Ayumi Hamasaki - HEAVEN
Pada sebuah cerita di mimpiku
waktu itu. Aku berada di sebuah pelataran taman antah berantah. Nampak terlihat
segalanya hitam putih, segalanya terlihat aneh membuatku betah. Entah. Tak
menahu. Aku mengangkat badanku untuk menyusun posisi duduk bertumpu pada batu
yang terletak persis dibawah pohon yang rindang, yang juga terlihat hitam
putih. Samar-samar tetapi jelas, aku mulai mendengar gemuruh dari kejauhan.
Gemuruh biasanya identik dengan tangisan awan berupa hujan. Akupun segera
bergeser mendekat menuju bagian bawah pohon. Mengambil strategi awal. Sedia
payung sebelum hujan. Gemuruh kedua menembus gendang telingaku. Kali ini
suaranya terdengar lebih kerasa daripada sebelumnya. Awan gelap pun mulai
menyongsong bergerombol kejam datang. Aku tau awan bukan sosok yang lemah dan
cengeng hanya dengan sebuah cubitan akan menangis. Bagaimana mungkin sosok yang
bisa mencipta kilat kuat yang kejam merupakan sosok yang lemah dan cengeng?. Perlu
dihantam berkali-kali lipat, awan baru akan bisa menangis. Seperti saat ini,
gemuruh ketiga yang datang lebih keras bagai teriakan awal awan yang kesakitan
telah dihantam. Lalu kemudian menangis, hujan membasahi pelataran antah
berantah.
Di kejauhan, aku melihat sosok
yang tak asing oleh penglihatanku. Wanita berambut panjang sepinggang. Dia tak
takut basah. Dirinya tak basah. Setitikpun tidak. Walau air hujan sudah
mengucuri habis raganya. Entah mengapa, aku merasakan ketakutan terbasahi oleh
air hujan. Sesuatu yang tidak biasa buatku. Sehingga kuputuskan hanya diam
ditempatku terduduk. Wanita itu merubah posisinya berdiri. Berputar. Sedikit
demi sedikit aku bisa melihat sosok lengkap dengan raut muka wajahnya. Dirinya
sama halnya dengan awan. Sedang menangis. Entah apa yang telah menghantam
dirinya untuk kemudian menjadikannya menangis.
Dia sudah sempurna memutar
posisinya berdiri. Sudah tidak berada pada posisi membelakangiku. Namun, masih
saja aku tak bisa melihat wajahnya dengan benar-benar sempurna tanpa cela.
Mungkin terhalang oleh hujan lebat yang turun. Atau mungkin memang jarak kami
yang berjauhan. Akupun memicingkan kedua mataku. Berharap usaha ini bisa membuahkan
hasil untuk lebih sempurna melihat sosok wajah wanita yang sedang menangis itu.
Aku mendapati air matanya meleleh membasahi pipinya. Keheranan. Kekhawatiran. Apakah
wanita itu adalah kekasihku?. Kenapa dia menangis?. Kenapa aku tak bisa
menjangkaunya?. Kenapa aku tak bisa mempunyai perasaan untuk menjangkau tubuh
dan kemudian memeluknya saat ini?. Yang pada akhirnya, yang kubisa hanyalah
menjadi gila. Menggila. Menangis menggila ketika dirinya ternyata pergi
mendahuluiku. Penyakit berhasil mengunyah habis kekasihku.
***
Pada sebuah cerita di mimpiku.
Kini bagian mimpiku yang kedua. Ada sebuah kupu-kupu mencium hidungku. Kubuka
mataku. Yang bisa kulihat adalah sosok kekasihku dibelakang siluet kupu-kupu
yang persis berada di depan mataku. Karena tak betah berlama-lama. Kupu-kupu
itu terbang menikmati kebebasannya kembali. Selamat Datang. Ucap kekasihku
dengan lancar. Dia sudah sangat piawai berucap AIUEO. Terima kasih Tuhan.
Sebuah pelataran taman indah
berwarna-warni. Rumput-rumput hijau bergoyang bagai bermain peran di perbukitan
Sound of Music. Sapuan warna-warni
indah tertancap manis di jalan setapak yang penuh dengan taman bunga yang juga
berwarna-warni. Awan biru bergradasi keungunan terbentang luas di angkasa. Ada
pelangi yang seperti membentuk jembatan warna-warni indah yang menghubungkan
awan satu dengan awan yang lainnya. Semuanya sempurna. Semuanya indah. Semuanya
bagai surga.
Tuhan masih memberi kami kesempatan
untuk bertemu. Kami berdua. Sebuah kehidupan lanjut bersamamu yang tak pernah
bisa kubayangkan setelah kau pergi. Karena memang mustahil ingin bersama sosok
yang telah tiada. Karena memang ini lah takdir, takdir kita. Bibirmu kembali
menyerukan kalimat dalam suara yang dulu tak pernah bisa ku dengar. Aku hanya
terdiam, tersenyum, lalu memelukmu erat sampai petang menjelang. Dengan lautan
bintang yang terhempas luas di selimut malam yang hitam pekat.
Hidup memberiku petunjuk untuk
percaya. Walaupun segalanya memang sudah sangat jelas tidak akan bisa terjadi
di kemudian hari, namun hidup tidak pernah menyerah memberikan ku petunjuk
untuk selalu percaya. Dirimu memelukku erat, aku pun demikian, kami menikmati
sajian lautan bintang yang berkedip manja, dan indera pengucapmu masih
berbicara manis tanpa henti tentang semua ini. Sempat aku berpikir untuk
menyerah untuk percaya. Dan hanya cukup berkata selamat tinggal ketika waktu
itu kau sedang menangis menggila. Tidakkah kau mendengar ucapan selamat tinggalku
waktu itu kekasih?.
Aku selalu berada di sampingmu.
Walau aku sudah tiada. Tapi kau selalu memintaku berada di sisimu. Tanpa pernah
beranjak dari sampingmu. Yang pada akhirnya, kau menyatukan sedikit jiwaku di
darahmu. Membiarkannya menggerogoti tubuhmu sepertiku dulu. Aku tak pernah
menginginkan cara seperti ini untuk bersama. Namun aku sudah tak bisa
melarangmu melakukan hal gila seperti itu. Aku hanya mampu melihatmu dari
kejauhan. Dan merasakannya sedikit pada ragaku yang telah menyatu di dalam tubuhmu.
Hingga kita bisa saling menyentuh satu sama lain. Benar-benar bisa menyentuh
diri kami masing-masing. Pada sebuah pelataran taman indah warna-warni, yang
ketika malam tiba, dihiasi lautan kristal berkedip manja di angkasa seperti
saat ini.
Mimpi keduaku tak pernah
berbohong. Karena mimpi bukan manusia. Akupun juga sama sepertimu kekasih. Tak
pernah mampu mengucapkan selamat tinggal. Hingga pada akhirnya aku berbuat
demikian. Bodoh. Tolol. Idiot. Moron. Menyatukan sedikit jiwamu mengalir di
darahku sudah menggerogoti tubuhku yang kotor. Aku dikirim disamping ragamu
yang sudah damai. Semoga aku bisa menemanimu dengan damai. Kami bisa bersatu
lagi karena percaya. Mungkin bisa dibilang percaya akan cinta. Atau percaya
akan hal lain.
Pada sebuah pelataran taman indah
warna-warni, yang ketika malam tiba, dihiasi lautan kristal berkedip manja di
angkasa. Bersama kekasihku. Hanya kami. Hanya kami berdua. Mampu menyentuh sama lain. Mimpi kedua
benar-benar menyentuh ragaku. Tidak seperti mimpiku yang pertama. Mimpi pertama
yang hanya imajinasi saat terlelap. Mimpi kedua yang seakan ingin membuatku
selalu terjaga bersama kekasihku di dunia yang katanya penggambaran sebuah
surga. Entahlah. Jangan tanyakan padaku tentang kebenarannya. Aku hanya akan
sibuk disamping kekasihku. Kekasihku yang mantan jalang. Dan diriku yang mantan
hidung belang.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar