Ayumi Hamasaki - Dearest
Keadaannya semakin membuatku
khawatir. Perlahan namun pasti mulai sedikit demi sedikit mengikis
keberadaannya untuk lebih lama tinggal. Sempat suatu hari aku mengalami
keterpojokan. Dihantui kebingunan, sembari mendengar batuk-batuk hebat yang
terkadang mengeluarkan darah yang bersumber dari dalam kamar kami berdua. Tak
pelak, deru kesedihan pun menyambut deru batuk-batuk menyakitkan dari kedua
bola mataku. Lupakan suatu keharusan jikalau pria sangat tidak diijinkan
berteman dengan air mata. Seluruh tembok keharusan benteng diri sendiri akan
hancur dengan sendirinya saat mengenal cinta yang menjadikan aku menjadi kami.
Kami pun menjadi dia disaat salah satu penyeimbang penyusun kami jatuh tak
berdaya. Benar-benar tak berdaya. Bukan benar-benar tak berdaya akan hal kecil
seperti sukar berjalan. Benar-benar tak berdaya karena memang kemampuannya
untuk menyusun kami terkikis bukan atas kemauan dirinya sendiri.
Bertarung dengan kebingungan
bukan hanya sekali itu saja harus kuhadapi. Sudah berkali-kali, apalagi saat
aku melihatnya nampak benar-benar tak berdaya. Namun pertandingan itu tak
pernah sepenuhnya selesai. Senyuman penggambaran atas baik-baik saja selalu
mengakhiri pertandingan itu di tengah waktu. Berjalan perlahan, menyambutku
duduk bertumpu pada tanah bagai anak kecil yang sedang sedih dihukum dipojokan
dinding tembok. Yang tersisa setiap malam kejadian itu adalah senyuman.
Senyuman baik-baik saja yang membuat kebingungan dan keterpojokkanku sedikit
mereda, lalu kami menyusulnya dengan mengakhiri hari di kasur buluk kesukaan
kami. Mungkin hanya itu yang tersisa bisa ia lakukan untuk kami.
***
Andai saja hidup itu mudah dan
tak sekejam ini. Mungkin, aku atau juga dirinya akan dengan mudah menghapus
adanya sosok penghalang atas proses menyusun kami. Tapi apapun cara yang
dilakukan. Hidup akan tetap berdiam kokoh dengan kejam. Hidup tak pernah
berkenalan dengan kata mudah. Tidak mudah menghapus apa yang telah sedikit demi
sedikit menggerogoti tubuhnya. Aku sama halnya terkikis seperti yang dia rasa.
Otak ku sudah terkikis habis dibelah perlahan oleh bingung dan keterpojokkan.
Sampai akhirnya aku memutuskan satu hal sebagai pemberhentian terakhir atas
semua ini.
Di suatu malam, aku tak menemui
wujudnya di tempat biasanya kau menghabiskan malam, di kasur buluk kesukaan
kami. Aku tahu dia sedang naik pitam karena satu hal. Melihatnya seperti ini,
kemarahanku pun mulai sedikit ikut meraja. Kalau saja ada yang bisa lebih baik
aku lakukan selain ini. Aku takkan perlu bersusah payah bertarung dengan
kebingungan dan keterpojokkan hingga menghasilkan keputusan ini.
Ketika dini hari menyambut, aku
menemukan keberadaannya di tempat yang sudah ku kira sebelumnya. Tempat dimana
dia seharusnya berada. Tapi disana, aku menemukannya sedang berperang sengit
dengan penolakan-nya yang sedang naik pitam. Tentu dia tak melakukannya dengan
kata-kata. Ketika dirinya melihat keberadaanku, Dia semakin naik pitam, penolakannya
semakin menggebu. Aku hanya berusaha tenang. Hanya terdiam. Sampai dirinya
selesai menghabiskan pitam-nya yang dia tumpahkan habis-habisan kepadaku tanpa
kata-kata. Air mata lalu tampak di wajahnya ketika dia telah mengakhiri semua
yang ingin dirinya muntahkan. Aku bisa mengidentifikasinya bukan sebagai air
mata yang ingin dikasihani. Air mata penyesalan. Air mata kesedihan. Air mata
dari ketidakberdayaan yang benar-benar dia rasa. Air mata dari segala ketidakmampuan yang benar-benar dia rasa.
Sebagaimana tentang kata bijak
hidup itu adalah pilihan. Aku memilihnya juga merupakan satu dari banyak hal
pilihan hidup. Dan sebagaimana sosok manusia dewasa, yang dikatakan bahwa kehidupan
mengharuskan sosok dewasa itu bertanggung jawab atas pilihan hidup yang telah
dipilih. Ditambah lagi dengan keberadaan sosok Pria yang sejatinya dilahirkan bukan
untuk sebagai pecundang. Sosok pria mantan hidung belang berusaha menjadi lebih
baik karena mengenal cinta dan berani mengambil pilihan untuk mengenal cinta
tersebut pada sosok wanita mantan jalang dengan segala ketidakmampuan yang
dimilikinya.
Aku memutuskan untuk menjual
rumah milikku kepada teman lamaku. Namun, dia masih mengijinkanku berteduh
disana karena dia masih mau mengerti tentang keadaan kami berdua. Saat ini
bukan saat yang tepat untuk hanya membiarkan wanita yang merupakan kekasihku
berteduh disana. Tubuhnya sedikit demi sedikit mulai terkikis. Ada sebuah
tempat yang semestinya untuk dirinya berteduh. Aku mengganti tempat tinggalnya
dengan menjual rumah milikku. Barangkali sebuah langkah dari tanggung jawab
atas pilihan itu sendiri. Barangkali sebuah langkah atas porsi cinta yang
sebesar penyakitnya. Tak ada salahnya memberikan segalanya yang bisa dilakukan
untuk kami.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar