CLICK HERE FOR FREE BLOGGER TEMPLATES, LINK BUTTONS AND MORE! »

Kamis, 20 Oktober 2011

Dearest


Ayumi Hamasaki - Dearest


Keadaannya semakin membuatku khawatir. Perlahan namun pasti mulai sedikit demi sedikit mengikis keberadaannya untuk lebih lama tinggal. Sempat suatu hari aku mengalami keterpojokan. Dihantui kebingunan, sembari mendengar batuk-batuk hebat yang terkadang mengeluarkan darah yang bersumber dari dalam kamar kami berdua. Tak pelak, deru kesedihan pun menyambut deru batuk-batuk menyakitkan dari kedua bola mataku. Lupakan suatu keharusan jikalau pria sangat tidak diijinkan berteman dengan air mata. Seluruh tembok keharusan benteng diri sendiri akan hancur dengan sendirinya saat mengenal cinta yang menjadikan aku menjadi kami. Kami pun menjadi dia disaat salah satu penyeimbang penyusun kami jatuh tak berdaya. Benar-benar tak berdaya. Bukan benar-benar tak berdaya akan hal kecil seperti sukar berjalan. Benar-benar tak berdaya karena memang kemampuannya untuk menyusun kami terkikis bukan atas kemauan dirinya sendiri.


Bertarung dengan kebingungan bukan hanya sekali itu saja harus kuhadapi. Sudah berkali-kali, apalagi saat aku melihatnya nampak benar-benar tak berdaya. Namun pertandingan itu tak pernah sepenuhnya selesai. Senyuman penggambaran atas baik-baik saja selalu mengakhiri pertandingan itu di tengah waktu. Berjalan perlahan, menyambutku duduk bertumpu pada tanah bagai anak kecil yang sedang sedih dihukum dipojokan dinding tembok. Yang tersisa setiap malam kejadian itu adalah senyuman. Senyuman baik-baik saja yang membuat kebingungan dan keterpojokkanku sedikit mereda, lalu kami menyusulnya dengan mengakhiri hari di kasur buluk kesukaan kami. Mungkin hanya itu yang tersisa bisa ia lakukan untuk kami.

***

Andai saja hidup itu mudah dan tak sekejam ini. Mungkin, aku atau juga dirinya akan dengan mudah menghapus adanya sosok penghalang atas proses menyusun kami. Tapi apapun cara yang dilakukan. Hidup akan tetap berdiam kokoh dengan kejam. Hidup tak pernah berkenalan dengan kata mudah. Tidak mudah menghapus apa yang telah sedikit demi sedikit menggerogoti tubuhnya. Aku sama halnya terkikis seperti yang dia rasa. Otak ku sudah terkikis habis dibelah perlahan oleh bingung dan keterpojokkan. Sampai akhirnya aku memutuskan satu hal sebagai pemberhentian terakhir atas semua ini.

Di suatu malam, aku tak menemui wujudnya di tempat biasanya kau menghabiskan malam, di kasur buluk kesukaan kami. Aku tahu dia sedang naik pitam karena satu hal. Melihatnya seperti ini, kemarahanku pun mulai sedikit ikut meraja. Kalau saja ada yang bisa lebih baik aku lakukan selain ini. Aku takkan perlu bersusah payah bertarung dengan kebingungan dan keterpojokkan hingga menghasilkan keputusan ini.

Ketika dini hari menyambut, aku menemukan keberadaannya di tempat yang sudah ku kira sebelumnya. Tempat dimana dia seharusnya berada. Tapi disana, aku menemukannya sedang berperang sengit dengan penolakan-nya yang sedang naik pitam. Tentu dia tak melakukannya dengan kata-kata. Ketika dirinya melihat keberadaanku, Dia semakin naik pitam, penolakannya semakin menggebu. Aku hanya berusaha tenang. Hanya terdiam. Sampai dirinya selesai menghabiskan pitam-nya yang dia tumpahkan habis-habisan kepadaku tanpa kata-kata. Air mata lalu tampak di wajahnya ketika dia telah mengakhiri semua yang ingin dirinya muntahkan. Aku bisa mengidentifikasinya bukan sebagai air mata yang ingin dikasihani. Air mata penyesalan. Air mata kesedihan. Air mata dari ketidakberdayaan yang benar-benar dia rasa. Air mata dari segala ketidakmampuan  yang benar-benar dia rasa.

Sebagaimana tentang kata bijak hidup itu adalah pilihan. Aku memilihnya juga merupakan satu dari banyak hal pilihan hidup. Dan sebagaimana sosok manusia dewasa, yang dikatakan bahwa kehidupan mengharuskan sosok dewasa itu bertanggung jawab atas pilihan hidup yang telah dipilih. Ditambah lagi dengan keberadaan sosok Pria yang sejatinya dilahirkan bukan untuk sebagai pecundang. Sosok pria mantan hidung belang berusaha menjadi lebih baik karena mengenal cinta dan berani mengambil pilihan untuk mengenal cinta tersebut pada sosok wanita mantan jalang dengan segala ketidakmampuan yang dimilikinya.  

Aku memutuskan untuk menjual rumah milikku kepada teman lamaku. Namun, dia masih mengijinkanku berteduh disana karena dia masih mau mengerti tentang keadaan kami berdua. Saat ini bukan saat yang tepat untuk hanya membiarkan wanita yang merupakan kekasihku berteduh disana. Tubuhnya sedikit demi sedikit mulai terkikis. Ada sebuah tempat yang semestinya untuk dirinya berteduh. Aku mengganti tempat tinggalnya dengan menjual rumah milikku. Barangkali sebuah langkah dari tanggung jawab atas pilihan itu sendiri. Barangkali sebuah langkah atas porsi cinta yang sebesar penyakitnya. Tak ada salahnya memberikan segalanya yang bisa dilakukan untuk kami.

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar