CLICK HERE FOR FREE BLOGGER TEMPLATES, LINK BUTTONS AND MORE! »

Selasa, 25 Oktober 2011

Together When...


Ayumi Hamasaki - Together when...

Aku dan dirinya. Kami berdua berjalan tanpa tujuan yang pasti. Karena kami tak akan pernah tau perjalanan kami akan sampai kapan dan dimana akan berakhir. Bisa saja ditengah perjalanan akan ada sebuah kendaraan yang melintas dengan kencang secepat angin. Lalu tanpa melihat keberadaan kami. Aku atau dirinya atau kami berdua, terpental dari tempat semula kami berdua berjalan, setelah sebelumnya mendapat kecupan tragis dari kendaraan yang melesat bagai angin yang telah melintas. Atau mungkin, bisa saja karena lamanya kami berjalan tanpa tujuan. Usia mulai menggerogoti tubuh kami sedikit demi sedikit. Sepasang kaki yang semula mampu menerjang jalan berkilometer jauhnya. Sekarang hanya mampu menerjang dengan ukuran jarak yang lebih kecil. Bahkan, besar kemungkinan sepasang kaki kami tak akan mampu menerjang satu langkahpun jalanan yang kami tempuh. Kami mencoba untuk tak memandang ke belakang. Terbilang cukup menyeramkan. Pemandangan bak mendung hitam pekat seolah menjadi latar belakang yang menyeramkan untuk dilihat. Terlebih lagi, berjalan ke arah depan dengan pandangan menoleh ke belakang sungguh cukup banyak resiko. Dengan banyakanya hal yang terjadi dan akan terjadi, kami masih akan tetap berjalan meneruskan perjalanan kami berdua. Walau kami merasa ada kerikil-kerikil tajam ketakutan yang  sama-sama menguasai diri kami. Semua itu tak menghalangi langkah kami berjalan ke depan dengan damai. Berusaha tanpa beban.

Di pertengahan perjalanan. Kami beristirahat sejenak di bawah pohon rindang yang melindungi kami dari persetubuhan langsung dengan sinar matahari yang posisinya saat itu sedang tepat berada di atas kepala kami. Kami benar-benar merasa kelelahan. Kelelahan tak terperi. Sedikit berpikiran untuk menyerah melanjutkan perjalanan tak berujung ini. Kelelahan yang menguasai pikiranku pun mulai meraja. Andai saja, aku bisa dilahirkan lebih beruntung. Lebih memiliki segalanya yang banyak hingga berlebih  untuk menjalani hidup. Aku tak akan perlu merasa sukar untuk menjalani perjalanan tak berujung seperti ini. Aku akan bisa melindungi kekasihku pada rangkaian besi yang berwujud mobil mewah seperti yang sering lalu lalang seenaknya sendiri di perjalanan kami. Kalaupun bisa seperti itu, mungkin di dalam sana segalanya akan terasa sangat begitu mudah. Kulit kami tak akan menjelma menjadi hitam karena sengatan matahari yang kejam. Alas kaki murah kami akan serupa dengan alas kaki mewah yang tidak mudah rusak. Dan selain atas segalanya diatas, jika aku bisa dilahirkan kembali lebih beruntung. Aku akan dengan cepat melepaskan sarang kepedihanmu selama terpenjara di dunia malam yang kelam. Lebih cepat lebih baik. Penyakit ganas yang memperkosa ragamu akan bisa lebih cepat dihindari. Tapi sebagai mestinya andai. Andai selalu bertolak belakang dengan realita. Realita yang membuat kami tersadar dan mengharuskan kami berjalan tanpa tujuan dengan apa adanya aku dan kekasihku. Hingga pada akhirnya, kami bermalam masih di tempat yang sama dimana aku bermain-main dengan andai. Andai yang berakhir didepak keras oleh fajar berseri di pagi hari yang cerah.

Di kelanjutan perjalanan yang entah sudah berapa kilometer jauhnya ini. Kami berpapasan dengan cahaya menyilaukan di depan kami. Matahari tak memakan kami. Karena matahari sudah berada di atas kepala kami. Kekasihku sangat ketakutan melihat silau cahaya itu. Aku menggenggam tanganya untuk sekedar meredakan kecamuk perasaan takut yang sedang menguasainya. Mengenggamnya erat. Aku menuntunnya berjalan perlahan. Selangkah demi selangkah. Dua langkah. Tiga langkah. Empat langkah. Lima langkah. Hingga kami bersatu dengan cahaya menyilaukan yang secara tiba-tiba muncul di tengah perjalanan kami.

Aku terbaring lemas pada sebuah tempat tidur. Sendiri. Sebatang kara. Di tempat yang sama yang sudah sangat kuhafal diluar kepala seluruh bagian ruangannya. Menjamah bagian bawah bantal tempat aku menyandarkan kepalaku. Tanganku sibuk mencari sesuatu yang tersimpan disana. Kutemukan sebuah kotak yang kucari. Rokok kretek asli Indonesia memang juara. Tanpa menunggu lama kuraih korek api dari kayu yang posisinya persis di sebelah aku menemukan rokok kretek ku. Ruangan yang kusinggahi dipeluk suatu tulisan lantang berbunyi “NO SMOKING”. Cuih, persetan. Toh, hanya aku sendiri yang berada di ruangan ini. Tak akan menganggu yang lain. Tak akan ada yang diganggu. Mereka yang menyinggahi tempat ini semuanya sudah pergi. Pergi entah kemana. Dan aku mempunyai keyakinan yang sangat besar, bahwa aku lambat laun akan mengikuti mereka untuk pergi. Sebatang rokok kretek tentu bukan penyebab utamaku untuk pergi. Jikalau aku tak menghisapnya pun aku juga akan pergi dari sini.

Beberapa bulan yang lalu. Aku sudah sering bercinta dengan ruangan ini. Seperti sebuah takdir yang tak masuk akal, pada akhirnya aku menjadi penghuni tetap ruangan ini. Kamar keduaku setelah kamar tidur dengan kasur buluk yang setia tertimpa tubuhku dengan tubuh kekasihku. Namun, segalanya yang berada di ruangan ini kini sudah berubah. Berubah dengan sangat drastis. Penuh botol dan kaleng-kaleng bir berserakan. Puntung-puntung rokok tak kalah berjejalan di lantai keramik putihnya. Sangat berlawanan dengan citra yang seharusnya dari tempat yang menaungi ruangan ini.

Aku menyatukannya pada darah yang mengalir ditubuhku secara diam-diam. Disaat aku sudah menyerah atas segalanya. Saat segalanya sudah sangat jelas terlihat sangat sia-sia. Pikiran sehat pun terasa sangat sia-sia untuk melawan pikiran yang sedang menjadi sarang penyakit. Pikiran sehat dilibas habis tanpa ampun dan tanpa meninggalakan bekas sedikitpun. Bodoh. Idiot. Moron. Semuanya sudah menjadi satu kesatuan. Ini sebagai ucapan terima kasih kepada kekasihku. Bukan ucapan terima kasih kepada kehidupan. Ini sebagai perilaku untuk cinta kepada kekasihku. Bukan perilaku untuk cinta kepada kehidupan. Manusia memang hanya manusia. Ahli kesehatan seperti dokterpun juga manusia. Yang juga bisa mempunyai daya ingat yang minim lalu disebut lupa. Hingga memberiku kesempatan meraih jarum suntik yang sudah orgasme sehabis bercinta dengan kekasihku sebelumnya.  Menyuntikkanya tanpa ampun di lengan kananku tanpa sepengetahuan siapapun. Menyatukan sedikit jiwa kekasihku untuk bermain dengan jiwa ragaku. Akupun kini juga sudah positif.

Kami akan selalu bersama hingga kini. Kami akan terus berjalan bersama tanpa tujuan. Kami akan terus berjalan bersama tanpa tujuan, tanpa melihat mendung hitam pekat menakutkan di belakang. Hanya berdua. Bersama. Aku dan kekasihku. Suatu kenaifan tentang kehidupan yang sebenarnya. Tapi sudah bukan saatnya untuk lebih dikaji. Sudah terlalu lelah.

Badanku semakin lemas. Seiring dengan terkikisnya seluruh tubuh rokok kretek yang kuhirup. Aku memutuskan untuk berbaring tidur di tempat tidur yang dulu pernah menjadi alas tidur dirinya, kekasihku. Namun, sebelumnya aku meraih botol bir di meja samping tempat tidur. Lagi-lagi persetan. Toh, hanya aku yang berada disini. Tak akan ada yang berani mengusik. Tanpa sabar kuteguk bir yang sudah berada di genggamanku. Tak bersisa. Habis dengan sempurna. Lalu aku memasrahkan diriku pada kuasa tempat tidur. Tidur pulas. Tanpa tahu menahu kapan akan kembali terbangun dari tidur ini.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar