Ayumi Hamasaki - Together when...
Aku dan dirinya. Kami berdua
berjalan tanpa tujuan yang pasti. Karena kami tak akan pernah tau perjalanan
kami akan sampai kapan dan dimana akan berakhir. Bisa saja ditengah perjalanan
akan ada sebuah kendaraan yang melintas dengan kencang secepat angin. Lalu
tanpa melihat keberadaan kami. Aku atau dirinya atau kami berdua, terpental
dari tempat semula kami berdua berjalan, setelah sebelumnya mendapat kecupan
tragis dari kendaraan yang melesat bagai angin yang telah melintas. Atau
mungkin, bisa saja karena lamanya kami berjalan tanpa tujuan. Usia mulai
menggerogoti tubuh kami sedikit demi sedikit. Sepasang kaki yang semula mampu
menerjang jalan berkilometer jauhnya. Sekarang hanya mampu menerjang dengan
ukuran jarak yang lebih kecil. Bahkan, besar kemungkinan sepasang kaki kami tak
akan mampu menerjang satu langkahpun jalanan yang kami tempuh. Kami mencoba
untuk tak memandang ke belakang. Terbilang cukup menyeramkan. Pemandangan bak
mendung hitam pekat seolah menjadi latar belakang yang menyeramkan untuk
dilihat. Terlebih lagi, berjalan ke arah depan dengan pandangan menoleh ke
belakang sungguh cukup banyak resiko. Dengan banyakanya hal yang terjadi dan
akan terjadi, kami masih akan tetap berjalan meneruskan perjalanan kami berdua.
Walau kami merasa ada kerikil-kerikil tajam ketakutan yang sama-sama menguasai diri kami. Semua itu tak
menghalangi langkah kami berjalan ke depan dengan damai. Berusaha tanpa beban.
Di pertengahan perjalanan. Kami
beristirahat sejenak di bawah pohon rindang yang melindungi kami dari
persetubuhan langsung dengan sinar matahari yang posisinya saat itu sedang
tepat berada di atas kepala kami. Kami benar-benar merasa kelelahan. Kelelahan
tak terperi. Sedikit berpikiran untuk menyerah melanjutkan perjalanan tak
berujung ini. Kelelahan yang menguasai pikiranku pun mulai meraja. Andai saja,
aku bisa dilahirkan lebih beruntung. Lebih memiliki segalanya yang banyak
hingga berlebih untuk menjalani hidup.
Aku tak akan perlu merasa sukar untuk menjalani perjalanan tak berujung seperti
ini. Aku akan bisa melindungi kekasihku pada rangkaian besi yang berwujud mobil
mewah seperti yang sering lalu lalang seenaknya sendiri di perjalanan kami.
Kalaupun bisa seperti itu, mungkin di dalam sana segalanya akan terasa sangat
begitu mudah. Kulit kami tak akan menjelma menjadi hitam karena sengatan matahari
yang kejam. Alas kaki murah kami akan serupa dengan alas kaki mewah yang tidak
mudah rusak. Dan selain atas segalanya diatas, jika aku bisa dilahirkan kembali
lebih beruntung. Aku akan dengan cepat melepaskan sarang kepedihanmu selama
terpenjara di dunia malam yang kelam. Lebih cepat lebih baik. Penyakit ganas
yang memperkosa ragamu akan bisa lebih cepat dihindari. Tapi sebagai mestinya
andai. Andai selalu bertolak belakang dengan realita. Realita yang membuat kami
tersadar dan mengharuskan kami berjalan tanpa tujuan dengan apa adanya aku dan
kekasihku. Hingga pada akhirnya, kami bermalam masih di tempat yang sama dimana
aku bermain-main dengan andai. Andai yang berakhir didepak keras oleh fajar
berseri di pagi hari yang cerah.
Di kelanjutan perjalanan yang
entah sudah berapa kilometer jauhnya ini. Kami berpapasan dengan cahaya
menyilaukan di depan kami. Matahari tak memakan kami. Karena matahari sudah
berada di atas kepala kami. Kekasihku sangat ketakutan melihat silau cahaya
itu. Aku menggenggam tanganya untuk sekedar meredakan kecamuk perasaan takut
yang sedang menguasainya. Mengenggamnya erat. Aku menuntunnya berjalan
perlahan. Selangkah demi selangkah. Dua langkah. Tiga langkah. Empat langkah.
Lima langkah. Hingga kami bersatu dengan cahaya menyilaukan yang secara
tiba-tiba muncul di tengah perjalanan kami.
Aku terbaring lemas pada sebuah
tempat tidur. Sendiri. Sebatang kara. Di tempat yang sama yang sudah sangat
kuhafal diluar kepala seluruh bagian ruangannya. Menjamah bagian bawah bantal
tempat aku menyandarkan kepalaku. Tanganku sibuk mencari sesuatu yang tersimpan
disana. Kutemukan sebuah kotak yang kucari. Rokok kretek asli Indonesia memang
juara. Tanpa menunggu lama kuraih korek api dari kayu yang posisinya persis di
sebelah aku menemukan rokok kretek ku. Ruangan yang kusinggahi dipeluk suatu
tulisan lantang berbunyi “NO SMOKING”. Cuih, persetan. Toh, hanya aku sendiri
yang berada di ruangan ini. Tak akan menganggu yang lain. Tak akan ada yang
diganggu. Mereka yang menyinggahi tempat ini semuanya sudah pergi. Pergi entah
kemana. Dan aku mempunyai keyakinan yang sangat besar, bahwa aku lambat laun
akan mengikuti mereka untuk pergi. Sebatang rokok kretek tentu bukan penyebab
utamaku untuk pergi. Jikalau aku tak menghisapnya pun aku juga akan pergi dari
sini.
Beberapa bulan yang lalu. Aku
sudah sering bercinta dengan ruangan ini. Seperti sebuah takdir yang tak masuk
akal, pada akhirnya aku menjadi penghuni tetap ruangan ini. Kamar keduaku
setelah kamar tidur dengan kasur buluk yang setia tertimpa tubuhku dengan tubuh
kekasihku. Namun, segalanya yang berada di ruangan ini kini sudah berubah.
Berubah dengan sangat drastis. Penuh botol dan kaleng-kaleng bir berserakan.
Puntung-puntung rokok tak kalah berjejalan di lantai keramik putihnya. Sangat
berlawanan dengan citra yang seharusnya dari tempat yang menaungi ruangan ini.
Aku menyatukannya pada darah yang
mengalir ditubuhku secara diam-diam. Disaat aku sudah menyerah atas segalanya.
Saat segalanya sudah sangat jelas terlihat sangat sia-sia. Pikiran sehat pun
terasa sangat sia-sia untuk melawan pikiran yang sedang menjadi sarang
penyakit. Pikiran sehat dilibas habis tanpa ampun dan tanpa meninggalakan bekas
sedikitpun. Bodoh. Idiot. Moron. Semuanya sudah menjadi satu kesatuan. Ini
sebagai ucapan terima kasih kepada kekasihku. Bukan ucapan terima kasih kepada
kehidupan. Ini sebagai perilaku untuk cinta kepada kekasihku. Bukan perilaku
untuk cinta kepada kehidupan. Manusia memang hanya manusia. Ahli kesehatan seperti
dokterpun juga manusia. Yang juga bisa mempunyai daya ingat yang minim lalu
disebut lupa. Hingga memberiku kesempatan meraih jarum suntik yang sudah
orgasme sehabis bercinta dengan kekasihku sebelumnya. Menyuntikkanya tanpa ampun di lengan kananku tanpa
sepengetahuan siapapun. Menyatukan sedikit jiwa kekasihku untuk bermain dengan
jiwa ragaku. Akupun kini juga sudah positif.
Kami akan selalu bersama hingga
kini. Kami akan terus berjalan bersama tanpa tujuan. Kami akan terus berjalan
bersama tanpa tujuan, tanpa melihat mendung hitam pekat menakutkan di belakang.
Hanya berdua. Bersama. Aku dan kekasihku. Suatu kenaifan tentang kehidupan yang
sebenarnya. Tapi sudah bukan saatnya untuk lebih dikaji. Sudah terlalu lelah.
Badanku semakin lemas. Seiring
dengan terkikisnya seluruh tubuh rokok kretek yang kuhirup. Aku memutuskan
untuk berbaring tidur di tempat tidur yang dulu pernah menjadi alas tidur
dirinya, kekasihku. Namun, sebelumnya aku meraih botol bir di meja samping
tempat tidur. Lagi-lagi persetan. Toh, hanya aku yang berada disini. Tak akan
ada yang berani mengusik. Tanpa sabar kuteguk bir yang sudah berada di
genggamanku. Tak bersisa. Habis dengan sempurna. Lalu aku memasrahkan diriku
pada kuasa tempat tidur. Tidur pulas. Tanpa tahu menahu kapan akan kembali
terbangun dari tidur ini.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar