Kedua
kakinya terbuka
Dengan
sempurna menyiratkan posisi mekangkang
Terkadang,
dia berdiri pasrah
Dengan
seonggok tubuh yang disangga dengan dua kaki terlipat
Di
depan dirinya berdiri
Menggenjot
dengan awalan perlahan
Namun,
alur pun berjalan
Menggenjot
mulai mengenal percepatan
Dihisap,
Bagai
meniup terompet
Dengan
hasil nada monokrom
Itu itu
saja, uh ah uh ah
Dirinya
mengenal dua dunia
Bagai
makhluk amfibi
Buaya,
katak
Bermaksud
agar lebih mudah untuk menjalani hidup
Hidup
satu dunia itu hambar
Kalau
bisa dua, kenapa harus satu
Banyak
pilihan
Dia
menginginkan warna warni
Dunia
seharusnya bukan terpaku seperti cerita dongeng
Yang
hanya mengenal tokoh putri dan raja
Cerita
dongeng tidak mengenal waktu dan kondisi
Pun di
realita, tidak hanya mengenal pagi dan malam
Masih
ada sore
Sore
dengan senjanya yang indah
Yang
dirinya petik hanyalah keindahan dan mimpi dari cerita dongeng
Tak
ingin hidup berangan-angan tentang cerita sebuah dongeng
Selanjutnya,
dirinya
mengaplikasikan keindahan dan mimpi itu dalam dunia nyata
Dunia
pun lebih berwarna
Tak
sepenuhnya seperti cerita dongeng
Tak
sepenuhnya seperti realita
Imajinasi
fantasi yang ber realita
Hidup
di dua dunia
Dirinya
sangat menikmati sekali keindahan dan mimpi
Sebagaimana
mekangkang dan ditiup
Dua
dunia dalam satu dunia
Dia tak
menginginkan menamai dirinya sendiri apa
Agar
bebas
Agar
keindahan dan mimpi itu selalu terpancar
Yang
dia tahu dan dengar,
banyak
kepala-kepala menamainya Gigolo berkelamin ganda
Ganda
itu dua khan ?
Sangat
cocok dengan dua dunia yang berkecamuk di binanya
Yogyakarta,
3 Oktober 2011 (11.15)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar