada benarnya kata-kata pada stiker itu. Namun,
ketika tubuhku sudah sepenuhnya terkontrol dengan alkohol. Tak perlu lagi
menggunakan pikiran sehat dan intelek untuk menyetujui perkataan di stiker itu.
Alkohol membuatku sangat menikmati dunia tanpa pernah berpikir untuk meratapi
hidupku yang memang bejat ini.
Seperti yang diajarkan hidup
tentang ketidakabadian. Semuanya sudah terjadi tiga tahun yang sudah berlalu.
Barangkali cinta yang membuatku tersadar. Karena dalam pemahamanku, cinta
seperti kekuatan magis. Sudah berapa orangkah yang berubah karena cinta ?. Tak
perlu dijawab, karena menghitung berapa hanya membuat kita malas menjawabnya,
atau bahkan akan menjadikan lahirnya pemikiran baru, bahwa tak sepenuhnya benar
bahwa cinta itu bisa membuat orang berubah. Banyak jawaban. Banyak alasan.
Karena apa yang telah terjadi atas perubahanku memang ada campur tangan dari
cinta.
Perasaan cinta pada sesosok
jalang. Perasaan cinta pada sesosok mantan jalang. Dia wanita yang kesekian
kali dari wanita-wanita jalang lain yang pernah kusetubuhi. Wanita yang tak
banyak bicara. Tak banyak menuntut macam-macam dan cerewet seperti wanita
jalang yang lain. Barangkali itu yang membuatku tertarik padanya, selain dengan
imbuhan aksi ranjangnya yang bagai
pegulat profesional kelas ikan paus. Dua tahun bukan waktu yang mudah untuk membuatnya
meninggalkan dunia yang sudah dia geluti dari usia muda. Segalanya butuh usaha,
usaha butuh suatu gerakan. Gerakan itulah yang menjadikan salah satu alasan
lainku untuk berubah. Kuputuskan untuk
memulai lebih dulu untuk mengakhiri hidup bersama dunia seks yang dijadikan
ladang bisnis. Memulai segalanya dengan awal yang baru. Bekerja serabutan.
Mengumpulkan sedikit demi sedikit sampai pada akhirnya aku memberikan semua
jerih payahku selama satu setengah tahun kepada atasan wanita jalang yang ingin
kumiliki. Semuanya berjalan dengan lancar, karena jerih payahku selama satu
setengah tahun itu adalah semacam tantangan darinya. Semuanya berjalan dengan
lancar, tanpa perlu ada proses berbelit karena dipermudah atas pembuktianku
padanya. Malam yang indah dengan cahaya bulan yang temaram, bayangannya
mengikuti bayanganku pergi meninggalkan peneduhan yang kali ini sudah saatnya
beristirahat untuk meneduhinya.
***
Malam yang masih sama indah.
Selimut gelap bermotif cahaya kristal kecil terang berwarna putih. Kami
berbaring di kasur buluk kesukaan kami. Sudah usang dan berdebu. Tapi usang dan
debu favorit kami. Penggambaran analogi yang tak cukup baik dari kehidupan
bahagia kami selama ini. Namun kami berdua sudah cukup dengan mensyukuri segala
sesuatunya dengan apa adanya saat ini. Mensyukuri segala sesuatunya dengan apa
adanya selalu berjalan sejajar dengan hobinya menggambar malaikat. Sebuah
kegemaran tersembunyi yang tak pernah ku duga saat kami berdua masih
bersenggama dengan dunia malam yang katanya hina. Awalnya, aku sempat
tersentak. Bagaimana tidak, seorang mantan hidung belang dan seorang mantan
wanita jalang bisa disejajarkan dengan sosok malaikat ?. Ilustrasi malaikat
yang dibuatnya selalu dijelaskan bahwa itu adalah sosok kami beruda. Sungguh
relasi yang sangat berlawanan dengan sosok malaikat suci yang sebenarnya.
Namun, aku pernah menjumpai sebuah
ilustrasi yang cukup berbeda di sebuah halaman sketch book miliknya. Masih berbau tentang malaikat. Malaikat pria
dan wanita. Malaikat pria digambarkan berdiri di sebelah kiri disamping
malaikat wanita di sisi sebelah kanan. Mereka berdua bergandengan. Tidak sepenunhnya seperti malaikat. Malaikat
pria digambarkan hanya memiliki satu pasang sayap di sisi kiri, sementara
malaikat wanita sama halnya hanya memiliki satu pasang sayap di sisi sebelah
kanan. Di bawahnya dia menambahkan kata “Together”. Mungkin ini bisa dibilang
baru benar-benar sempurna penggambaran sosok kami berdua.
Katakan saja bahwa cinta itu
memang buta. Seorang malaikat pria tidak sempurna yang hanya memiliki satu
pasang sayap, karena dia sudah bejat. Sudah bodoh. Sesosok pria mantan hidung
belang. Kemudian mengenal cinta pada sesosok malaikat wanita yang juga tidak
sempurna, yang hanya memiliki satu pasang sayap, sama-sama karena dia sudah
bejat. Sama-sama sudah bodoh. Sesosok wanita mantan jalang. Tuna wicara. Dan pengidap
HIV AIDS. Yang karena itulah bisa diambil dengan mudahnya pada lindungan sebuah
rumah bordil. Aku tak akan pernah menyimpulkan semua ini sebagai derita. Hanya
cinta.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar